Batam dengan segala potensi dan keunggulannya, setelah sekian puluh tahun dikelola dengan berbagai kebijakan, dinilai banyak pihak tidak mencapai apa yang diharapkan. Batam tertinggal jauh oleh Singapura dan Johor, dua wilayah yang bersama Batam menjadi kawasan ‘segitiga pertumbuhan’.
Untuk memperpendek gap ketertinggalan Batam, Chairman ‘Berkarya! Indonesia’ yang juga Ketua Tim Pelaksana Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi, Ilham Akbar Habibie menawarkan konsep Batam 4.0. Berikut petikan wawancara PORTONEWS dengannya.
Batam 4.0 itu seperti apa? Sekarang Batam pada nomenklatur berapa?
Kalau kita pakai nomenklatur yang ada, 4.0 itu yang benar-benar sudah menjadi wilayah industri. Konsep 4.0 ini lahir dalam konteks industri. Satu daerah dikategorikan 2.0 biasanya sudah ada semacam otomatisasi, kalau 3.0 itu masuk robotisasi dan sebagainya.
Saya kira Batam saat ini berada di antara 2.0 dan 3.0. Tapi kenapa kita tidak bicara 4.0? Saya tidak berbicara industri saja, karena berbicara mengenai prinsip teknologi yang digunakan, supaya kita meningkatkan efektivitas, efisensi, dan produktivitas. Jadi itu adalah data. Ada yang mengatakan ‘data is the new oil’. Jadi kalau kita lihat banyak yang mendorong bisnis berkembang dan menarik banyak investor itu karena dia punya data yang bisa dimanfaatkan.
Data itu bisa dimanfaatkan secara internal untuk industri. Kita tempatkan sensor di mana-mana yang menghubungkan data, sebagaian data itu langsung diolah.
Misalnya oleh satu komputer yang disediakan satu algoritma yang kita sebut sebagai kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI). Kombinasi Internet of Things dengan AI, dan bagaimana strategi kita mengukur data dan bagaimana menggunakannya untuk proses pengambilan keputusan berdasarkan data yang nyata. Itu bisa dimanfaatkan dalam konteks keseluruhan, bisa di pemerintahan, di akademi, di bisnis, juga di sektor kemasyarakatan.
Untuk mengisi gap itu, 2.0 itu sekian, kita harus isi, sebab sebagian dari industri yang memerlukan 3.0 di Batam belum ada. Jadi sebagian proses tidak harus diisi, bisa lompat, perlu disesuaikan dengan keadaan. Kalau menurut saya gak usah lama-lama, itu bisa segera, karena tinggal kita mengambil contoh di tempat lain yang diterapkan.
Sebagian sudah ada contoh, sebagian belum, kemudian kita coba. Berarti harus ada prototype-nya, tapi itu bisa segera. Yang penting bukan konsep, tapi implementasinya.
Itu perlu kebijakan dan investasi. Kebijakan seperti apa? Kira-kira bagaimana kalkulasinya?
Soal investasi saya gak bisa bicara, kalau itu kebijakan. Saya harus tahu dulu bagaimana konsep yang akan diterapkan di sini. Sebagai catatan, teknologi semakin lama semakin murah dari tahun ke tahun.
Tapi ini bukan soal biaya, justru dengan adanya investasi bisa menghemat biaya cukup banyak, karena semua bisa lebih cepat, pengambilan keputusan kan perlu waktu, dan itu uang juga, akhirnya bisa lebih efisien. Tapi secara konkrit saya tidak bisa menyebutkan angka, karena tergantung dengan design-nya.
Kalau soal peraturan, menurut saya sangat penting dari segi pemerintahan. Kita mengenal konsep e-government, itu didorong secara sentral dulu, harus ada yang mengatakan kita pakai standart A, misalnya standar dokumen yang akan digunakan sebagai fondasi dari keputusan yang akan dikomunikasikan antar pihak di dalam pemerintahan, itu sebagai contoh.
Itu harus ada pihak yang memutuskan, maka itu akan jadi keputusan yang menjadi fundamental yang bisa mengimplementasikan Batam 4.0. Itu bisa di level provinsi atau di level Kota Batam, atau kalau kita lihat besarnya di level nasional, karena memang di Indonesia banyak sekali pekerjaan rumah yang harus dituntaskan.
Kota mana di luar negeri yang sudah 4.0?
Yang saya tahu, kalau kotanya terlalu besar justru susah dari segi implementasi. Batam dengan 1,2 juta penduduk gak terlalu besar. Kalau di Jakarta susah, karena memang kompleksitas persoalan yang dihadapi, itu satu atau dua dimensi di atas Batam.
Tapi kalau kota yang relatif kecil, mungkin saya pernah dengar di China itu ada pelabuhannya dekat Shanghai, namanya Ningbo. Mereka pernah datang ke kantor saya di Jakarta, mau menawarkan solusi mereka terhadap smart-city. Smart City dengan 4.0 itu related, hampir-hampir mirip. Katakanlah ini Smart Batam, saya kira Ningbo bisa jadi contoh.
Even Ningbo itu kapasitas pelabuhannya sudah di atas 20 juta TEU’s per tahun pada 2016…
Ya, tapi dari segi kota tidak terlalu besar. Karena mereka pernah datang ke kantor saya di Jakarta. Bersama dengan perusahaannya namanya ZTE Corp. Itu kan kompetitornya Huawei. Mereka bilang, kalau bicara smart city, berdasarkan pengalaman mereka, kotanya jangan terlalu besar.
Kalau kotanya besar sekali menjadi kompleks, tapi kalau Ningbo boleh. Tapi saya katakan, tidak selamanya seperti itu, bisa saja suatu ketika kota yang super besar, kayak Jakarta, Shanghai, tapi memang dimensi dari permasalahan yang dihadapi akan sangat sulit untuk diimplementasikan secara cepat.
Apa saja tantangan yang dihadapi Batam saat ini?
Menurut saya, infrastruktur yang ada saat ini tidak memadai, dalam persaingan di tingkat regional itu menyebabkan Batam tertinggal. Kemudian, mitra regional Batam atau kompetitor bergerak lebih cepat. Sistem perizinan masih lambat.
Pembatasan bagi pergerakan barang juga akan menghambat pertumbuhan. Lalu, lonjakan upah minimum juga membuat investor asing enggan menanamkan modalnya. Faktor-faktor ini telah mengurangi daya saing Batam terhadap para kompetitornya seperti Malaysia dan Vietnam. Karena itu banyak yang merelokasi pabriknya ke luar Batam.
Apa yang harus dilakukan Batam saat ini?
Saya kira kita perlu membangun industri baru yang berbasis ICT (teknologi informasi dan komunikasi), innovation minded, dan mempekerjakan sumber daya manusia yang unggul. Kemudian, harus ada sistem infrastruktur dan pendukung yang memadai, seperti internet berkecepatan tinggi, alat transportasi umum yang berfungsi dengan baik, rumah sakit yang bagus, perguruan tinggi yang berbasis penelitian dan memiliki link yang kuat dengan industri lokal. Kita juga perlu adanya inkubator bisnis dan techno park.
Industri yang ada (maritim dan migas) perlu didorong untuk menggunakan teknologi tinggi, khususnya ICT, untuk meningkat produktifitas, kualitas, dan kemampuan berinovasi. Ini tidak hanya membutuhkan infrastruktur dan sistem pendukung yang tadi saya sebutkan, tapi juga sumber daya manusia yang berkualitas dan terampil.
Itu akan lebih mudah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi dalam kerangka segitiga pertumbuhan (Batam, Singapura, Johor), dan juga di lingkungan ASEAN dan negara-negara mitranya.
Pada sisi logistik, kita harus mengintegrasikan bandara dan pelabuhan seperti konsep AeroMarinoTropolis dengan kawasan industri di sekitarnya. Sektor pariwisata akan secara otomatis terhubung ke banyak destinasi di Bintan, dan daerah lain di Kepri.
Untuk mengakomodasi semua kebutuhan itu, kita perlu memperkenalkan konsep otonomi secara penuh bagi Batam. Kalau kita menerapkan Kawasan Ekonomi Khusus, mungkin kita bisa meniru Pulau Labuan yang dikembangkan Malaysia, atau menjadikan Batam sebagai Daerah Istimewa. Itu lebih baik menurut saya.