Batam identik dengan industri minyak. Tapi sebagian besar perusahaan di Batam yang berpotensi menimbulkan pencemaran di laut, tidak mematuhi ketentuan yang ditetapkan pemerintah.
SEJAK awal dekade 1970an Batam sudah dijadikan basis industri migas oleh Pertamina. Industri migas menjadi salah satu andalan Batam selain galangan kapal dan manufaktur. Pada umumnya industri migas yang beroperasi di Pulau Batam adalah industri hilir, mulai dari refinery hingga pemasaran.
Saat ini, di Batam terdapat 36 perusahaan hilir migas yang beroperasi. Sementara di Provinsi Kepulauan Riau, terdapat 15 perusahaan hulu migas yang beroperasi di Natuna dan Anambas. Per Desember 2017, tercatat konsumsi bahan bakar minyak (BBM) di Kepulauan Riau mencapai 1.150 kilo liter per hari. Dari jumlah itu sekitar 70% merupakan konsumsi BBM di Batam.
Selain itu, Batam juga sangat dekat dengan jalur lalulintas minyak dunia. Kris Taenar Wiluan, Chairman Citramas Group yang juga memproduksi peralatan berat migas seperti rig, mengatakan bahwa 70% transportasi minyak dunia dilakukan melalui Selat Malaka. Saat ini, setiap hari tidak kurang dari 300 kapal berukuran raksasa lalu-lalang di Selat Malaka.
Tapi, kata dia, ironisnya dari sekian banyak kapal yang lalu-lalang di Selat Malaka, nyaris tidak ada yang mengisi bahan-bakar dan logistik di Pulau Batam. Semuanya di Singapura dan Malaysia. Terlepas dari itu, Batam tidak memiliki fasilitas, khususnya pelabuhan yang memadai bagi kapal-kapal besar untuk mengisi bahan bakar dan logistik.
Baru tahun 2018 ini ada investor yang akan membangun floating storage unit (FSU) di perairan Batam. FSU tersebut diproyeksikan untuk melayani kebutuhan bahan bakar kapal-kapal besar yang melintas di Selat Malaka. Saat ini yang ada beberapa Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) terapung yang melayani kapal-kapal kecil dengan rute antar pulau di sekitar Kepulauan Riau.
Deputi Ketua Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (BP) Batam Dwi Eko Winaryo mengemukakan, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan, telah menetapkan 11 titik di perairan sekitar Batam, sebagai lokasi yang diizinkan untuk dibangun FSU. Dari 11 titik yang ditawarkan oleh BP Batam ada dua titik yang diminati investor.
“Floating Storage Unit itu berupa kapal tanker BBM yang ditambatkan pada satu tiang pancang di tengah laut, yang berfungsi sebagai ‘SPBU’ bagi kapal-kapal besar. Dari sebelas titik yang ditetapkan Hubla, pembangunan tiang pancangnya sudah selesai, dalam waktu dekat ini sudah beroperasi,” kata Dwi.
Dwi melanjutkan, BP Batam hanya memanfaatkan 11 titik yang ditetapkan Kementerian Perhubungan dan memberi izin pembangunan dan peroperasian FSU yang dimiliki dan dijalankan oleh investor.
Dwi mengatakan, adanya dua FSU yang segera beroperasi, dan nanti menjadi sebelas, sangat berpotensi terjadinya kecelakaan pelayaran dan akhirnya menumpahkan minyak ke laut. Hal itu jelas sudah diantisipasi. Khusus terkait pembangunan FSU, perusahaan investor harus sudah memiliki izin yang dikeluarkan oleh Ditjen Perhubungan Laut. Kementerian Perhubungan mempunyai peraturan, standar, dan prosedur penanggulangan pencemaran di laut. Dengan izin yang dikeluarkan, investor sudah punya standar safety jika terjadi oil spill.
“Sebelum mereka ke kami, mereka harus melengkapi itu dulu persyaratannya ke Kementerian Perhubungan. Setelah itu lengkap baru ke kami. Pada para investor mengurus izin ke BP Batam pun juga harus sudah memegang permit CIQP (Custom, Immigration, Quaratine, and Port Authority),” jelas Dwi.
Kewajiban perusahaan yang bergerak dalam usaha minyak, baik minyak mentah maupun bahan bakar minyak, diatur dalam Peraturan Presiden No.109 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut, dan Peraturan Menteri Perhubungan No.58 Tahun 2013 tentang Penanggulangan Pencemaran di Perairan dan Pelabuhan.