Belum sampai satu bulan berlalu, tepatnya hari Senin, 21 Agustus 2017 pukul 04.24 WIB, kapal perang Amerika Serikat, USS John S. McCain bertabrakan dengan tanker berbendera Liberia, Alnic MC, yang mengakibatkan lambung kiri USS John S. McCain robek dan 10 marinir Amerika Serikat terhempas ke laut dan tewas. Tanggal 13 September 2017, tabrakan kapal terjadi lagi di Selat Malaka.
Kali ini antara sebuah kapal tanker berbendera Indonesia dan kapal keruk berbendera Republik Dominika. Dalam kecelakaan itu lima awak kapal keruk dilaporkan hilang dan tujuh lainnya luka-luka. Sumber di Otoritas Pelabuhan dan Maritim Singapura (MPA) menjelaskan, 40 menit selepas tengah malam, tanker MT Kartika Segara meninggalkan Pelabuhan Singapura melaju ke arah timur.
Dari arah berlawanan kapal keruk JBB De Rong 19 berlayar hendak masuk ke pelabuhan, dan tabrakan pun tak terhindarkan. Lokasi kejadian sekitar 1,7 mil laut barat daya Sisters’ Island, Singapura. Beberapa menit setelah kejadian, regu penyelamat dari Singapura, Malaysia dan Indonesia segera memberikan pertolongan dengan helikopter dan kapal patroli.
Badan SAR Nasional dan Kementerian Perhubungan menurunkan armadanya untuk melakukan pencarian korban. Setelah melakukan pencarian selama beberapa jam, Tim Badan SAR Nasional (Basarnas) Tanjungpinang, Kepulauan Riau menemukan dua korban awak kapal JBB De Rong dalam kondisi sudah meninggal dan langsung dievakuasi ke Kantor Police Coast Guard, Singapura. Kedua awak yang naas tersebut diketahui berkewarga-negaraan China.
Tabrakan kedua kapal di tengah malam itu sangat dahsyat. Setelah terjadi benturan pertama, kapal JBB De Rong terus terdorong oleh MT Kartika Segara hingga terbalik. Sebagai catatan, kapal tanker dengan bobot lebih dari 30 ribu ton bermuatan penuh bahan bakar berbenturan keras dengan kapal dengan bobot sekitar 20 ribu ton. Jika sampai muatan bahan bakar MT Kartika Segara tumpah ke laut dan terbakar, maka sangat mungkin Selat Malaka menjadi ‘Selat Api’.
Selain itu, oli mesin di kedua kapal tersebut dipastikan jumlahnya mencapai ribuan ton, yang jika sampai tumpah ke laut, akan sangat sulit melokalisirnya dan menanggulanginya. Mengingat lokasi kejadian adalah laut yang arusnya cukup deras.
Menanggapi tingginya frekuensi kecelakaan kapal di Selat Malaka yang sangat mungkin menimbulkan tumpahan minyak, Deputi Pengendalian Pengadaan SKK Migas, Djoko Siswanto mengingatkan semua pihak untuk mengikuti prosedur yang ada.
“Saya berharap kecelakaan itu bisa dihindari. Cuma kadang-kadang orang alpa, atau bencana alam terjadi tanpa diduga. Kalau bencana alam ya susah, itu namanya force majeure. Tapi kalau data hasil kajian safety itu tergantung dari perilaku manusia. Karena manusia bisa lupa, lupa periksa dan sebagainya. Dari studi selama 40 tahun, 80% kecelakaan disebabkan kesalahan manusia,” kata Djoko.
Jika terjadi kecelakaan di laut, agar penanggulangan bisa lebih cepat dilakukan, badan usaha atau perusahaan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) harus mempunyai contingency plan dan kesiagaan penanggulangan tumpahan minyak. Caranya, bisa melalui membership pusat penanggulangan tumpahan minyak, atau mempunyai tim dan peralatan penanggulangan tumpahan minyak sendiri.
“Kalau soal membership itu kan lebih pada efisiensi. Tapi dari sistem penanggulangannya memang safety management-nya harus seperti itu, mempunyai contingency plan dan readiness penanggulangan tumpahan minyak. Katakanlah ada kecelakaan di Indonesia. Malaysia dan Singapura secara otomatis akan membantu, karena adanya perjanjian-perjanjian yang sudah disepakati bersama. Mereka akan membantu,” kata Djoko.
Di lingkup kecil, lanjut Djoko, contingency plan dan readiness untuk penanggulangan tumpahan minyak antar perusahaan KKKS itu bisa, tapi yang terbaik, saling membantu.
Di Malaysia dan Singapura perusahaan-perusahaan yang memiliki eksposur risiko tumpahan minyak, umumnya menjadi member dari pusat penanggulangan tumpahan minyak seperti PIMMAG Malaysia dan OSRL Singapura, termasuk penanggulangan kemungkinan terjadinya tumpahan minyak ketika terjadi tabrakan antara USS John S. McCain dan Alnic MC di Selat Malaka.
Djoko mengatakan, skema contingency plan dan readiness perusahaan-perusahaan KKKS dan badan usaha juga akan mengarah ke sana. “Iya, kita terus mengarah ke sana, update terus penataan dan tingkatkan kerjasamanya,” ujarnya.
Sementara Kepala Seksi Penanggulangan Musibah, Sub Direktorat Penanggulangan Musibah dan Pekerjaan Bawah Air, Ditjen Hubla, Kementerian Perhubungan, Anung Trijoko mengemukakan, di Selat Malaka dan Selat Singapura (SMSS) sudah ada mekanisme kerja sama tiga negara pantai (Indonesia, Malaysia, dan Singapura) berupa Revolving Fund Committee, di mana terdapat standard operating procedure (SOP), notifikasi dan pendanaan awal, serta response.
“Untuk penempatan personil dan peralatan di sekitar SMSS perlu dibahas dalam forum Puskodalnas. Saat ini belum ada. Tapi existing team dan peralatan penanggulangan tumpahan minyak (PPTM) yang onboard di kapal patroli KPLP KN Sarotama dan KN Kalimasadha di pangkalan KPLP Tanjung Uban, Kepulauan Riau, serta PPTM di Kantor Pelabuhan Batam,” Anung menjelaskan.
Anung menambahkan, sejauh ini sebagian besar perusahaan-perusahaan yang memiliki pelabuhan dan terminal sendiri di sekitar SMSS belum memenuhi ketentuan Permenhub No. 58 Tahun 2013.
“Masih banyak yang belum comply. Namun ada beberapa yang sedang melakukan penilaian potensi pencemaran laut dalam rangka compliance PM 58/2013, di antaranya Oil Tanking Karimun (OTK) dan Wilmar International,” kata Anung.