DALAM dua puluh tahun terakhir, kasus tumpahan minyak di perairan Indonesia, baik frekuensi kejadian maupun intensitasnya, sudah sangat mengancam keletarian lingkungan hidup laut dan pesisir. Beberapa kasus tumpahan minyak, seperti blow out di anjungan lepas pantai milik Petroleum Authority of Thailand Exploration and Production (PTTEP) Thailand di Celah Timor yang tumpahan minyaknya menutupi pantai selatan pulau-pulau di Nusa Tenggara Timur pada 21 Agsutus 2009.
Kemudian robeknya lambung tanker King Fisher dan menumpahkan puluhan ribu barel minyak hingga menghitamkan Teluk Cilacap, Jawa Tengah, tanggal 1 April 2000, terakhir awal April 2018 lalu, pipa minyak bawah laut milik Pertamina dari Lawe Lawe ke Balikpapan putus dan menyemburkan minyak selama beberapa hari. Tumpahannya menutupi Teluk Balikpapan hingga meluber ke Selat Makassar bagian barat.
Itu belum termasuk tumpahan-tumpahan dalam intensitas rendah seperti yang sering terjadi di perairan Tuban, Jawa Timur, Teluk Jakarta, dan Selat Malaka. Bagaimanapun, perairan Indonesia termasuk salah satu paling potensial terjadi tumpahan minyak, mengingat perairan Indonesia merupakan bagian dari lalu lintas pelayaran dunia, termasuk pelayaran kapal-kapal tanker.
Kondisi tersebut mendorong Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman untuk bekerja sama dengan International Matirime Organization (IMO) guna menggelar National Workshop On IMO Liability and Compensations Conventions di Bali, tanggal 18-21 September 2018. Salah satu topik yang diangkat dalam workshop tersebut adalah peningkatan kapasitas para pejabat negara dan masyarakat dalam menangani kasus-kasus tumpahan minyak, tabrakan kapal, serta kapal kandas menggerus terumbu karang yang terjadi perairan di Indonesia.
Hal ini disampaikan oleh Asisten Deputi Bidang Keamanan dan Ketahanan Maritim, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Basilio Dias Araujo pada acara pembukaan National Workshop on IMO Liability and Compensation Convention di Legian, Bali. Kegiatan ini merupakan salah satu bentuk bantuan teknis dari IMO yang dimanfaatkan oleh Indonesia selaku negara anggota IMO dan termasuk salah satu pembayar iuran terbesar pada organisasi IMO.
Indonesia sebagai Anggota Dewan International Maritime Organization (IMO) Kategori C bersama 19 negara lain, membayar iuran lebih dari US$300 ribu atau sekitar Rp7 miliar per tahun. Dengan demikian Indonesia harus meratifikasi beberapa konvensi internasional yang dihasilkan IMO dan memanfaatkan bantuan teknis yang diberikan organisasi IMO, Indonesia pun harus mengajukan kehadirannya dengan cara ikut menentukan beberapa agenda dan kebijakan global yang berpengaruh pada kemaritiman dunia yang menjadi domain lembaga ini.
Workshop ini melibatkan lebih dari 40 orang peserta yang terdiri dari beberapa pejabat dari kementerian terkait, seperti Sekretariat Negara, Kemenko Maritim, Kementerian Perhubungan, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kejaksaan Agung dan beberapa perusahaan minyak nasioal, antara lain Pertamina dan Medco, serta Organisasi Masyarakat dan LSM yang bergerak di bidang advokasi hukum lingkungan.
Pihak IMO sendiri mengirimkan tiga orang tenaga ahli di bidang hukum IMO, perwakilan dari perusahaan asuransi kapal (P&I Clubs), dan pengelola dana International Oil Pollution Compensation Fund (IOPC). Technical Committee adalah bagian yang memberikan bantuan teknis jika negara-negara anggota mengalami kesulitan atau perlu bantuan terkait ganti rugi.
Basilio Araujo berharap, pemerintah Indonesia dapat belajar lebih banyak tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan konvensi-konvensi internasional terkait kemaritiman dan lingkungan hidup untuk menyelesaikan masalah-masalah yang mungkin muncul di masa datang.
Dengan ikut sertanya perwakilan IMO dan IOPC, diharapkan dapat mendorong Pemerintah Indonesia untuk meratifikasi beberapa konvensi yang belum diratifikasi, seperti Hazardous and Noxious Substance Convention (HNS Convention), yakni konvensi internasional yang dibuat pada tahun 1996 untuk mengkompensasi kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh tumpahan bahan kimia berbahaya dalam kegiatan transportasi laut.
Selain HNS Convention, beberapa konvensi yang belum diratifikasi pemerintah Indonesia seperti Nairobi Wreck Removal Convention tahun 2007, untuk mengangkat kapal-kapal yang tenggelam. Salvage Convention tahun 1989 untuk mengangkat kapal dan barang muatan kapal. Konvensi-konvensi ini urung diratifikasi, padahal sangat penting bagi Indonesia yang wilayahnya berupa kepulauan.
Sejauh ini Indonesia telah meratifikasi 26 konvensi dari 56 konvensi IMO yang disepakati bersama anggota-anggota IMO lainnya, antara lain Safety of Life at Sea (SOLAS) 1974, Convention for Safe Containers (CSC)1972, Standards of Training, Certification and Watchkeeping for Seafarers (STCW)1978, International Maritime Satellite Organization (INMARSAT)1976, Convention on the International Regulations for Preventing Collisions at Sea (COLREGs) 1972 dan Civil Liability Convention (CLC) 1992. Kemudian pada 24 Agustus 2012 Indonesia juga meratifikasi MARPOL 73/78 dan Konvensi Search and Rescue (SAR) 1979.
PR Kasus Tumpahan Minyak
Alasan lain penyelenggaraan kegiatan ini menurut Basilio Dias Araujo, Indonesia masih menghadapi ancaman tumpahan minyak di Selat Malaka. Tingginya aktivitas pelayaran kapal di sana menimbulkan potensi kecelakan laut yang tinggi. Contoh, kasus Kapal MV Alyarmouk berbendera Libya yang ditabrak kapal MV Sinar Kapuas berbendera Singapura di perairan Singapura dekat Pedra Branca, pada 2 Januari 2015 yang kemudian mengakibatkan tumpahan minyak sampai ke pesisir wilayah Batam dan Bintan.
Namun hingga kini kasus itu masih terkatung-katung, dan masyarakat dibiarkan sendiri berjuang di Pengadilan Singapura tanpa bantuan negara. Kasus lain yang juga diangkat oleh Basilio Araujo adalah kasus tumpahan minyak Montara yang terjadi pada tahun 2009 dan sampai hari ini proses hukumnya belum tuntas. Terakhir adalah kasus Kapal Pesiar Caledonian Sky yang menabrak gugusan terumbu karang di daerah konservasi Raja Ampat, proses hukumnya juga belum terselesaikan.
Terjadinya kasus-kasus perusakan lingkungan laut di Indonesia tersebut membuka tabir, ternyata banyak pejabat di lembaga-lembaga yang berkompeten menangani kasus-kasus itu, tidak memahami peraturan-peraturan, khususnya peraturan internasional.
“Kasus Caledonian Sky membuktikan betapa kita tidak siap untuk mengimplementasikan konvensi internasional. Kasus tumpahan minyak di Laut Timor ternyata menunjukkan bahwa kita tidak siap menjalankan aturan nasional yang ada, yaitu Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009. Berdasarkan Undang-Undang Lingkungan Hidup, semua lembaga di pemerintahan bisa menggugat, mulai dari, pemerintah provinsi, kabupaten, kota sampai LSM. Bahkan asosiasi, masyarakat banyak atau perorangan, tapi tidak satu pun pihak yang melakukannya sampai Menko Maritim turun tangan,” kata Basilio.
Sesuai konvensi CLC 1992, yang mengatur tanggung jawab pemilik kapal atas kerusakan pencemaran minyak, negara melalui lembaga penyidikan, penuntutan dan pengadilan, bisa melakukan proses hukum, dan putusan pengadilan di dalam negeri bisa dieksekusi terhadap warga dan lembaga negara manapun. Artinya, pemerintah Indonesia bisa meminta pihak di negara lain untuk mengeksekusi putusan hukum pengadilan Indonesia. Hal ini menjadi landasan untuk menggugat kembali PTTEP Thailand pada kasus Montara setelah adanya temuan baru terkait luasan lingkungan hidup yang rusak dan kalkulasi kerugian.
Kemenko Maritim berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menarik gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, lalu meminta para ahli untuk menghitung kembali luasan wilayah laut dan pantai yang rusak, setelah dilakukan penelusuran, kemudian menyusun gugatan baru. Gugatan baru tersebut dijadwalkan akan dilimpahkan kembali ke Pengadilan awal Oktober 2018. Pada tahun 2012 pengungkapan kasus ini sempat dilakukan, namun kemudian terhenti. Di lain pihak, PTTEP telah menjual 100% sahamnya di Lapangan Montara kepada Jadestone Energy (Eagle) Pty. Ltd. senilai US$195 juta. Setelah transaksi itu, proses hukum di pengadilan diyakini akan tambah runyam.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Nur Hidayati mengatakan, seringnya kasus-kasus hukum mengenai pencemaran lingkungan hidup menguap begitu saja, disebabkan proses penegakan hukum lingkungan belum dipahami oleh penegak hukum itu sendiri. Ia mengusulkan dibentuknya pengadilan khusus untuk kasus-kasus lingkungan hidup. Karena selama ini penanganan kasus-kasus lingkungan hidup tidak pernah selesai.
“Dalam banyak kasus, jelas-jelas yang salah adalah industri, tapi yang terjadi adalah pemerintah yang harus menanggung kerugian, rakyat yang harus pindah, tidak ada tanggung jawab dari korporasinya. Lalu pemulihan sungai-sungai yang tercemar, pemulihan area yang terkena tumpahan minyak itu juga dilakukan oleh pemerintah,” kata Nur Hidayati.
Padahal dalam undang-undang lingkungan hidup yang berlaku sudah ada prinsip strict liability, artinya jika di satu lokasi ada industri, kemudian di sekitarnya terjadi pencemaran lingkungan, maka penegak hukum tidak perlu membuktikan hubungan kausalitasnya.
“Apakah tumpahan minyak itu karena kesengajaan, atau kecelakaan, force majeure, yang jelas terjadi pencemaran minyak di situ, perusaahaan yang melakukan kegiatan pencemaran tersebut harus tanggung jawab secara penuh. Dia tidak melihat lagi kaitan kriminalnya. Kalau dia sengaja menumpahkan minyak ke laut, itu sudah bisa langsung dipidana. Kalau hukum pidana lingkungan gak bisa, tapi kalau ada kasus pencemaran, apapun penyebabnya industri itu harus tanggung jawab. Ini prinsip percaya diri yang belum diterapkan oleh penegak hukum kita,” papar Nur Hidayati.
Ke depan, Indonesia masih menghadapi tantangan terkait tumpahan minyak dan rusaknya terumbu karang karena tergerus kapal, yang diakui pemerintah bahwa aparat penegak hukum belum mampu menanganinya, ketika kasus-kasus itu melibatkan warga atau lembaga dari negara lain. Lebih lanjut, Basilio mengatakan bahwa sebagai negara kepulauan, Indonesia harus menyadari, kejadian serupa tidak boleh dibiarkan terjadi terus menerus tanpa penyelesaian hukum. Maka dari itu, amat penting bagi Pemerintah Indonesia dan pihak-pihak yang terlibat untuk memiliki kemampuan yang mumpuni dan berstandar internasional untuk menangani kasus-kasus tumpahan minyak dan perusakan terumbu karang oleh kapal.
“Kejadian di Raja Ampat, Laut Timor, dan beberapa kali kejadian yang merugikan Indonesia di Selat Malaka menunjukan bahwa stakeholder yang terlibat, termasuk para pejabat Indonesia yang seharusnya berkompeten, tidak mengerti apa yang harus dilakukan.”