Googleism kini jauh lebih populer dibanding Wintelism, Fordism dan Taylorism. Keahlian ‘searching’ di internet, kini dipandang sebagai ‘core competencies’ yang harus dikuasai peserta didik. Seolah dengan keahlian ‘main Google’ dan kemahiran berbahasa Inggris, seseorang kini mampu jadi apa saja, dan menguasai segala topik. Jadi pemimpin pun terasa lebih mudah.
Keahlian meng-Google kini juga diikuti keterampilan mem-forward berita tanpa di-check terlebih dahulu kebenarannya. Yang penting semua ‘syur’, mengolah berita apalagi tentang keburukan, baik individu maupun organisasi. Googleism ini memang sudah merasuk ke semua sendi pergaulan.
Argumen di atas sering dikemukakan banyak pakar. Karena itu kalimat: “Kita tidak perlu pintar-pintar amat, atau yang dicari bukan orang pintar”, sering didengungkan. Seolah bersekolah pun tidak penting. Apalagi Google sudah mengumumkan mereka tak memerlukan ijazah untuk merekrut karyawan. Semua orang bisa diterima kerja. Asal lulus tes.
Bagaimana cara screening-nya tak penting. Kata yang kita tangkap dengan jelas: ijazah, bersekolah tidak penting. Dengan adagium ‘sekolah tak penting’, kini semua orang merasa merdeka. Bahkan ada yang bilang, ‘pintar bodoh sama saja’.
Pertanyaan besarnya, apa benar demikian? Ketika sedang mampir di kios buku airport, saya membeli majalah Harvard Business Review, edisi September-Oktober 2017. Sampulnya berjudul ‘The Overcommitted Organization’. Hal yang membuat saya tertarik adalah tulisan Jeffrey R. Immelt, ‘How I Remade GE?’, Bagaimana Saya Membangun Kembali GE?
Kebetulan saya pernah bertatap muka dan ngobrol dengan Immelt pada tahun 2009, delapan tahun lalu ketika ia berkunjung ke Indonesia, mengagumi keterampilan dan keahlian manusia bersumber daya iptek yang bekerja di PT INKA Madiun. Di sana GE berhasil mendidik dan bekerjasama dengan PT INKA untuk memproduksi lokomotif.
Jeff Immelt memimpin 300.000 karyawan yang bekerja di sebuah perusahaan padat teknologi selama 6000 hari. Setiap hari ia seolah fokus untuk membangkitkan lima potensi karyawan. Bukan melalui Googleism, melainkan dengan pendekatan Fordism dan Taylorism yang bertumpu pada ‘division of labor’, specialization, time and motion studies, network planning, dan game theories.
Pendekatan yang memerlukan ‘basic knowledge’, sekolah, dan sertifikasi. Immelt juga mengedepankan pentingnya proses digitalisasi dalam industri manufaktur. Ia juga mentransformasi GE untuk shifting dari Taylorism ke Fordism dan Wintelism yang berorientasi pada upaya membangun platform dan ekosistem bisnis untuk inovasi.
Sebagai murid Jack Welch, ia memimpin GE dari tahun 2001 sampai 2017. Masa enam belas tahun ia pecah ke dalam program 5 tahunan. Lima tahun pertama melakukan proses dekonsentrasi dan desentralisasi untuk merampingkan proses pengambilan keputusan. Memotong mata rantai birokrasi yang berlapis-lapis dalam mengambil keputusan bisnis. Kemudian Delayering dan Empowerment.
Lima tahun kedua, konsolidasi paradigma baru dalam bisnis di era digital. Dan lima tahun ketiga, orientasi pada pertumbuhan. Dari tulisan Jeff Immelt, saya bisa belajar bahwa keinginan kita untuk mampu merombak sebuah perusahaan besar yang padat teknologi dalam jangka waktu pendek, dengan merombak jajaran pengurusnya tiap dua setengah tahunan melalui proses mutasi dan promosi, mungkin memerlukan kajian tersendiri. Sebab di Indonesia kini ada kecenderungan untuk terus-menerus fokus pada proses merombak organisasi dalam menyelesaikan masalah.
Mana yang tepat? Immelt atau kita? Di era analog, kata ‘ship’ menekankan fungsi kepemimpinan atau komando. Dalam kapal hanya ada satu nakhoda yang memiliki rentang kendali. Kata ‘leader’ yang dipadankan dengan kata ‘ship’ menyiratkan adanya ‘value chain’, mata rantai nilai tambah dalam proses bisnis yang ditemui.
‘Ship’ berarti wahana yang terdiri atas klaster struktur-mekanisme dan tata cara yang dirajut dalam satu kesatuan terorganisir. ‘Ship’ memerlukan nakhoda untuk membawa ke tempat tujuan dengan selamat. Fokus nakhoda adalah mengelola arah supaya tidak tersesat. Roadmap dan navigasi jadi kata kunci.
Dalam kata ‘leadership’, alokasi sumber daya menentukan kecepatan kita sampai pada tujuan. Diperlukan pembagian kerja yang terdeskripsi dan terstruktur dengan baik. Spesialisasi dan core competencies menjadi kata kunci. Di sini paradigma Taylorism, Fordism, dan Wintelism jadi motor penggerak.
Efisiensi di tiap mata rantai produksi seperti yang dikemukakan oleh Frederick Taylor (1856-1915) yang dicapai dengan tata kelola pembagian kerja yang terstruktur dalam potongan aktivitas dan elemen produksi jadi fokus para pemimpin perusahaan. Buku text-nya Taylor, ‘The Principles of Scientific Management’ menyatakan bahwa produktivitas tiap personel menjadi fondasi.
Dalam skala makro, Taylorism diejawantahkan oleh Ford Motor Company di awal abad 20. Industri otomotif yang menerapkan scientific management untuk menurunkan biaya produksi agar tercipta margin keuntungan uang yang semakin besar, lahir dengan kehadiran pengetahuan industri berskala besar, mass production.
Fordism menjadi istilah baku untuk menyebut sistem pertumbuhan ekonomi dan kehidupan sosial yang berlandaskan pada industrialisasi, standardisasi produksi massal dan superstore. Mall seperti Walmart dan industri barang kebutuhan pokok bersifat massal. Harga murah terjadi karena ‘economic of scale’.
Di sini kata ‘leadership’ punya makna memimpin melalui wahana dan SOP (Standard Operating Procedure). Fokus inovasinya pada efisiensi dan produktivitas. Menemukan cara baru untuk jauh lebih efisien dan produktif. Sasarannya adalah Organic Growth. Di sini akselerasi teknologi bersifat komplementer dengan para pekerja. Teknologi menjadi kepanjangan tangan dan kaki para pekerja. Mind over machine.
Semua ahli kini bicara shifting. Seperti dulu kita tergoda untuk menyebut kata ‘globalisasi’ dalam tiap pidato. Kata shifting kini sering digunakan. Kalau ada direktur marketing dari retail shop ditanya kenapa banyak mall dan toko kelontong sepi pembeli, selalu kata shifting ke e-commerce yang muncul.
Semua kemunduran ekonomi seolah dimanfaatkan untuk menjelaskan arti kata shifting sebagai pergeseran tingkah laku pasar. Real sector memudar berganti online business.
Kata ‘shift’ ini dapat diartikan sebagai kata benda maupun kata kerja. Sebagai kata benda dapat berarti pindah schedule kerja. Dari shift siang ke shift malam. Giliran jaga toko atau mesin. Atau, di dunia otomotif ada istilah ‘gearshift’, pindah roda gigi.
Para pengemudi masa lalu menyebutnya dengan istilah ‘pindah kopling’. Dari gigi 4 ke gigi 3, dan jika mendaki tanjakan tajam pindah ke roda gigi satu. Rotasi per menit yang lebih lambat. Mobil masa kini tidak mengenal kopling cukup atur gas secara otomatis ‘gearshift’ terjadi.
Sebagai kata kerja, shift dapat berarti pindah posisi jabatan dan tupoksi, mengubah arah tujuan, pindah lokasi melintasi batas teritori. Juga dapat berarti saat ketika sopir pindah ‘persneling’ mengatur kecepatan karena jalan menikung. Seolah ada makna pergeseran posisi GPS di dalamnya yang memerlukan keahlian navigasi.
Lester Thurow pernah menulis buku ‘Head to Head Competition’. Ia mengenalkan istilah ‘tectonic shift of economic landscape’. Pergeseran lempeng tektonik yang mengubah lanskap ekonomi. Ada pergeseran struktur ekonomi yang menyebabkan bangunan bisnis di atasnya anjlok.
Seperti gempa tektonik berkekuatan 8 Skala Richter yang merontokkan bangunan tinggi yang kokoh, dan menenggelamkan penghuninya dalam puing dan debu.
Shifting in economic landscape dapat berarti tragedi, bangunan ekonomi lama tempat orang mencari makan dan hidup, rubuh jadi debu seperti kena gempa tektonik. Kita harus terhindar dari tragedi itu.
Karenanya penggunaan kata ‘leader–shift’ selalu saya gunakan dalam tulisan ini untuk menempatkan keahlian seorang ‘leader’ untuk menghindarkan diri dari tragedi.
Leader–shift memerlukan ‘seventh sense’, linuwih, punya sense of weruh sak durunge winarah, kata orang Jawa. Leader yang memiliki keahlian untuk membaca gejala yang timbul di masa kini dan mengaitkannya dengan jejak sejarah masa lalu untuk mem-forecast masa depan. Connecting the dots kata Steve Jobs. Leader–shift selalu dihadapkan pada pilihan Innovate or Perish. Innovation or Die.
Karenanya pilihan istilah ‘Leader–shift di Era Digital’ menurut hemat saya, lebih tepat dibanding istilah ‘Leadership di Era Digital’. Sebelumnya saya sudah ketengahkan arti kata ‘ship’ atau wahana dalam padanan kata ‘leadership’.
Inovasi dalam kata ‘leadership’, arah dan orientasinya selalu pada upaya menemukan proses produksi baru, cara kerja baru, dan atau produk baru agar perusahaan lebih efisien dan produktif. Efisiensi dan produktivitas menjadi kata kunci.
Beda dengan inovasi dalam kata ‘leader–shift’, yang ditemukan adalah ‘terrain technology’, ‘S-curve technology’ yang baru. Ada lompatan teknologi yang dikuasai. Quantum leap.
Istilah ‘shift’ di sini saya kaitkan dengan apa yang dimaksud oleh Thomas Kuhn dalam bukunya ‘The Structure of Scientific Revolutions’ yang terbit tahun 1962. Dalam buku itu, ia mengenalkan istilah ‘Paradigm Shift’. Lompatan paradigma baru untuk mempercepat proses penguasaan teknologi.
Atau, istilah ‘shift’ di sini memerlukan pemahaman atas kata epistemologi yang digunakan oleh Michel Foucault dalam bukunya ‘The Order of Things’, yang berarti “the historical a priori that grounds knowledge and its discourses and thus represents the condition of their possibility”.
Ada makna upaya menemukan energi dan spirit baru, elan vital untuk secara sengaja melakukan lompatan kemajuan dalam membangun lanskap masa depan kehidupan ekonomi yang jauh lebih baik.
Dengan kata lain, kata ‘shifting’ harus ditempatkan dalam perspektif kondisi masyarakatnya. Agar transformasi, shifting, dan lompatan kemajuan tidak tercerabut dari perjalanan kesejarahan masyarakat untuk membuka gua garba kemungkinan baru.
Shifting yang berarti Revitalizing, Reenergizing, dan Transformation. Shifting yang tidak menenggelamkan aktivitas ekonomi masa lalu.
Leader–shift, karenanya mengemban amanah untuk membawa masyarakat berselancar dalam perubahan. Kepemimpinan Transformatif. Fokus leader–shift bukan pada technicalities. Bukan supervisor, mandor, atau construction management project seperti dalam kata leadership.
Dalam kata ‘leadership’, arah restrukturisasi yang selalu jadi fokus adalah memperkecil ongkos memperbesar revenue. Margin EBITDA. Merombak tata kelola kapal induk dan fregat menjadi barisan speedboat yang agile dan memiliki ruang manuver yang luas.
Sementara, fokus leader–shift adalah pada platform, ecosystems for innovation. Untuk menemukan ruang revenue baru dan ruang pencipta nilai tambah yang mungkin dikelola sebagai area of new growth. Creating value. Arahnya pada arena kompetisi baru. Dan itu jauh lebih sukar dibanding leadership. Itu sebabnya saya menempatkan kisah Jack Welch dan Jeff Immelt dalam tulisan saya di bagian pertama.
Saya ingin menulis tentang kata ‘Wintelism’, yang berasal dari kata ‘Windows Operating System plus Intel Processors’, yang menyebabkan dunia digital perlu dikelola dalam perspektif yang berbeda.
Mengapa Wintelism sebagai metode berfikir perlu dijadikan dasar sebelum kita terjerembab dan terseret ke dalam ‘Googleism’ yang mendorong kita mengambil jalan pintas. Googleism tidak berarti ‘orang tak bersekolah atau tak bersertifikat dapat jadi dokter‘, ahli farmakologi, biologist, insinyur, lawyer, psikolog, economist, historian, dan ahli segala jenis keilmuan.
Tak mungkin orang mampu menjadi jenderal, semata-mata karena ahli berselancar dalam search engine Google untuk menemukan buku ‘Art of War’– nya Sun Tzu, Jomini, dan Clausewitz.
Diperlukan Sesko, Akademi Militer, dan pola pendidikan bertahap, bertingkat, dan berkelanjutan untuk memiliki tiap jenis keahlian. Smart Cities, Smart Phone, hulunya adalah Smart People. Hitozukuri monozukuri, kata orang Jepang . People before product.