Jakarta, Portonews.com – WAHYU Gusti Anggoro hanya ingin menghabiskan akhir pekan di penghujung Maret 2018 dengan memancing di Teluk Balikpapan. Mahasiswa jurusan Teknik Elektro Universitas Balikpapan pasti tidak pernah menduga bahwa kepergiannya dari rumah pada Sabtu (31/3/2018) pagi itu adalah untuk selamanya.
Laki-laki berusia 27 tahun itu tewas dalam terbakarnya tumpahan minyak yang menggenangi Teluk Balikpapan. Tumpahan minyak berasal dari pipa milik Pertamina Refinery Unit V. Kebocoran terjadi setelah pipa bawah laut itu dilanggar oleh jangkar kapal MV Ever Judger yang buang sauh di kawasan itu.
Rektor Universitas Balikpapan Dr Piatur Pangaribuan, SH, MH, menyesalkan terjadinya petaka yang merenggut nyawa mahasiswanya itu. Dia berharap kejadian seperti itu tidak berulang lagi di masa depan.
“Dampak tumpahan minyak sangat luar biasa. Pertama, telah memakan korban, kemudian kerusakan mangrove. Korban jiwa ada lima orang, salah satunya adalah mahasiswa kami. Kedua, penanganannya sangat lambat. Ketiga, saat ini Pertamina tidak mengakui bahwa tumpahan minyak adalah miliknya sehingga kami merespon, langkah hukum kami ambil,” kata Piatur kepada PORTONEWS di sela-sela Simposium Internasional Lingkungan Kelautan di Hotel Fairmont, Jakarta, Rabu (28/11/2018).
Wajar Piatur cemas karena lokasi kejadian hanya sekitar 15 menit dari kampus yang dipimpinnya. Banyak mahasiswanya yang berasal dari sekitar Teluk Balikpapan. Di akhir pekan atau hari libur, banyak juga mahasiswa Universitas Balikpapan yang rekreasi ke sana, untuk sekadar melihat-lihat atau memancing.
Wahyu bukan adalah satu dari lima korban tewas dalam petaka Teluk Balikpapan. Korban tewas lain adalah Sutoyo (43 tahun), Suyono (55), Agus Salim (42), dan Imam N (42).
Kecemasan itulah yang mendorong Universitas Balikpapan, bekerja sama dengan Slickbar Indonesia, menyelenggarakan Simposium Internasional Lingkungan Kelautan bertema “Mendukung Kelestarian Laut Indonesia, Menjaga Martabat Bangsa”. Slickbar Indonesia adalah perusahaan pertama yang memproduksi peralatan penanggulangan tumpahan minyak di Indonesia.
Piatur berharap semua pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya tumpahan minyak di Teluk Balikpapan ditindak secara hukum. Selain nakhoda MV Ever Judger, operator kapal pengangkut batubara itu juga harus dimintai pertanggungjawaban.
“Kalau sekarang hanya nakhodanya, dalam waktu dekat sampai putusan. Harapannya juga ada perkembangan dari nakhodanya, ke direkturnya. Sehingga direktur-direkturnya ada tanggung jawab,” kata Piatur.
Simposium Internasional Lingkungan Kelautan bertujuan menggugah kepedulian semua pihak terkait untuk menjaga kelestarian laut dari ancaman tumpahan minyak dan bahan kimia beracun dan berbahaya. Sebagai negara yang berada di persimpangan jalur pelayaran dunia, Indonesia banyak dilintasi kapal dari berbagai jenis.
“Kegiatan ini memberi kesempatan Universits Balikpapan bersinergi dengan para ahli untuk mengatasi persoalan tumpahan minyak. Ajang ini juga mendekatkan kami dengan pihak-pihak terkait. Jika komunikasi sudah terbuka, tentunya akan lebih mudah mengatasi persoalan yang berat ini,” kata Piatur.
Sebanyak enam orang panelis membawakan presentasi di simposium ini. Mereka adalah Direktur Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai Indonesia (KPLP) Ir Junaidi, MM; Ari Bowo Dwi Setyo Nugroho, ST (Pertamina Hulu Energi); Edo Rakhman (Walhi), John Wilson (Nautical Institute, Inggris); Dr Eng Aditya R Kartadikaria, Ssi, M Eng (PT LAPI ITB); dan Direktur Operasional Oil Spill Combat Team Indonesia (OSCT), Yodi Satya BSc, MSc, EDM.
Rangkaian acara dibuka oleh Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. “Simposium ini cukup berharga karena menjadi pengalaman berharga bagi kita semua tentang pentingnya kesiapsiagaan bagi pengelolaan pengeboran minyak,” kata Budi.
Menggugah Kesadaran
Ketua Panitia Pelaksana, Dr Bayu Satya, BSc, mengatakan bahwa terjadinya tumpahan minyak di perairan Indonesia belum menggugah kesadaran kita tentang pentingnya menjaga kelestarian laut.
“Perhatian yang ada belumlah menjelma seutuhnya menjadi bentuk kesadaran aktif yang bisa mencegah dampak buruknya. Musibah tumpahan minyak merupakan kecelakaan yang berdampak buruk baik bagi kehidupan manusia maupun biota laut,” kata Bayu di depan sekitar 600 peserta dan perwakilan dari 15 negara.
“Bisa dibayangkan ketika minyak tumpah dan mengalir bersama air laut, kandungan racunnya bergerak bersama air laut terbawa arus kemudian racun tersebut dimakan oleh ikan dan ikan dimakan oleh kita, maka muncullah penyakit-penyakit berbahaya antara lain penyakit kanker, kulit, bahkan penyakit hilang daya ingat,” ujar pria kelahiran 1951 itu.
Minyak mengandung racun antara lain, arsenik, merkuri, timbal, dan air raksa. Jika minyak tumpah dan sampai di pantai dan hutan bakau, yang bisa dihilangkan hanya karbonnya saja. Sedangkan racun-racunnya tetap tertinggal dimana tumpahan minyak terdampak. Kalau terkena mangrove baru akan pulih selama 50 tahun, sedangkan bila terkena pantai akan pulih 20 tahun.
Bayu mengatakan bahwa Slickbar Indonesia dan Universitas Balikpapan menggagas penyelenggaraan simposium edukatif ini guna memaparkan dan menggugah kesadaran serta melahirkan solusi untuk menanggulangi dengan benar dan menyeluruh bila terjadi tumpahan minyak.
“Slickbar Indonesia merupakan perusahaan yang menghasilkan ragam teknologi tumpahan minyak dan menggelar pelatihan dasar bagi pihak terkait,” kata pengusaha yang menaruh kepedulian besar terhadap lingkungan itu.
Indonesia sudah memiliki peraturan lebih dari 10 Undang-Undang dan peraturan masalah tumpahan minyak, yaitu Peraturan Presiden No. 109 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di laut.
“Kita memiliki Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU ini jelas memuat sanksi pidana dan denda bagi siapa saja yang menumpahkan minyak, termasuk pejabat yang menghalanginya. Kita juga memiliki Peraturan Menteri Perhubungan No. 58 ahun 2013 tentang Penanggulangan Pencemaran di Perairan dan Pelabuhan. PM 58 ini mewajibkan setiap kegiatan pelabuhan harus dilengkapi dengan peralatan penanggulangan tumpahan minyak,” kata Bayu memaparkan.
Selain kejadian besar seperti di Teluk Balikpapan, banyak tumpahan minyak yang volumenya kecil yang sumbernya bermacam-macam. Mulai dari aktivitas di pelabuhan, buangan ballast kapal, tabrakan kapal, hingga limbah dari kegiatan industri.
Ancaman Nyata
Peristiwa itu membuktikan bahwa ancaman tumpahan minyak begitu nyata. Tidak sedikit masyarakat umum yang menganggapnya tidak serius karena tumpahan minyak yang besar kebanyakan terjadi di tengah laut, jauh dari kehidupan mereka. Padahal minyak yang mencemari laut akan membahayakan manusia secara langsung maupun tidak langsung.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menemukan lima pelanggaran Pertamina yaitu tidak adanya penyertaan kajian perawatan pipa pada dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal); Inspeksi pipa hanya dilakukan untuk kepentingan sertifikasi; Tidak adanya sistem pemantauan pipa otomatis; Tidak adanya sistem peringatan dini; dan Tidak mencantumkan dampak penting alur pelayaran pada pipa.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyarankan agar dokumen Amdal PT. Pertamina (Persero) Refinery Unit V segera dilakukan review. Jika tidak dilakukan review maka temuan-temuan KLHK tidak akan pernah termuat dalam dokumen AMDAL.
“Sebaiknya seluruh perusahaan, baik BUMN maupun Swasta, yang belum memuat poin-poin tersebut di dalam dokumen lingkungannya, agar segera melakukan perbaikan,” kata Manajer Penanganan Kasus dan Emergency Response, Edo Rakhman.
“Peran KLHK sangat penting dalam kasus ini, selain harus mengawasi secara seksama jalannya proses sanksi adminitrasi paksaan pemerintah yang dijalankan oleh PT Pertamina (Persero) Refinery Unit V, penting juga untuk menyampaikan kepada publik terkait pelaksanaan sanksi tersebut,” ujarnya.
Meski menurut kuasa hukumnya PT. Pertamina (Persero) Refinery Unit V adalah ‘korban’, WALHI berpendapat bahwa hal tersebut tidak menghilangkan tanggung jawab perusahaan untuk melakukan perbaikan dokumen lingkungan.
Jika sanksi administrasi paksaan pemerintah ini (SK Nomor 2631 tanggal 30 April 2018) tidak dilaksanakan maka KLHK sebaiknya melakukan pembekuan atau pencabutan izin lingkungan sebagaimana tertuang dalam Pasal 79 UU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH.
Soal transparansi jalur pipa migas, Walhi berharap PT. Pertamina (Persero) mau membukanya ke publik. Dari temuan Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI AL yang terekspos ke publik, dugaan Walhi menunjukkan bahwa pipa minyak yang patah dan menyebabkan pencemaran laut tersebut dengan sengaja tidak dilaporkan oleh Pertamina. Padahal pihak TNI AL melakukan pembaruan peta bawah laut Teluk Balikpapan pada 2015.
Walhi menyarankan agar Pertamina segera membuka peta jalur pipa bawah laut yang ada saat ini. Data itu kemudian diserahkan ke pihak TNI AL untuk sinkronisasi peta bawah laut. “Jika tidak ada hambatan, juga dituangkan dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) yang saat ini sedang berproses penyusunannya,” kata Edo.
Kesiapsiagaan
Ari Bowo Dwi Setyo Nugroho dari Pertamina Hulu Energi (PHE) mengatakan pentingnya meningkatkan kesiapsiagaan penanggulangan tumpahan minyak. Dalam kejadian bocornya pipa milik Joint Operating Body Pertamina Petrochina East Java (JOB PPEJ) tiga tahun lalu, tumpahan minyak dapat ditanggulangi dalam waktu relatif cepat.
“Penanganan dapat dilakukan dengan baik dan cepat di bawah koordinasi dan bantuan Oil Spill Combat Team Indonesia (OSCT). Pencemaran dapat ditanggulangi dalam waktu kurang dari dua minggu,” kata Ari Bowo.
Kebocoran minyak mentah di Tuban itu terjadi pada 20 Agustus 2015 pagi. Sumbernya adalah pipa bawah laut yang terletak sekitar 753 meter arah utara Pantai Palang. Pipa berdiameter 10 inch, yang dioperasikan sejak 1999 itu bocor karena sudah usang.
Ari Bowo mengatakan bahwa penanganan bisa cepat dilakukan karena PHE memiliki standar prosedur penanggulangan tumpahan minyak yang baik. Prosedur itu mencakup lima langkah yaitu prosedur awal, strategi penanggulangan, operasi pembersihan, pengolahan limbah, dan operasi penuntasan.
Direktur Operasional OSCT Indonesia, Yodi Satya, membagikan pengalaman timnya menangangi tumpahan minyak. Setiap tahun, OSCT rata-rata menangani tiga hingga empat kejadian. Pada 2018, angkanya lebih tinggi yaitu hingga delapan kejadian. Secara total, OSCT sudah menangani 64 kejadian.
Kecenderungan naiknya kejadian tumpahan minyak semakin menegaskan pentingnya kesiapsiagaan. Bukan hanya soal prosedur, tapi juga ketersediaan peralatan yang memadai. Pembersihan tumpahan minyak di Tuban dan Teluk Balikpapan dapat dilakukan dengan cepat karena adanya peralatan yang memadai dan tim yang andal.
“Tumpahan minyak di Teluk Balikpapan diperkirakan sebanyak 40.000 barrel. Kawasan yang terdampak mencapai 12.000 hektar. Kesulitan bertambah dengan adanya genangan minyak yang terbakar. Tapi hanya sekitar satu jam, api sudah bisa dikendalikan,” kata Yodi.
“Sehari setelah kejadian, kami melihat foto satelit untuk mengetahui luasnya kawasan yang terdampak. Dari situ kami menyusun strategi dan menentukan langkah terbaik yang harus dilakukan,” ujarnya.
Penanggulangan tumpahan minyak membutuhkan kerja sama banyak pihak. Untuk memudahkan alur kerja, pemerintah sudah membentuk Pusat Komando dan Pengendali Nasional Operasi Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut (PUSKODALNAS).
Pada kejadian di Teluk Balikpapan, OSCT berkoordinasi dengan Syahbandar untuk mengatur lalu lintas kapal di sekitar lokasi kejadian. Lebih dari 100 kapal dan sekitar 4.000 orang terlibat dalam operasi penanggulangan.
“Tim kami bekerja di pantai 24 jam sehari. Dalam waktu dua pekan, kawasan yang terdampak dinyatakan sudah bersih,” kata Yodi.
Kesiapsiagaan terus diasah lewat latihan. Setiap dua tahun, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan (Hubla) menggelar Maritime Pollution Exercise (Marpolex). Terakhir kali kegiatan itu digelar di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya pada Juli 2018. Marpolex tingkat nasional ini bergantian dengan Marpolex tingkat regional, yang juga diselenggarakan dua tahun sekali.
Direktur Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP), Ir Junaidi, MM, menegaskan bahwa kesiapsiagaan penanggulangan pencemaran adalah kondisi terpenuhinya pencemaran oleh pengelola terminal khusus (Tersus), terminal untuk keperluan sendiri (TUKS), Badan Usaha Pelabuhan (BUP), dan unit kegiatan lain.
“Harus ada prosedur, peralatan, serta personil penanggulangan pencemaran. Perlu juga pelaksanaan latihan sesuai dengan potensi risiko tumpahan minyak akibat dari kegiatan pelayaran dan kepelabuhanan, di bawah koordinasi Syahbandar,” kata Junaidi.