Pada tahun 1996 International Maritime Organization (IMO) menerbitkan regulasi No.13 F dari Annex 1 MARPOL, yang isinya kapal-kapal tanker berbobot 5000 ton atau lebih yang akan dibangun setelah ketentuan itu diberlakukan, harus tanker double hull.
Kemudian, setelah tenggelamnya tanker Erika pada Desember 1999, IMO mengajukan usulan agar peraturan mengenai penghentian penggunaan kapal-kapal tanker single hull penerapannya lebih dimajukan.
Tanggal 12 Desember 1999 tanker MV Erika yang membawa muatan 31.000 ton heavy oil diterjang badai Samudera Atlantik di lepas pantai Perancis. Kapal berbendera Malta dengan panjang 184 meter itu dibangun di Kasado Dock Co. Ltd. Jepang pada tahun 1975.
Tenggelamnya Erika dan menyebabkan pencemaran minyak cukup hebat disebabkan badan kapal yang sudah ringkih, tidak kuat menahan hantaman gelombang hingga kapal retak dan terbelah.
Peristiwa itu mendorong IMO untuk mengeksekusi tiga hal, yaitu, pertama, mempercepat jadwal pembahasan dan pengesahan revisi 13G regulasi MARPOL tentang kapal tanker single-hull.
Kedua, perubahan yang diadopsi oleh IMO pada bulan Oktober 2000 untuk menaikkan sebesar 50% dari batas kompensasi yang dibayarkan kepada korban pencemaran oleh minyak dari kapal tanker minyak di bawah Konvensi Internasional tentang Kewajiban Sipil untuk Kerusakan Polusi Minyak (CLC Convention) dan Konvensi Internasional tentang Pembentukan Dana Internasional untuk Kompensasi atas Kerusakan Polusi Minyak (IOPC Fund).
Ketiga, Komite Keselamatan Maritim IMO (MSC) pada Desember 2000 mengadopsi amandemen pedoman pada program peningkatan inspeksi selama survei atas kapal curah dan kapal tanker minyak (resolusi A.744 (18)) dalam kaitannya dengan evaluasi kekuatan longitudinal lambung girder pada tanker minyak.
Menyikapi amandemen IMO atas resolusi A.744 (18) tersebut, Indonesia sebagai anggota IMO, telah meratifikasikan dan menindak-lanjuti dengan penerbitan Peraturan Menteri Perhubungan No. KM.66 Tahun 2005 tentang Ketentuan Pengoperasion Kapal Tangki Minyak Lambung Tunggal (single hull).
Selanjutnya, IMO telah mengambil tindakan pada beberapa hal operasional lainnya berdasarkan daftar tindakan yang bertujuan meningkatkan keselamatan dan meminimalkan risiko pencemaran laut karena tumpahan minyak.
Dalam menanggapi insiden Erika. Negara-negara Uni Eropa menerbitkan Erika Law. Kasus Erika mendorong Uni Eropa untuk menerbitkan dua ketentuan menyangkut keselamatan maritim. Selain itu, ada juga regulasi ketiga yang dipicu oleh kasus tenggelamnya kapal tanker minyak Prestige di lepas pantai Spanyol dan Perancis pada tahun 2002.
Erika I, dirilis 22 Juli 2003 menyangkut Port State Control, Proposal pertama untuk mengamandemen Directive 95/21/EC guna mengawasi kapal-kapal yang masuk ke pelabuhan-pelabuhan Eropa. Kapal yang berusia lebih dari 15 tahun yang dalam dua tahun terakhir dinyatakan bermasalah, akan ditolak masuk.
Ketentuan itu juga mengenai Classification Societies, Double-hull Oil Tankers. Mulai 1 Januari 2010, kapal tanker minyak single hull berbobot 20.000 DWT atau lebih, dilarang masuk perairan Uni Eropa. Perlakuan sama juga berlaku bagi kapal tanker single hull 600 DWT atau lebih, mulai tahun 2015.
Erika II, beleid ini menyangkut Maritime Traffic Monitoring and Control System, dimaksudkan untuk menekan tingkat risiko kecelakaan. Uni Eropa akan mendirikan Compensation of Oil Pollution in European waters atau COPE Fund, guna meningkatkan dana kompensasi bagi korban tumpahan minyak di perairan Uni Eropa.
Dana tersebut akan diberikan kepada korban dengan klaim dibenarkan yang €200 juta melebihi batas kompensasi regim internasional. Batas kompensasi dana adalah €1 miliar. Peraturan ini juga memberikan hukuman keuangan bagi mereka yang terbukti lalai dalam transportasi minyak melalui laut. Regulation (EC) No.1406 Tahun 2002 ini kemudian diadopsi menjadi the European Maritime Safety Agency.
Erika III, menyangkut Flags State, MoU Paris tentang Port State Control, Classification Societies, Port State Control, Traffic Monitoring, dan Shipowner Insurance. Melalui Directive 2009/16/EC Uni Eropa membentuk Port State Control, di mana kapal-kapal yang akan masuk Eropa harus diinspeksi dan dicatat profil risikonya berdasarkan jenis, usia kapal, bendera, catatan tentang perusahaan, dan catatan tentang penahanan kapal.
Accident Investigation, Directive 2009/18/EC, menyiapkan panduan investigasi teknis dan diseminasi pembelajaran dari kasus-kasus transportasi laut. Lalu, Passenger Carrier Liability, ketentuan yang seragam di antara negara-negara Uni Eropa, tentang kompensasi bagi penumpang kapal yang menjadi korban kecelakaan kapal disusun melalui Regulation (EC) No.392/2009. Ketentuan ini ekstensi dari Konvensi Athena (IMO) yang sudah menjadi bagian dari hukum Uni Eropa.
Persoalan-persoalan yang merupakan domain dari Port State Control dan Maritime Traffic Monitoring and Control System yang dibuat Uni Eropa paska Tragedi Erika, sejatinya sudah terangkum dalam kebijakan dan produk hukum yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia.
Kebijakan yang dimaksud adalah, Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 atau Konvensi Hukum Laut dan Oil Pollution Preparedness, Response and Co-operation (OPRC) 1990.
Tindak lanjut atas ratifikasi dua konvensi internasional itu, berupa penerbitan produk hukum, yaitu Undang Undang No. 17 Tahun 1985 tentang Hukum Laut, Undang Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta Peraturan Presiden No. 109 Tahun 2006 tentang Tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut.
PP No. 109 Tahun 2006 diterbitkan sebagai panduan untuk melakukan tindakan penanggulangan tumpahan minyak di laut, secara cepat, tepat dan terkoordinasi, agar penanggulangan musibah dapat dilakukan secara efisien pada masing-masing kategori, yaitu Tier 1 berskala kecil, dilakukan oleh pihak spiller, pemilik minyak, pemilik kapal, pemilik instalasi, dan lembaga yang wilayah kerjanya tercemari minyak.
Tier 2, berskala sedang, penanggulangannya dilakukan bersama dengan lembaga atau perusahaan terdekat dengan lokasi pencemaran minyak, dan perlu melibatkan organisasi penanggulangan tumpahan minyak. Tier 3, tumpahan minyak berskala besar, penanggung-jawab ada pada negara, yang penanggulangannya memerlukan bantuan dari negara lain.
Sedangkan untuk memastikan kelaikan kapal-kapal niaga berbendera Indonesia dan kapa berbendera asing yang secara reguler beroperasi di perairan Indonesia, jauh sebelum tenggelamnya MV Erika, tepatnya pada tahun 1964 Pemerintah Indonesia mendirikan Badan Klasifikasi Indonesia. Kini lembaga ini berbentuk Badan Usaha Milik Negara.