Sejak peradaban terbentuk, kehidupan manusia tak pernah terpisahkan dari aliran sungai sebagai sumber air kehidupan. Penelitian menunjukkan bahwa lokasi situs-situs peradaban masa lalu selalu dekat dengan sungai besar, termasuk kerajaan-kerajaan besar di Indonesia yang menjadikan wilayah aliran sungai sebagai ibu kota kerajaannya. Mudah kita pahami, aliran sungai dibutuhkan untuk menyangga hajat hidup orang banyak, mulai dari sumber air bersih, pengairan lahan pertanian, sarana transportasi, perikanan, hingga area wisata.
Beberapa kerajaan termasyhur di dunia dibangun di tepian sungai besar. Begitu juga di Indonesia. Kerajaan Mataram Kuno bersandar pada Sungai Bengawan Solo. Kerajaan Majapahit yang legendaris terletak di Trowulan, Mojokerto yang secara geografis letaknya sangat strategis karena berada di daerah lembah Sungai Brantas. Kedua sungai besar itu, dan juga anak-anak sungainya dapat dilayari sampai ke hulu.
Demikian juga Kerajaan Sriwijaya. Kejayaannya di masa lampau bertalian erat dengan Sungai Musi yang mengalir dari anak-anak sungai besar dari Jambi hingga Bengkulu. Sungai Musi memiliki sembilan anak sungai besar, yakni Sungai Komering, Rawas, Leko, Lakitan, Kelingi, Lematang, Semangus, Ogan dan Sungai Musi itu sendiri. Konfigurasi sungai-sungai ini dikenal dengan nama Batang Hari Sembilan.
Sungai Musi menyandang predikat sungai terpanjang di Pulau Sumatera, sekitar 750 kilometer. Jarak tersebut hampir sama dengan jarak antara Kota Bandung di Jawa Barat dengan Kota Malang di Jawa Timur. Berawal dari hulunya di Kepahiang, Bengkulu, Sungai Musi mengalir melintasi Sumatera Selatan dan membelah Kota Palembang menjadi dua wilayah, yaitu Seberang Ilir di sebelah utara dan Seberang Ulu di bagian selatan. Sungai ini membentuk delta dan cabang di wilayah pesisir timur Kabupaten Banyuasin.
Anak-anak Sungai Musi merupakan sumber bahan baku air minum untuk warga Sumatera Selatan, sehingga kelayakannya harus sesuai standar baku. Menurut budayawan Palembang, Djohan Hanafiah, di masa pemerintahan kolonial Belanda pada dekade 1930-an, jumlah anak Sungai Musi di Palembang mencapai 316 ruas. Namun, kini jumlah tersebut menyusut, hanya tinggal puluhan anak sungai dengan kondisi yang memprihatinkan.
Sungai yang membelah kota Palembang itu ternyata tercemar limbah yang didominasi limbah rumah tangga, dan sisanya limbah industri. Data yang disampaikan Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sumsel menyebutkan, sekitar 70% air Sungai Musi tercemar limbah rumah tangga, sedangkan sisanya 30% tercemar limbah industri.
Tingkat pencemaran di Sungai Musi meningkat akibat aktivitas industri dan limbah rumah tangga. Unsur pencemar tertinggi, seperti fenol, besi, dan fosfat, sudah melebihi nilai ambang batas sehingga berpotensi mengancam organisme sungai. Sebagian besar limbah rumah tangga tersebut masuk Sungai Musi melalui aliran anak sungainya yang bermuara ke Sungai Musi.
Beberapa kasus pencemaran yang muncul, lebih banyak dilakukan oleh perusahaan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak di wilayah yang sangat berdekatan dengan anak-anak Sungai Musi, seperti ConocoPhillips dan Pertamina. Beberapa kasus pencemaran tersebut lebih banyak disebabkan oleh kebocoran, pembuangan lumpur, dan pencurian pipa yang mengakibatkan terjadinya tumpahan minyak.
Namun, tumpahan minyak yang terdapat di beberapa wilayah Kabupaten Musi Banyuasin, seperti di Kecamatan Sanga Desa, Babat Toman, Lawang Wetan, dan Sekayu memiliki paradoks tersendiri. Di satu sisi tumpahan minyak sisa, baik dari pengeboran di wilayah kerja KKKS maupun dari pengeboran di wilayah milik masyarakat yang meluber hingga masuk aliran sungai, berdampak buruk bagi ekosistem di sungai.
Di sisi yang lain, tumpahan minyak tersebut menjadi mata pencaharian bagi masyarakat yang menguras tumpahan minyak itu dengan alat sederhana. Mereka menjadikan batang kayu sebagai oil boom yang berfungsi untuk menghimpun minyak di sungai, lalu mengangkat minyak dengan kain kemudian diperas.
Nantinya, minyak yang terkumpul tersebut dijual dengan harga Rp60 ribu per jeriken ke tempat-tempat pengolahan minyak yang dikelola oleh masyarakat. Ada beberapa pengepul minyak yang tersebar di Kabupaten Musi Banyuasin yang siap mengolah minyak mentah menjadi bahan bakar, seperti minyak lampu, bensin beroktan rendah dan solar.
Memang kualitasnya tidak sebagus bahan bakar dari Pertamina. Akan tetapi, kegiatan mengumpulkan ceceran minyak dari perusahaan-perusahaan KKKS yang beroperasi di sana menjadi pendapatan tambahan bagi masyarakat di sana.
Sebelumnya, masyarakat di Kabupaten Musi Banyuasin bermata-pencaharian sebagai petani karet dan kelapa sawit. Tapi sejak harga kedua hasil perkebunan itu jatuh sekitar 5-6 tahun lalu, mereka lebih banyak menggantungkan hidupnya dari mengumpulkan tumpahan minyak.
Menurut Mirza, seorang warga Dusun Ngulak, Kabupaten Musi Banyuasin, yang bekerja menjadi distributor minyak mentah ke pengolahan minyak, pengeboran minyak dan ‘penjala’ tumpahan minyak di sepanjang sungai Musi memiliki peran vital sebagai denyut nadi ekonomi warga.
“Tidak kurang dari tiga ribu orang yang mencari nafkah dari mengumpulkan tumpahan minyak ini. Bayangkan kalau ini ditutup atau dilarang? Sedangkan harga para (karet) masih murah,” kata Mirza.
Pengelolaan Ilegal
Pengeboran minyak tanpa izin atau illegal drilling yang marak di wilayah Musi Banyuasin memang menimbulkan kerugian berupa kerusakan lingkungan hidup, khususnya daerah aliran sungai, apabila tidak secepatnya diatasi.
Pada bulan April 2017 lalu, Pemerintah Daerah Kabupaten Musi Banyuasin melakukan penertiban dan penutupan sumur-sumur minyak, khususnya di wilayah kerja PT Pertamina EP Asset 1 Field Ramba di Kelurahan Mangunjaya, Kecamatan Babat Toman, Musi Banyuasin, yang selama ini dikelola masyarakat. Sumur-sumur minyak yang sudah ditinggalkan oleh Pertamina tersebut kini menjadi sumber pendapatan masyarakat di sana yang umumnya lapisan menengah ke bawah.
Pelaksana Tugas Bupati Musi Banyuasin, Yusnin, saat itu menjanjikan penertiban atas 27 sumur minyak yang berada di wilayah kerja Pertamina EP di Mangun Jaya, Kecamatan Babat Toman, yang dikelola secara ilegal oleh para penambang, tuntas akhir April 2017.
Di kabupaten Musi Banyuasin sedikitnya terdapat 104 sumur minyak yang ditinggalkan Pertamina EP. Sebanyak 81 sumur berada di area Mangun Jaya, Babat Toman dan 23 sumur di area Keluang yang saat ini dikelola masyarakat. Sumur minyak yang berada di Keluang sudah ditertibkan.
Sementara 27 sumur di Babat Toman masih dikelola masyarakat, menanti kebijakan dari Pemkab Musi Banyuasin. Solusi yang dipilih pemerintah setempat untuk mengatasi persoalan itu adalah dibentuknya badan pengelolaan resmi semacam koperasi atau BUMD yang akan mengelola sumur-sumur tua tersebut.
“Belum ada kelanjutannya. Ada beberapa hal yang bernuansa politis antara Pemkab Musi Banyuasin dan Pemprov Sumatera Selatan, sehingga rencana ini buntu,” ujar Haryanto, pegawai di lingkungan Kecamatan Sanga Desa, Musi Banyuasin.
Seyogyanya, penanganan atas persoalan itu bukan hanya penertiban dan siapa yang kemudian mengelola dan mendapatkan keuntungan dari sumur-sumur tua tersebut. Tapi Pemkab Musi Banyuasin juga harus memikirkan keamanan dan keselamatan orang-orang yang bekerja di sana, masyarakat yang tinggal di sekitar sumur-sumur tua itu, serta lingkungan hidup.
Karena bagaimanapun, penambangan dan pengolahan minyak adalah kegiatan yang berisiko sangat tinggi. Membutuhkan fasilitas, perlengkapan keselamatan, serta standard operating procedure yang berlaku di seluruh dunia. Ini bukan hanya persoalan siapa yang pantas menikmati ‘rezeki’ itu, tapi lebih jauh soal nyawa manusia dan kelestarian lingkungan hidup.
Apapun itu, masyarakat yang terlibat dan menggantungkan hidupnya dari ilegal drilling dan tumpahan minyak di sungai, berharap segera ada kejelasan. Jangan sampai penutupan sumur-sumur minyak itu malah mematikan perekonomian warga, membuat mereka tambah lesu karena getah karet dan sawit tak lagi bisa diandalkan untuk menghidupi mereka.
Mereka pun berkomitmen untuk tetap menjaga ekosistem Sungai Musi yang mengaliri daerah mereka. Bagaimanapun, ada tanggung jawab sosial dari warga di sana. Sebab Sungai Musi adalah nafas, adalah nadi, yang menjalar ke sekujur tubuh kehidupan masyarakat.