AKIBAT gagal mencapai kata sepakat soal pendanaan dengan pihak lembaga keuangan, perusahaan konstruksi terbesar di Inggris, Carillion, yang telah berdiri sejak 1903 kini terancam dilikuidasi. Carillion ditetapkan pailit setelah mengalami kerugian dalam kontrak besar juga akibat akumulasi kewajiban pembayaran jangka pendek yang angkanya mencapai £1,5 miliar kepada beberapa kreditur dan perusahaan pengelola dana pensiun.
Kini bola panas krisis Carillion beralih ke pihak Pemerintah Inggris yang harus menanggung beban operasional berbagai proyek yang tengah berjalan.
Carillion memiliki sejumlah kontrak jangka panjang yang sebenarnya merugikan. Perusahaan ini telah melakukan mengajukan penawaran dalam sejumlah tender dengan harga yang terlalu rendah. Padahal dalam bisnis konstruksi, untuk mendapatkan proyek, di depan pengembang harus membayar dana dengan jumlah yang signifikan. Pada tahap itu manajemen harus sudah bisa menilai apakah proyek tersebut menguntungkan atau merugikan.
Seperti ditulis theguardian.com, beberapa proyek yang digarap menyebabkan Carillion merugi, manajemen menggunakan uang yang baru diterimanya dari kontrak baru untuk menutupi kerugian pada kontrak sebelumnya. Praktik itu diperkirakan sudah berlangsung cukup lama, sejak masa krisis keuangan tahun 2007-2008. Langkah itu dilakukan Carillion untuk mempertahankan subkontraktor dan karyawan mereka.
“Dalam beberapa hari ini kami tidak dapat menjamin pendanaan untuk mendukung rencana bisnis kami. Oleh karena itu dengan penyesalan yang paling dalam, kami telah sampai pada keputusan ini (tutup total),” kata Direktur Utama Carillington, Philip Green. Seperti dikutip dari BBC.
Carillion terlibat dalam beberapa proyek raksasa seperti pembangunan jalur rel kereta api super cepat, serta pengelolaan bangunan sekolah dan penjara. Selain itu, Carillion juga merupakan pemasok layanan pemeliharaan terbesar kedua untuk jaringan kereta api di Inggris, dan me-maintain sebanyak 50.000 unit rumah untuk Kementerian Pertahanan. Menteri Pertahanan Gavin Williamson mengatakan kepada parlemen bahwa akan ada pertemuan komite darurat untuk membahas situasi pelik tersebut.
Pemerintah juga kesulitan untuk menggelontorkan dana talangan bagi Carillion. Penolakan dan tekanan besar datang dari pihak oposisi, terutama dari Partai Buruh dan serikat pekerja. Oposisi meminta Perdana Menteri Theresa May untuk tidak menggunakan uang rakyat dan uang pajak untuk menopang perusahaan yang mengalami gagal bayar tersebut.
Selain memiliki kewajiban mendesak sebesar £1 miliar kepada sejumlah kreditur, antara lain Bank RBS, Santander UK, HSBC, dan lembaga keuangan lainnya, perusahaan ini juga menunggak iuran dana pensiun sebesar £580 juta.
Menteri Sekretaris Kabinet yang mengawasi pelaksanaan pemerintahan, David Lidington mengatakan, prioritas pertama yang akan dilakukan pemerintah adalah memastikan bahwa layanan publik terus berlanjut. Dia mendesak manajemen perusahaan untuk terus bekerja dan mengatakan bahwa pemerintah akan membayar gaji mereka.
“Semua karyawan harus terus bekerja, layanan publik harus terus berjalan. Anda akan terus mendapatkan bayaran. Staf yang terlibat dalam kontrak sektor publik masih harus melakukan pekerjaan penting,” ujar Lidington. Carillion memiliki 43.000 karyawan di seluruh dunia, tidak kurang dari 20.000 orang di antaranya menetap di Inggris. Hingga tahun 2016, konglomerasi ini masih mampu membukukan pendapatan sebesar £5,214 miliar.
Lidington pun menyesalkan situasi Carillion yang belum dapat menemukan pilihan pembiayaan yang sesuai dengan krediturnya. “Para pembayar pajak tidak dapat diharapkan untuk menyelamatkan perusahaan ini,” tegasnya.
Pemerintah menolak untuk memberikan dana talangan bagi Carillion, sehingga bank-bank tidak berani memberikan pinjaman baru. Jika jaminan kepada bank-bank besar atas nama perusahaan swasta benar-benar dilakukan, hal itu dinilai membebankan kerugian korporat kepada negara. Sementara ketika mendapat keuntungan, itu hanya dinikmati oleh perusahaan tersebut.
Bidang bisnis Carillion mencakup banyak bidang pekerjaan publik, mereka mesti menanggung risiko bisnisnya sendiri. Pemerintah pun sebenarnya sudah berupaya menyelamatkan perusahaan dengan pemberian kontrak pembangunan jaringan kereta cepat, sehingga mitra usaha patungan Carillion akan terus beroperasi jika suatu saat perusahaan tersebut dinyatakan bangkrut. Dengan kontrak baru tersebut dianggap akan cukup membuat kreditur Carillion merasa yakin. Namun, nyatanya tidak.
Kritik tajam datang dari Juru Bicara serikat pekerja, Rebecca Long-Bailey, yang meminta otoritas berwenang menggelar penyelidikan. Dia mempertanyaan, kenapa pemerintah terus memberikan kontrak kepada Carillion, saat perusahaan tersebut jelas-jelas sedang bermasalah.
“Perusahaan ini mengumumkan tiga kali keuntungan dalam enam bulan terakhir. Namun, meskipun ada keuntungan, pemerintah terus saja memberikan kontrak baru kepada perusahaan ini.”
Kini, terbayang di depan mata dampak pemberhentian ribuan karyawan saat ini dan mantan karyawan yang menanti dana pensiun Carillion. Total dana yang harus disediakan dengan segera sebesar £600 juta. Dana tersebut akan dikelola oleh Dana Perlindungan Pensiun (PPF).
“Ini adalah hari yang sangat menyedihkan bagi Carillion, bagi rekan kerja, pemasok, dan pelanggan yang telah kami banggakan selama bertahun-tahun,” kata Philip Green.
Carillion terdaftar di Bursa Efek London (LSE). Pada 12 Januari 2018 manajemen LSE menyatakan saham perusahaan yang berpusat di Wolverhampton itu disclaimer, harga sahamnya (CLLN) sudah nol.