Tugas pokok dan fungsi KPLP adalah menjaga laut dan pantai di wilayah Indonesia, dari berbagai ancaman terhadap keamanan, keselamatan, serta kelestarian laut dan pantai.
Hingga puluhan tahun ke depan, minyak dan gas bumi masih akan menjadi bahan bakar utama dalam peradaban manusia. Tidak terkecuali di Indonesia. Di satu sisi, sebagai negara berkembang, Indonesia akan makin banyak membutuhkan minyak dan gas bumi sebagai penghasil energi untuk pembangunan, di sisi lain Indonesia juga sebagai negara penghasil minyak dan gas bumi.
Maka konsekuensinya, akan lebih banyak lagi minyak bumi yang ditransportasikan melalui laut, keluar masuk pelabuhan. Selain itu, wilayah perairan Indonesia juga merupakan bagian dari lalu lintas pelayaran internasional, termasuk lalu lintas tanker-tanker raksasa pengangkut minyak.
Kondisi itu menjelaskan bahwa ancaman terjadinya tumpahan minyak di wilayah laut Indonesia sangat besar. Salah satu institusi negara yang menjadi pemegang otoritas di wilayah perairan Indonesia adalah Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP), Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Kementerian Perhubungan Republik Indonesia.
Ancaman paling nyata atas wilayah laut dan pantai adalah tumpahan minyak dan bahan-bahan kimia beracun berbahaya (B3) yang sifatnya destruktif terhadap lingkungan hidup perairan.
PORTONEWS berkesempatan berdiskusi Direktur KPLP Ditjen Hubla, Jhonny Rungu Silalahi tentang tumpahan minyak dan bahan-bahan kimia B3 di wilayah perairan Indonesia, kebijakan apa saja untuk mencegah dan menanggulanginya, serta peraturan apa saja yang sudah diterbitkan pemerintah. Berikut petikannya.
Seberapa besar ancaman dan intensitas tumpahan minyak di wilayah perairan Indonesia?
Poin-poin yang menjadi permasalahan saat ini, pertama, peralatan harus sesuai dengan situasi apapun. Kedua, personelnya harus terlatih dengan baik, harus terkoordinasi dari semua aspek. Tumpahan minyak dua drum saja tidak ada yang tahu, tapi imbasnya kemana-mana, mengancam lingkungan hidup mana-mana.
Itu ketakutan kami, karena kami mengetahui akibatnya kalau tumpahan minyak tidak segera dihentikan. Kita menganjurkan ketentuan, semua aturan kita buat tapi pada kenyataannya di lapangan begitu ada kejadian baru menyadari, orang-orang baru menyesal.
Kapal-kapal yang tenggelam misalnya, kebetulan kasus-kasus kapal tenggelam merupakan domain kami. Kapal tenggelam itu membawa BBM, ada yang 500 ton, 1000 ton, dan seterusnya. Minyak 1 ton saja bisa sampai 5 drum. Itu bahan bakarnya, belum pelumasnya, belum lagi muatannya. Kalau BBM itu tumpah dekat dengan PLTU, minyak masuk ke dalam sistem pendingin, itu akan meledak. Itu kasus yang akan timbul dari satu kasus saja, kapal tenggelam.
Pengamanan di lautan sekarang dilakukan oleh beberapa institusi, apakah menjadi efektif atau tidak?
Kalau kemarin kita catat ada tujuh institusi di Kemenko Kemaritiman. Memang banyak, semua punya kontrol, punya aturan, harus sistematis jadi satu.
Dermaga juga ada yang punya Angkatan Laut, ada yang punya KPLP, ada yang punya Navigasi, ada yang punya Polisi. Padahal jadi satu saja. Jadi yang gak dipakai bisa dimanfaatkan. Cuma geografisnya kan gak sama. Kemudian masalah penganggarannya juga tidak sama. Perhubungan sekian, Bea Cukai sekian, Kepolisian sekian, akhirnya kita cari tanah yang murah, yang lain agak mahalan.
Kedua soal waktu, KPLP berdiri tahun 1950an, dapat tanahnya di kota, instansi kelautan lain berdiri tahun sekian, dapatnya yang agak jauhan. Akhirnya gak bakalan ketemu tahapan-tahapan tersebut. Solusinya para pimpinan, para pemikir yang harus menyatukan kita. Kan ada istilah ‘small is beauty’ seperti Singapura. Nah, kalau kita ‘big is bless’, itu anugerah buat kita, harus bisa dimanfaatkan. Untuk aturan juga begitu.
Contoh, untuk kapal yang tenggelam di laut dengan kedalaman kurang dari 100 meter harus diangkat karena kita berpikirnya itu jadi sampah, tapi tidak begitu dengan instansi lain. Untuk Kementerian Kelautan dan Perikanan, nelayan menangkap ikan sampai kedalaman 150 meter, jadi bangkai kapal tidak boleh diangkat karena itu tempat berkumpulnya ikan, jadi masalah lagi.
Lalu Kementerian Lingkungan Hidup, kapal yang tenggelam di kedalaman 100 meter masih bisa diambil minyaknya. Kecuali kedalamannya lebih dari 100 meter. Kami kan penyelam, kalau lebih dari 100 meter sudah mulai gelap dan bottom time kita di bawah itu hanya sedikit. Tapi dengan kemajuan teknologi, bisa dengan ROV, robot di bawah air itu bisa dilakukan.
Bisa dielaborasi atau dipetakan persoalan di perairan yang dihadapi KPLP?
KPLP ini berhubungan dengan lembaga internasional. Masalah pencemaran di perairan, secara tidak langsung kita berkaitan dengan IMO, secara administrasi induknya di Kementerian Perhubungan. Jadi apa yang kita perbuat dan apa yang terjadi di perairan kita, ter-record di lembaga internasional.
Misalkan Ditjen Perhubungan Laut mengadakan pelatihan untuk penanganan pencemaran di Surabaya atau di Filipina, nanti dicatat di sana. Itu menunjukan kepedulian kita, kalau kita tidak latihan dinilai tidak peduli. Dalam hal ini kepedulian itu dinilai dengan latihan.
Kita perhatikan anggota kita agar latihan itu tidak hanya capek saja. Lalu kita undang juga orang asing, dari Filipina, Amerika Serikat, Australia dan lain-lain. Bahwa kita tidak sendirian mengerjakan ini.
Dunia usaha yang memiliki potensi pencemaran laut, khususnya minyak dan bahan kimia, itu perusahaan kapal dan perusahaan yang memiliki wilayah kerja berupa pelabuhan. Itu diatur dalam Permenhub 58 Tahun 2013. Apakah itu sudah diimplementasikan oleh perusahaan-perusahaan yang dimaksud?
Perusahaan-perusahaan itu ada yang memang bidangnya seperti itu, ada juga yang menganggap itu ancaman. Jadi ada perusahaan di Indonesia ini yang memiliki sistem membership untuk penanggulangan. Misalkan untuk Tanjung Priok, kapal terbesar di situ ukuran panjangnya 300 meter, oil boom-nya harus berapa meter. Tidak semua perusahaan punya oil boom, repot.
Nah, akhirnya mereka bersatu, menjadi member dari satu perusahaan yang menyediakan alat-alat itu seperti OSCT Indonesia, stockpile-nya di Marunda, perusahaan-perusahaan kapal dan pengelola pelabuhan jadi member dari perusahaan itu.
Termasuk Pelabuhan Untuk Pepentingan Sendiri (PUKS), karena kita tidak tahu jenis chemical seperti apa yang dia produksi. Seperti di Banten, sepanjang 23 kilometer itu semua pelabuhan dengan produk yang berbeda-beda. Kita harapkan dari setiap perusahaan tersebut mengerti ancamannya apa.
Ada jenis chemical yang tidak boleh dihisap oleh manusia, ada yang kena tangan melepuh, ada yang mudah terbakar, perusahaan sendiri yang harus bisa menanggulanginya. Itulah masalah pencemaran saat ini, makin meningkatnya produk chemical, produk turunannya, atau produk yang dihasilkan dari kombinasi chemical tersebut.
Apakah KPLP sebagai regulator melakukan semacam inspeksi untuk memastikan perusahaan-perusahaan yang dimaksud dalam Permenhub dan Perpres itu patuh?
Aturan kita buat, perusahaan-perusahaan tersebut sudah mengerti, karena persyaratan dari pembangunan pelabuhan lewat kami juga, tahapan-tahapannya mereka lalui.
Apakah semua perusahaan minyak (KKKS) itu juga sudah terverifikasi oleh Hubla? Memiliki kesiagaan dalam peralatan, personel dan contingency plan?
Begini, misalkan ada kewajiban kita pakai helm yang standar industri Indonesia, saya pakai helm pakai standar Inggris, ya silakan saja. Lebih canggih dari kita. Kita kan bicara minimum, jadi dia lebih tinggi. Karena permintaan dari mereka juga untuk melengkapi alat keselamatan. Bekerja sama dengan Singapura, kerja sama dengan asing, hitungan mereka 20 menit dari saat kejadian kapal sampai ke sini, itu standar mereka.
Kalau kita, seperti yang tadi saya bilang, yang ‘penting ada’. Kalau mereka dalam ‘20 menit’ bisa sampai ke lokasi kejadian, kenapa kita izin yang ‘penting ada’? Jadi standar yang disebut Pak Anung (Anung Trijoko Wasono, Kepala Seksi Penanggulanan Musibah, Subdirektorat Penanggulanan Musibah dan Pekerjaan Bawah Air, Ditjen Hubla) seperti itu. Perusahaan-perusahaan minyak untuk menyimpan barangnya saja harus ada standar, clear kiri-kanan dan seterusnya.
Awal Januari 2018 lalu, tanker Iran bertabrakan kapal kargo di Laut China Timur sampai terbakar, tenggelam, dan menumpahkan minyak dalam jumlah besar, Tier 3. Apabila itu terjadi di perairan Indonesia yang merupakan bagian lalu lintas pelayaran dunia, seperti apa tahapan-tahapan penanggulangannya?
Kita kan sudah sering melaksanakan latihan antar negara, Indonesia dengan Filipina sudah sering, Indonesia dengan Singapura sudah ada juga, ada SOP-nya, dalam hitungan menit kapal sudah sampai. Indonesia dengan Malaysia, Indonesia dengan Australia tetap kontak walau belum pernah latihan bersama.
Bahkan dalam kerangka kerja sama Indonesia dengan Singapura, ada dana yang mengendap dari Nippon Foundation, sebesar Rp60 miliar. Dana itu, bunganya bisa digunakan untuk rapat-rapat kita. Selama lima tahun dana itu disimpan bergiliran.
Walaupun itu rutin, itu masih minim. Lihat, luas Indonesia begitu luas, kapal yang membawa oil boom cuma tujuh kapal, milik KPLP semua. Biaya operasionalnya besar sekali. Untuk bahan bakar saja, satu kapal menghabiskan 1200 liter BBM per jamnya.
Dari 226 Unit Penyelenggara Pelabuhan yang ada di Indonesia, baru 30 yang dilengkapi dengan Peralatan Penanggulangan Tumpahan Minyak (PPTM) dan tim yang terlatih? Akan ada penambahan?
Peralatan yang kita berikan untuk 30 pelabuhan yang kita anggap potensial untuk terjadinya pencemaran, khususnya tumpahan minyak.
Kita lihat ke depan, efektif gak, kalau gak, ngapain kita tambah lagi. Di Cilegon, tiap perusahaan sudah punya, ngapain kita beli lagi? Saya pernah latihan di Korea, yang punya oil boom 200 meter, potensi kecelakaan besar sekali, kalau di total oil boom itu di-deploy bisa sampai 1200 meter.
Sistem yang bicara, walau kita cuma punya 30 pelabuhan jika digabung dengan pelabuhan swasta, bisa jadi satu kekuatan, makanya perlu latihan. Premier Oil dan ConocoPhilips itu latihan di tengah Laut Natuna sana.
Ketika terjadi tumpahan minyak Montara, apakah ada pusat penanggulangan tumpahan minyak dari Australia yang melakukan penanggulangan?
Mereka bekerja, tapi karena saya hitung minyak yang dikeluarkan itu sebanyak 70.000 ton, itu yang harus cari cara yang paling efektif. Oil boom mau panjangnya berapa meter? Akhirnya dispersant yang dipakai. Bayangkan, blow out selama 3 minggu.
Adakah data statistik di KPLP, berapa kali per tahun, di wilayah perairan mana saja frekuensi tumpahan minyak cukup tinggi?
Ada, tapi kalau mau tahu lebih jelas lagi di Migas (ESDM). Kita kan pakai penginderaan satelit, di mana ada tumpahan minyak bisa langsung terdeteksi. Masalahnya itu tadi, punya sendiri-sendiri. Bakamla, Angkatan Laut, Perhubungan, kenapa gak jadi satu? Jadi staf kita suruh ‘nongkrong’ di situ satu-satu.
Apakah KPLP juga berkoordinasi dengan ESDM dan SKK Migas melakukan inspeksi rutin terhadap pipa minyak bawah laut? Karena banyak sekali pipa minyak bawah laut di Indonesia yang usianya sudah sangat tua.
Pipa-pipa di Laut Jawa, bukan hanya di Tuban, usianya juga ada yang 30 tahun, itu jadi kendala juga buat kita. Kemarin (pembangunan) Pelabuhan Cilamaya juga terhambat karena itu juga, kendalanya karena banyaknya pipa minyak bawah laut.
Kita tadinya mau mengenakan pajak buat terhadap pengguna area dasar laut. Tapi kalau itu dilaksanakan, biaya yang dibebankan kepada pengguna akan besar sekali.
Di dasar laut bukan hanya pipa, ada juga kabel telekom, kabel PLN. Pipa juga ada pipa gas, pipa bbm, ada pipa air, kalau itu dibebankan biayanya akan besar. Kabel Telekom misalnya, ke kiri-kanan 500-1000 meter harus clear, tidak boleh ada kabel lain, itu kan boros.
Kalau ada dua kabel berapa range-nya? Apalagi kabel dari Australia sampai Singapore, dari Sabang sampai Merauke. Indonesia jadi tempat sampah kabel laut. Itulah karena usianya sudah tua tapi masih digunakan. Tapi semua tertata, gak kayak benang kusut.
KPLP di sana berperan melakukan inspeksi?
Berperan, semua ada di kita dan rencana 2019 nanti kita bikin database, semua masuk ke komputer. Kabel, pipa minyak, pipa gas, pipa air, kapal tenggelam, semua ada nanti. Teknologi, itulah yang saya bilang kita mungkin akan ada pengurangan pegawai karena teknologi ini.