Tumpahan minyak jika terjadi di darat atau tanah, akan mengakibatkan hilangnya kesuburan tanah yang terpapar. Penanganan tumpahan minyak di darat, untuk yang sifatnya akut dilakukan dengan cara mekanis, mengambil lapisan minyak jika yang tumpah minyak mentah. Lain halnya kalau yang tumpah produk olahan minyak, yang langsung meresap ke dalam tanah, meski sebagian menguap ke udara.
Namun, jika tumpahan itu sifatnya kronis, baik minyak mentah maupun minyak olahan, dampaknya sama, akan menghilangkan kesuburan tanah. Selain itu, ketika suhu meningkat, maka minyak yang ada di dalam tanah akan terkonsolidasi dan muncul ke permukaan. Ketika suhu turun, minyak pun kembali ke dalam tanah.
Direktur PKSPL IPB, Dr. Ir. Ario Damar, M. Si. memaparkan, pencemaran minyak mutlak harus diatasi. IPB dengan keilmuannya, memperkuat keahlian untuk menghancurkan berbagai limbah menggunakan proses bio, salah satunya dengan alat Biodispersant.
Jika jumlahnya cukup besar, tidak bisa diatasi dengan Biodispersant, maka dilakukan melalui Land Farming, yaitu teknologi awal untuk Bioremediasi. Teknik Bioremediasi sudah diterapkan oleh PKSPL IPB sejak tahun 2001-2002. “Intinya kita menggunakan bio untuk mengolah limbah supaya kembali lebih cepat ke alam, yang tadinya bisa puluhan tahun,” kata Ario.
Ario menambahkan, pada minyak, juga terdapat unsur logam berat. Untuk menetralisir logam berat tersebut, tekniknya akan berbeda-beda. Pada prinsipnya, logam berat harus disimpan, tekniknya disebutnya ‘Fitoremediasi’.
Untuk mengumpulkan minyak tumpah yang sifatnya kronis mencemari tanah, ada proses mekanik kalau masih memungkinkan. Sebelumnya dilakukan mapping terlebih dahulu, untuk memetakan pencemaran minyak yang akan ditanggulangi. Cara kerjanya bagaimana, di mana, seberapa luas, teknologi bio yang tepat apa, dan seterusnya.
“Ada juga yang blocking di satu lokasi. Kadang-kadang kan minyak sudah ngumpul, tidak hanya sekarang, mungkin sejak zaman Belanda. Jadi satu tempat bisa menggunakan bioremediasi. Misalnya total equivalence untuk Carbon syaratnya harus di bawah 1000 PPM (Part Per Mill). Ini kita turunkan sehingga teknologinya menggunakan bakteri setempat yang sesuai dengan lingkungan, tidak harmful tapi mampu memotong rantai karbon itu. Maka itulah dikembangkan teknologi Land Farming,” kata Ario.
Land Farming adalah suatu metode di mana barang-barang yang tercemar dikumpulkan, diproses dengan tanah yang ada, diberi bakteri, dan diaduk. Kemudian untuk mempercepat proses, seperti yang dilakukan PKSPL IPB di Unocal (Balikpapan) pada tahun 2002, membutuhkan waktu selama 190 hari.
Kemudian dengan berbagai teknologi waktunya dipersingkat menjadi tiga bulan. “Metodologi proses, pengadukan, campuran itu kemudian menjadi tiga bulan.”
Ario melanjutkan, tiga bulan itu masih terlalu lama bagi perusahaan, kemudian PKSPL mengembangkan Bioreactor. Dengan menggunakan Bioreactor, semua proses yang dilakukan tanpa sentuhan tangan manusia, semuanya mesin. Cara kerjanya, limbah disedot, masuk ke dalam tanker atau kontainer untuk ‘diolah’, lalu dimasukkan ke kontainer berikutnya, dan mulai proses anaerob dengan ditambah beberapa jenis bakteri.
Kemudian, masuk ke kontainer lain untuk di-treatment. Tujuannya untuk menurunkan kadar Carbon dari 17.000 PPM atau berapapun, tergantung kondisinya, sampai kadar Carbon-nya di bawah 1000 PPM. Total waktu yang dibutuhkan adalah 21 hari.
Bahkan hasil pengembangan terakhir, waktu yang diperlukan untuk proses remediasi atau fitoremediasi hanya 14 hari. Output dari proses itu adalah pupuk. Karenanya, teknologi itu disebut Blue Economy, tadi tidak boleh ada limbah atau zero waste.
“Ini sudah memenuhi Peraturan Menteri (Lingkungan Hidup No. 7 Tahun 2014). Permen itu yang nyusun kita juga sama teman-teman. Karena pengalaman kita diminta untuk menyusun peraturan itu,” kata Ario.
Ketentuan mengenai restorasi lingkungan hidup dari kerusakan akibat pencemaran, selain Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup, ada juga Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 128 Tahun 2003 tentang Tatacara dan Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi oleh Minyak Bumi.
Untuk membuktikan setelah dilakukan bioremediasi dan fitoremediasi pada lahan yang tercemar minyak, dilakukan uji lab untuk mengukur Total Petro Hydrocarbon (TPH) pada tanah yang yang sudah di-treatment, yang sebelumnya mencapai 50% atau lebih, menjadi hanya 1%. Kemudian, di lahan itu ditanami beberapa jenis tanaman yang sangat rentan terhadap penurunan tingkat kesuburan tanah. Hasilnya tanaman-tanaman itu bisa tumbuh dengan baik. Artinya, tingkat kesuburan tanah yang sebelumnya tercemar minyak, sudah pulih.
Sejauh ini, PKSPL IPB telah melakukan proyek pemulihan kesuburan tanah di lahan terpapar polutan minyak, di Brunei LNG, Brunei Shell Petroleum, Vico Indonesia, Unocal, Exxon Mobil, di beberapa area perusahaan migas lainnya di Indonesia.
Mengenai bioremediasi dan fitoremediasi, Prof. Tridoyo mengemukakan, pada Oktober tahun 2014 ada preseden yang kontra produktif, di mana proyek bioremediasi yang dilakukan oleh Chevron Pacific Indonesia di Dumai, Riau, dianggap sebagai modus tindak pidana korupsi. Waktu itu beberapa karyawan CPI dan vendor bioremediasi didakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
Menanggapi kasus itu, Forum Komunikasi Kehumasan Industri Hulu Minyak dan Gas Bumi (FKK Hulu Migas) menyatakan keprihatinannya, karena program bioremediasi jelas dasar hukumnya, yaitu Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 128 Tahun 2003. Kasus dugaan korupsi proyek bioremediasi sempat menarik perhatian dunia, khususnya para pelaku industri migas.
“Penurunan TPH di area CPI yang dilakukan bioremediasi, dianggap karena proses alam. Jadi bioremediasi itu dianggap korupsi. Itulah teknologi bioremediasi tidak bisa berkembang, dari sisi aturan menjadi seperti salah,” kata Tridoyo.
Baca juga: Mengembalikan Kesuburan Tanah Akibat Tumpahan Minyak