Indonesia adalah negara yang sebagian wilayah perairannya menjadi bagian dari lalu lintas pelayaran internasional, di mana kapal-kapal raksasa, termasuk tanker yang mengangkut minyak, dari berbagai belahan dunia lalu lalang.
Tabrakan kapal sering terjadi di perairan internasional, seperti yang terjadi pada awal tahun 2018 yang melibatkan tanker MV Sanchi dengan CF Crystal sebenarnya cukup ironis. Karena peristiwa itu terjadi ketika teknologi informasi sudah begitu maju, termasuk aplikasinya dalam navigasi industri pelayaran.
Selain itu, lokasi kejadiannya pun di perairan antara tiga negara yang sangat maju dalam teknologi, China, Jepang, dan Korea Selatan. Dengan deskripsi itu, seharusnya tabrakan fatal yang menyebabkan korban jiwa, kerugian harta benda, sampai terancamnya kelestarian lingkungan hidup akibat tumpahan minyak, bisa dihindari.
Namun fakta berbicara lain, semua itu telah terjadi. Artinya, secanggih apapun peralatan yang digunakan, belum dapat menjamin peristiwa tabrakan kapal di laut yang sangat luas selalu bisa dihindari. Alasannya sederhana, karena yang mengoperasikan kapal dan peralatan cangging itu adalah manusia. Sementara yang namanya human error dipastikan tidak akan mungkin bisa dieliminir.
Tidak kurang dari 200 ribu kapal yang melakukan pelayaran internasional, melintas di wilayah perairan Indonesia. Sehingga, kejadian seperti tabrakan MV Sanchi dan CF Crystal pada awal Januari 2018 lalu, bukan mustahil terjadi di perairan Indonesia. Akibatnya jelas, lingkungan hidup perairan Indonesia menjadi sangat terancam. Bahkan, dalam beberapa dekade terakhir, tabrakan kapal di perairan Indonesia sudah sering terjadi.
Minyak yang tumpah dari MV Sanchi terbawa arus dan menyebar hingga menutupi permukaan laut seluas 13 kilometer persegi. Dalam beberapa hari setelah kejadian, angin dan arus alut di sekitar Laut China Timur mengarah ke timur, menuju perairan Jepang.
Seperti ditulis media-media di China, Jepang dan Korea Selatan, upaya penanggulangan tumpahan minyak sudah dilakukan oleh sejumlah kapal yang menggelar oil boom untuk melokalisir area tumpahan minyak. Tenggelamnya tanker tersebut mengancam ekosistem laut dan wilayah pantai selatan Korea Selatan, termasuk kawasan wisata Jeju, wilayah pantai barat di wilayah Jepang bagian selatan, serta pantai timur China.
Karena diperkirakan, ketika bagian buritan tanker MV Sanchi tenggelam, di beberapa kargonya masih terdapat minyak dan kondensat yang jumlahnya tidak kurang dari 1.000 ton. Selain itu, pada tangki masih tersimpan cukup banyak bahan bakar. Apabila minyak dari kargo MV Sanchi sewaktu-waktu keluar dan menyembul ke permukaan, maka tergantung arus laut pada saat itu, ke arah mana mengalir.
Kalangan industri perikanan China mengkhawatirkan dampak lingkungan dari tumpahan minyak di Laut China Timur itu, mengingat lokasi kejadian tabrakan dan tenggelamnya tanker, merupakan area pemijahan berbagai jenis ikan, serta jalur migrasi paus.
Mengacu pada volume minyak yang diangkut oleh MV Sanchi yang sangat banyak, jumlah minyak yang tumpah dalam insiden ini disebut-sebut sebanding dengan volume minyak yang tumpah ketika Exxon Valdez menabrak Bligh Reef di perairan Prince William Sound tahun 1989.
Berdasarkan simulasi numerik yang dilakukan oleh National Oceanography Centre bersama University of Southampton, penelitian dengan menggunakan alat pelacak partikel dan model sirkulasi samudera global beresolusi tinggi, pada periode Januari 2006 sampai 2015, menunjukkan sejumlah data pada peta area yang terkontaminasi sekitar lokasi kejadian. Mereka memperkirakan, sisa-sisa tumpahan minyak akan mencapai pantai Korea Selatan dalam tiga bulan ke depan.
Dengan panjang 274 meter dan bobot mati 85.000 ton, MV Sanchi hampir sama besarnya dengan kapal induk kelas Nimitz milik Angkatan Laut Amerika Serikat. Muatan minyak yang diangkut MV Sanchi dari Iran nilainya tidak kurang dari US$60 juta.
Oleh karena itu, sudah waktunya Pemerintah Indonesia meningkatkan upaya pencegahan, serta menetapkan mitigasi bencana untuk kecelakaan transportasi laut, khususnya di jalur pelayaran internasional, termasuk yang berpotensi menimbulkan pencemaran laut berupa tumpahan minyak atau bahan-bahan kimia beracun berbahaya (B3) dalam skala besar.
Untuk merealisasikan konsep tersebut, tentunya pemerintah harus melibatkan semua pemangku kepentingan dalam konteks itu, termasuk institusi profesional dalam pencegahan dan penanggulangan tumpahan minyak di Indonesia. (nol/yus)