Bioteknologi cocok diterapkan di wilayah tropis dengan keragaman mikroba yang cukup tinggi, seperti pantai-pantai di Indonesia.
Perairan Indonesia merupakan salah satu jalur lalu lintas utama minyak dunia, dari Eropa dan Timur Tengah ke Asia Pasifik dan sebaliknya. Di perairan Indonesia juga banyak terdapat fasilitas pengeboran dan pengilangan minyak, tersebar di pesisir dan lepas pantai.
Selain itu, di Indonesia terdapat ratusan pelabuhan sebagai prasarana lalu lintas antar pulau. Semua variabel itu berpotensi menyebabkan terjadinya tumpahan minyak di laut.
Tumpahan minyak di tengah laut bisa diatasi dengan cara mekanik atau kimiawi. Dampak tumpahan minyak menjadi lebih besar ketika tumpahan itu mendekati dan mencapai pantai. Penanganan tumpahan minyak di pantai biasanya dilakukan secara mekanik. Mengangkat lapisan minyak dari permukaan pasir, karang, atau bebatuan dengan menggunakan alat mekanik seperti sekop, ember, atau sorben.
Pantai yang sudah dibersihkan dengan cara mekanik, sebenarnya masih menyimpan kandungan minyak yang melekat di butiran pasir, karang dan bebatuan, meskipun dalam jumlah kecil. Untuk membersihkan sisa-sisa konsentrat minyak tersebut, bisa dilakukan dengan dua cara, kimiawi dan biologis.
Cara kimiawi memiliki risiko tinggi, karena cairan atau serbuk kimia yang disemprotkan, bisa menghilangkan konsentrat minyak, akan tetapi juga bisa mematikan organisma yang terdapat di area yang di-treatment. Maka pilihan kedua, yaitu cara biologis dinilai lebih aman.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), kini tengah mengembangkan teknik pembersihan pantai terpapar tumpahan minyak, pasca dilakukannya penanganan secara mekanik, yaitu bioremediasi pantai. Penanganan secara biologis diyakini lebih ramah lingkungan dan lebih murah. Bioteknologi ini cocok diterapkan di wilayah tropis dengan keragaman mikroba yang cukup tinggi, seperti pantai-pantai di Indonesia.
Peneliti Oseanografi LIPI, Yeti Darmayati mengemukakan, bioremediasi yang tengah dikembangkannya menggunakan bakteri yang dicampur dengan pupuk inorganik yang sifatnya lepas lambat. Pencampuran itu dilakukan untuk mempercepat pertumbuhan bakteri.
“Kemudian, bakteri yang sudah dicampur dengan pupuk lepas lambat dan berkembang-biak itu dicampur lagi dengan sejenis mineral. Bakteri diikat dengan mineral, baru diaplikasikan. Nah, bakteri ini akan menurunkan konsentrasi minyak di pasir pantai dengan cara mengurainya. Ini baru tahun kedua, dan kita sudah sampai pada tahap imobilisasi,” kata Yeti.
Digunakannya mineral yang mengikat konsentrat bioremediator berfungsi sebagai ‘pemberat’ agar konsentrat bioremediator tidak hanyut terbawa arus air, ketika laut sedang pasang naik. Jadi, wujud materi konsentrat bioremediator itu berbentuk batuan atau pasir.
Sejauh ini, menurut Yeti, sudah tiga kali diterapkan di pantai yang terpapar tumpahan minyak, di tiga tempat yang berbeda, yaitu Pulau Pari – Kepulauan Seribu, Karang Song – Indramayu, dan Pantai Teluk Penyu – Cilacap. Hasilnya, setelah tiga bulan dilakukan treatment, tingkat konsentrat minyak di pasir pantai itu menurun hingga 80%.
“Mengenai rasio volume konsentrat bioremediator dengan luasan pantai yang akan di-treatment, tergantung tingkat intensitas minyak yang terdapat di pantai itu. Kami belum sampai pada hitung-hitungan ekonomi, tapi saya yakin ini layak diproduksi secara massal dan bernilai ekonomis,” paparnya.
Teknologi bioremediasi adalah salah satu aplikasi bioteknologi, yang bertujuan mengembalikan kondisi lingkungan yang telah diubah oleh kontaminan, menjadi seperti kondisi sebelumnya dengan kandungan minyak di bawah 1000 part per mill (PPM), melalui suatu proses yang melibatkan mikroorganisme, fungi, tanaman hijau ataupun enzim yang dihasilkannya.
Kontaminan yang dimaksud adalah bahan pencemar atau senyawa yang masuk ke dalam perairan yang sifatnya asing dan destruktif. Kelebihan teknologi ini ditinjau dari aspek komersial, relatif lebih ramah lingkungan, biaya penanganan yang relatif lebih murah, dan bersifat fleksibel.
Yeti menjelasakan, ada empat teknik dasar yang biasa digunakan dalam bioremediasi. Pertama, stimulasi aktivitas mikro-organisme asli yang terdapat di lokasi tercemar, dengan penambahan nutrien, pengaturan kondisi redoks, optimasi pH, dan sebagainya.
Kedua, inokulasi atau penanaman mikroorganisme di lokasi tercemar, yaitu mikroorganisme yang memiliki kemampuan biotransformasi khusus. Ketiga, penerapan immobilized enzymes. Keempat, penggunaan tanaman (phytoremediation) untuk menghilangkan atau menguraikan senyawa kontaminan.
Bila diteliti, pencemaran di perairan Indonesia umumnya disebabkan oleh berbagai jenis bahan pencemar, antara lain logam berat, senyawa organik yang tergolong persistent organic pollutant (POP) dan hidrokarbon (minyak).
Beberapa mikroorganisme telah diketahui memiliki kemampuan mendegradasi bahan-bahan kontaminan tersebut. Salah satu bakteri yang populer dalam mengubah senyawa berbahaya menjadi tidak berbahaya adalah Pseudomonas sp. Dengan rekayasa genetika, beberapa bakteri yang spesifik bisa mengubah sifat senyawa tertentu menjadi tidak berbahaya bagi lingkungan, sudah bisa ‘diproduksi’.
Beberapa jenis bakteri dikenal dapat meremediasi berbagai jenis limbah, di antaranya bakteri Sulfurospirillum Barnesii. Selain itu, ada juga beberapa mikroorganisme, seperti Sphingomonas, Pseudomonas, Stenotrophomonas, Ochrobactrum, Alcaligenes, Pandorea, Labrys, dan Fusarium, yang diketahui dapat mendegradasi senyawa semacam Polisiklik Aromatik Hidrokarbon.
Biaugmentasi dapat meningkatkan laju biodegradasi minyak di pantai berpasir tropis. Namun perbedaan efikasi dari penambahan kultur tunggal dan kultur campuran secara statistik tidak nyata.
“Kesimpulan dari kajian ini adalah tumpahan minyak di lingkungan pesisir tercemar minyak yang kronis, dapat terdegradasi secara alami tetapi dalam tingkat yang rendah,” kata Yeti.
Bioremediasi baik melalui bioaugmentasi, biostimulasi, maupun kombinasi keduanya, terbukti secara signifikan mampu meningkatkan laju degradasi minyak. Kombinasi bioaugmentasi dan biostimulasi menunjukkan tingkat penurunan konsentrasi minyak paling tinggi. Hal itu terbukti dalam percobaan in vitro dan mesocosm.