Sungguh malang Bangsa Kurdi. Di bawah Pemerintahan Saddam Hussein, etnis ini dijadikan anak tiri dan sering dijadikan sasaran kemarahan Sang Presiden. Mungkin ratusan etnis Kurdi menjadi korban selama Saddam berkuasa.
Kini di bawah pemerintahan baru, nasib mereka tak beranjak membaik, tetap tersisihkan. Bahkan dalam tiga tahun terakhir, mereka harus bertempur melawan ISIS. Sekarang, ketika mereka punya kesempatan untuk melakukan referendum, semua tetangga, kecuali Iran menentangnya.
Tanggal 25 September 2017 Bangsa Kurdi menyelenggarakan referendum untuk menentukan masa depannya, bersama atau berpisah dengan Irak. Pemimpin Kurdi Irak, Massoud Barzani, mengatakan bahwa kemerdekaan adalah satu-satunya cara untuk menjamin keamanan warganya.
“Kapan kami pernah mengalami stabilitas dan keamanan di wilayah ini sehingga harus khawatir akan kehilangan situasi itu?”, kata Barzani seperti ditulis BBC.
Jauh-jauh hari Perdana Menteri Irak telah menyatakan bahwa referendum Kurdi adalah tindakan inkonstitusional. Karenanya Irak akan mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjaga keutuhan negara.
Penentangan yang tak kalah seram terhadap referendum itu datang dari Turki. Presiden Erdogan telah memerintahkan angkatan daratnya untuk bergeser ke perbatasan, jika Kurdi benar-benar menyatakan berpisah dengan Irak. Begitu juga Amerika Serikat yang menyatakan kekecewaannya atas berlangsungnya referendum Kurdi.
Banyak dan kuatnya tekanan atas referendum Kurdi, menyebabkan para petinggi gerakan kemerdekaan Kurdi belum mengumumkan hasil referendum itu, dan apa tindakan selanjutnya. Para pengamat memperkirakan, besar kemungkinan hasil referendum itu adalah ya.
Artinya Kurdi berpisah dengan Irak. Padahal, 80% dari pemilih sudah tercatat di komisi referendum yang sudah dibentuk. Saat ini jumlah etnis Kurdi mencapai 30 juta jiwa yang terkonsentrasi di wilayah utara Irak yang berbatasan dengan Iran, Turki, dan Suriah.