Pesatnya perkembangan industri perminyakan di daerah pantai (coastal zone) maupun lepas pantai (offshore) memberikan konsekuensi yang positif bagi manusia dan lingkungannya. Selain itu, ada juga konsekuensi negatif yang dapat muncul di antaranya dalam perencanaan, pengoperasian, dan pengelolaannya, apabila tidak dilakukan dengan baik.
Konsekuensi negatif yang sering terjadi adalah kasus pencemaran perairan, karena terjadinya tumpahan minyak yang dapat memberikan dampak negatif yang cukup signifikan terhadap sumber daya pesisir, baik dari laut ke darat ataupun sebaliknya.
Peristiwa tumpahan minyak tidak dapat diketahui dengan pasti, waktu, lokasi, serta skala tumpahan minyak itu sendiri. Tumpahan minyak dapat terjadi dari kegiatan pemuatan, pembongkaran, pengoperasian pipa, serta dari tabrakan atau kapal kandas saat mengangkut minyak mentah.
Selain itu, sumber tumpahan minyak juga dapat berasal dari kapal tanker atau tongkang bocor yang beroperasi di perairan yang dalam, atau dari kegiatan eksplorasi dan operasi produksi di lepas pantai. Adapun sumber non-operasional lainnya seperti hasil limpasan perkotaan dan rembesan minyak yang berasal dari alam.
Insiden tumpahan minyak tentu erat kaitannya dengan tanggung jawab terhadap lingkungan hidup sekitar dan masyarakat sosial setempat. Bentuk tanggung jawab atas bencana yang tidak terprediksi terhadap masyarakat menjadi salah satu pendorong untuk terlaksananya program Corporate Social Responsibility (CSR).
Program CSR yang dapat dilakukan sebagai bentuk pemulihan (recovery) lingkungan di antaranya dengan program konservasi melalui penanaman dan rehabilitasi kawasan mangrove. Kegiatan rehabilitasi mangrove selanjutnya dapat diperluas sebagai lahan mata pencaharian penduduk setempat, terutama nelayan yang mengalami kerugian akibat tumpahan minyak.
Kegiatan lainnya yang dapat dijadikan melalui program CSR terkait peristiwa tumpahan minyak, yaitu program terpadu untuk pemulihan ekosistem terumbu karang melalui transplantasi dan budidaya biota laut.
Dalam pelaksanaannya, pihak-pihak berwenang setempat beserta masyarakat lokal perlu dilibatkan untuk mengetahui secara langsung kondisi yang ada, untuk selanjutnya dapat mengetahui tindakan lanjut yang tepat selama masa pemulihan lingkungan.
Selain itu, CSR sebagai implementasi dari tanggung jawab perusahaan dapat mendukung terciptanya hubungan proaktif perusahaan dengan pemerintah daerah, masyarakat, dan lingkungan sekitar.
Tumpahan minyak dan zat berbahaya lainnya tidak dapat dicegah sepenuhnya, namun dampaknya dapat diminimalisir dengan penyusunan rencana respon dan aksi pencegahan. Lokasi yang terlindungi dan memiliki tingkat kerentanan lingkungan yang tinggi perlu diprioritaskan dalam perencanaan dari kemungkinan tumpahan minyak (oil spill contingency plan).
Rencana kontingensi tumpahan minyak ini tidak bisa hanya sebatas respon taktis pada saat kejadian saja, namun perlu dipersiapkan respon taktis dan rencana strategis untuk jangka panjang. Terkait hal ini, sangat penting untuk memastikan proses perencanaan mencakup keseluruhan konstituen yang diperkirakan akan terkena dampak dari tumpahan minyak.
Risiko tumpahan minyak dan respon terhadap tumpahan minyak harus diklasifikasikan menurut ukuran dan jaraknya dengan fasilitas operasi perusahaan. Konsekuensinya, harus dibuat konsep respon berjenjang (tiered response).
Perencanaan dalam hal kemungkinan terjadinya tumpahan minyak harus mencakup setiap jenjang (tier) dan berhubungan langsung dengan skenario dari potensi tumpahan minyak perusahaan. Jumlah peralatan dan personel yang terlatih harus diidentifikasi pada setiap jenjang (tier) karena untuk setiap operasi kebutuhannya akan bervariasi, tergantung dari beberapa faktor seperti risiko, lokasi, jenis minyak, karakteristik lokasi kejadian, jarak terhadap sensitive area, dan lingkungan sosial ekonomi.