Estonia adalah satu dari sedikit negara di dunia, yang peranan teknologi informasinya amat menentukan di kehidupan masyarakatnya. Sejak lepas dari cengkeraman Uni Sovyet pada 20 Agustus 1991, Estonia menjadi pionir dalam pengembangan teknologi informasi di Eropa.
Estonia menjadi negara yang paling maju dalam menggunakan aplikasi internet dalam memberikan layanan publik kepada penduduknya. Bahkan, pada tahun 2005 Estonia menjadi negara pertama di dunia yang menggunakan aplikasi teknologi informasi untuk pemilihan umum.
Orang yang menginisasi pendekatan teknologi informasi di Estonia adalah Ivar Tallo, mantan anggota parlemen Estonia yang juga turut mendirikan Akademi e-Governance di negara tersebut. Akademi e-Governance adalah sebuah organisasi yang dibentuk untuk menciptakan serta mentransfer pengetahuan dan penerapan aplikasi komputer dalam tata kelola pemerintahan, sistem demokrasi, sistem keamanan dan keterbukaan informasi bagi publik.
Siapa sangka, inovasi berbasis digital di bekas negara satelit Uni Sovyet itu berawal dari sebuah obrolan di meja dapur. Awalnya, Tallo bertugas di PBB. Sekembalinya ke Estonia ia bercengkrama dengan isterinya yang sedang membutuhkan pekerjaan. Dari meja dapur itu tercetus gagasan untuk menciptakan sebuah perusahaan desain grafis tanpa menyewa perantara, pengacara, atau adanya rapat direksi.
Cita-cita Tallo menjadikan Estonia sebagai negara termaju di bidang teknologi digital, disambut baik oleh Presiden Lennart Meri waktu itu yang menggulirkan kebijakan e-Estonia pada tahun 2000. Kebijakan itu bertujuan untuk menjadikan Estonia sebagai negara paling maju dalam penerapan teknologi digital di dunia.
Kemudahan mendirikan bisnis hanyalah salah satu daya tarik sistem tata kelola digital Estonia, di mana warga negaranya dapat melakukan cash transfer, menabung, menanda-tangani kontrak, dan membayar pajak hanya dengan satu sentuhan di layar monitor komputer atau ponsel. Bahkan, di perusahaan baru milik Tallo itu tidak ada selembar kertas pun digunakan.
Estonia menjadi negara pertama di dunia yang menawarkan perlindungan identitas kepada orang-orang di luar Estonia untuk memperoleh status ‘e-residency’, yang memungkinkan mereka mendaftarkan perusahaan secara online, melakukan transaksi e-banking, membuat kesepakatan ekspor-impor, menyatakan pajak secara online, dan menanda-tangani dokumen secara digital. e-Residency menawarkan kebebasan untuk memulai dan menjalankan bisnis global dengan mudah di lingkungan Uni Eropa.
Dengan program e-Residency yang diluncurkan pada tahun 2014, warga negara asing bisa mendaftarkan diri sebagai warga negara digital Estonia, menerima beberapa layanan dari pemerintah seperti yang dirasakan warga negara sesungguhnya.
Untuk mendapatkan e-Residency, warga negara asing diwajibkan membayar sekitar 100 Euro dan melampirkan satu foto dan sidik jari. Dengan memenuhi syarat tersebut seseorang bisa mendapatkan kartu identitas dan kode PIN untuk mengakses sistem nasional Estonia.
Setelah menjadi warga negara digital Estonia, seseorang bisa memulai bisnis start-up dan menjalankannya melalui internet. Pemerintah mendukungnya dengan kebijakan pajak yang pro bisnis.
Selama lebih dari dua dekade, Estonia telah terbiasa belajar dari dunia barat tentang bagaimana menjalankan roda ekonomi, pemerintahan, dan kehidupan masyarakat mereka. Kini, negara kecil di tepi Laut Baltik itu telah menerapkan standar negara barat untuk jejaring internet sebagai katup perdagangan, pemerintahan, dan politik.
“Ketika Uni Soviet runtuh lalu Estonia memperoleh kemerdekaannya, kami ingin menjadi seperti orang barat, tapi kami tidak tahu persis bagaimana memulainya. Jadi kami melakukannya dengan cara kami sendiri, dan ini sedikit berbeda,” kata Tallo, pendiri Akademi e-Governance Estonia.
Menjelang runtuhnya Uni Sovyet pada awal dekade 1900an, rakyat Estonia juga memperjuangan kemerdekaannya melalui sebuah referendum pada bulan Maret tahun 1991. Hasilnya, 80% rakyat Estonia itu menginginkan kemerdekaan. Sebagai negara yang baru merdeka, Estonia harus membangun sistem baru dengan sumber daya manusia dan teknologi yang juga baru.
Dengan keinginan kuat menjadi negara yang memiliki layanan publik berbasis digital terintegrasi seperti halnya sistem perbankan di Swiss, maka, e-Governance menjadi tujuan kebijakan negara berpenduduk 1,3 juta jiwa itu.
“Ini gagasan yang murni, bukan hanya aspirasi kosong belaka. Tata pemerintahan hampir semuanya soal komunikasi, jadi kalau komunikasi sudah berubah, maka pemerintahan juga akan berubah. Pertanyaannya, apakah kita bisa membentuknya?” papar Tallo.
Menurut Tallo, tampilan website untuk mengurus e-Government di Estonia sudah sangat menarik, tetapi ia merasa masih perlu melakukan penataan desain agar tampak lebih menarik lagi. Intinya, aplikasi ini dibuat agar di antara negara-negara Uni Eropa, baik sektor publik maupun swasta, terjadi pertukaran data dan bisa berinteraksi satu sama lain, dengan layanan yang efisien.
Sistem ini sangat bergantung pada sistem penyimpanan data identitas digital yang aman. Data yang sudah tersertifikasi dan terotentifikasi tertanam dalam sebuah chip pada kartu identitas elektronik setiap warga berikut nomor PIN-nya, begitu juga pada kartu SIM ponsel mereka, lengkap dengan tanda tangan digital yang unik.
Tapi, menurut Tallo, teknologi saja tidak cukup, perlu membangun tingkat kepercayaan yang tinggi dari masyarakat terhadap sistem dalam penggunaan-nya. Faktanya, perlu waktu 20 tahun agar masyarakat percaya bahwa uang mereka aman disimpan di perbankan yang sudah menerapkan sistem keuangan elektronik.
Setelah tingkat kepercayaan terhadap sistem perbankan berbasis digital terbangun, langkah berikutnya adalah memperluas penerapan teknologi digital di bidang-bidang publik lainnya, seperti pajak, investasi, dan akhirnya diterapkan untuk pemungutan suara dalam Pemilu agar jadi lebih mudah. Hasilnya, kini 95% warga Estonia mengurus pajak melalui internet yang hanya membutuhkan waktu tiga menit hingga selesai.
Namun sekali lagi, semua itu tidak mudah. Misalnya, ketika Estonia memperkenalkan sistem pemungutan suara melalui internet pada tahun 2005, hanya 2% pemilih memberikan suara mereka secara online, sisanya melakukan dengan cara manual. Namun pada pemilihan umum berikutnya tahun 2010 yang kembali dimenangkan petahana, Toomas Hendrik Ilves, jumlah pemilih yang menggunakan sistem online meningkat jadi 32%.
“Dengan meningkatnya tingkat kepercayaan masyarakat, maka itu turut mengubah iklim bisnis. Dan itu menurunkan biaya transaksi dan menjadi stimulus bagi pertumbuhan ekonomi,” kata Tallo.
Hingga kini, warga negara Estonia menggunakan tanda tangan digital mereka sebanyak 218 juta kali sejak tahun 2002, tanpa permasalahan di sistem keamanannya. Kendati begitu banyak informasi penting yang tersimpan di server, dan hal itu sempat menjadi kekhawatiran, apabila terjadi sesuatu dengan server tersebut, khususnya terhadap serangan dari para hacker. “Ya, ada saat-saat ketika orang ragu-ragu terhadap keamanan data yang tersimpan,” kata Tallo.
Untuk memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap sistem informasi digital, dan meyakinkan mereka bahwa data dan informasi mereka tidak disalah-gunakan, setiap warga negara bisa mengecek secara online dan bertanya, siapa yang telah mengakses data mereka, serta untuk apa.
Seperti dikatakan Tallo, sistem ini pun tidak luput dari serangan hacker. Pada Oktober 2013, serangan hacker dari Rusia sempat melumpuhkan perekonomian Estonia. Hacker Rusia itu menyerang dan mematikan fungsi serat optik dan internet exchange yang mengakibatkan seluruh jaringan baik perbankan, telekomunikasi, dan jaringan vital lainnya lumpuh total. Sehingga aktivitas masyarakat dan negara juga lumpuh total. Tapi masalah itu bisa segera diatasi dengan memperbarui sistem keamanan server, dengan biaya US$8 juta.
Estonia kini memposisikan diri sebagai negara trendsetter dalam penerapan teknologi informasi. Inggris sudah menanda-tangani nota kesepahaman dengan Estonia untuk berbagi keahlian mengenai tata kelola digital. Beberapa negara Eropa lain mengikutinya, seperti Belgia yang menjadikan Estonia sebagai bench mark dalam tata kelola dengan platform teknologi digital di negaranya. Bahkan, Pusat Pertahanan Cyber of Excellence NATO dan IT-agency dari Uni Eropa berada di Tallinn, ibukota Estonia.
“Menggunakan platform digital adalah cara untuk mengurangi kesalahan hingga sekecil mungkin. Ini menjadi daya tarik. Kami telah menemukan banyak orang yang mencoba meniru kami dan kami sangat senang dengan itu,” ujar Tallo.
Tentu saja keberhasilan inovasi teknologi ini tidak lepas dari perananan masyakatnya sendiri. Selain kepercayaan publik terhadap sistem besar yang menjalankan operasional negara yang sudah tumbuh, iklim investasi menjadi lebih kondusif karena di kalangan pebisnis Estonia telah terbentuk mindset sebagai inovator yang tidak takut akan hal baru. Maka, lahirlah berbagai produk digital berupa e-commerce dan aplikasi telekomunikasi video call seperti Skype, Kazaa, Transferwise, Pipedrive, Cloutex, Click & Grow, Grabcad, Erply, Fortumo, Lingvist dan lain-lain.
Selain itu, penerapan teknologi digital menjadikan Estonia sebagai negara madani yang transparan dan paling tidak korup di wilayah Central and Eastern Europe (CEE). Menurut survei dari Transparency International Corruption Perception Index, Estonia menempati peringkat 28 dari 177 negara di dunia.
Bagaimana tidak, masyarakat Estonia dapat memberikan suaranya dalam pemilihan umum sembari selonjoran di sofa ruang tamu, tanpa repot-repot datang ke bilik suara. Hal ini dimungkinkan karena Estonia merupakan salah satu negara yang lembaga catatan sipilnya sudah menerapkan single ID.
Orang-orang Estonia dapat menandatangani dokumen secara digital, mengisi Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak untuk berbagai keperluan bisnis, perizinan, dan mengikuti kegiatan keuangan startup via web. ‘e-KTP’ Estonia juga bisa digunakan untuk melakukan transaksi online tanpa khawatir terjadinya tindak penipuan, sebab perangkat gadget seperti laptop juga sudah dilengkapi program pelacak.
Selain masyarakatnya sudah melek teknologi, pendidikan teknologi di Estonia juga didukung penuh oleh Presiden Toomas-Hendrik Ilves dan kini dilanjutkan oleh Kersti Kaljulaid. Pemerintah telah mencanangkan pendidikan teknologi yang dimulai dari taman kanak-kanak.
Sebagai Presiden pertama yang memenangkan pemilihan melalui sistem digital, Ilves meyakini industri teknologi adalah andalan masa depan Estonia, entah itu generator angin atau elektronik. Ia percaya bahwa pemrograman harus dipelajari sejak dini dan inilah mengapa anak-anak dapat melakukannya. Cita-cita besar bekas negara satelit Uni Soviet ini menjadi pusat inovasi teknologi digital kini telah tergapai. Semua berawal dari obrolan di meja dapur belasan tahun silam.(nol)