Batam yang dekat dengan Selat malaka identik dengan minyak, artinya Batam memiliki potensi besar untuk terjadinya tumpahan minyak. Tercatat, pada periode 1972 – 2017 di Selat Malaka terjadi 14 kali kecelakaan kapal hingga menimbulkan tumpahan minyak dalam jumlah besar. Total minyak yang tumpah pada 14 kasus tersebut, tidak kurang dari 340 ribu ton.
Potensi tumpahan minyak itu bersumber pada padatnya lalu lintas pelayaran internasional di Selat Malaka, kegiatan usaha perusahaan-perusahaan minyak yang beroperasi di Batam, kegiatan pelabuhan, dan kegiatan usaha lain yang menggunakan minyak. Potensi pencemaran laut, khususnya tumpahan minyak, adalah bagian penting dalam konservasi lingkungan hidup di wilayah Batam, tentunya menjadi persoalan yang juga menjadi domain tugas dan fungsi BP Batam.
Mengenai potensi pencemaran di wilayah laut Batam, Deputi Ketua Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (BP) Batam, Dwi Eko Winaryo menjelaskan, pertama, jika terjadi pencemaran atau tumpahan minyak, harus dengan cepat diketahui lokasi kejadiannya, karena respon dari otoritas atas kasus semacam itu harus cepat.
“Kalau itu sampai ke lokasi kita, berdasarkan ketentuan kewenangannya ada pada Kementerian Perhubungan. Lalu mereka minta bantuan ke BP Batam dengan memanfaatkan tim dan fasilitas yang bisa dimobilisasi oleh BP Batam. Tapi pada saat kejadian, respon itu harus dilakukan dengan cepat, kita akan bantu,” kata Dwi.
Perusahaan, kapal, dan kegiatan kepelabuhanan yang mempunyai potensi risiko pencemaran berupa minyak dan bahan kimia beracun dan berbahaya (B3) lain di perairan dan pelabuhan, wajib memenuhi persyaratan penanggulangan pencemaran yang terdiri atas prosedur, personil, peralatan, dan bahan, serta latihan yang didasarkan pada hasil penilaian yang dilakukan oleh perusahaan berbadan hukum Indonesia yang telah ditetapkan dan mendapat pengesahan oleh Direktur Jendral Perhubungan Laut. Hal tersebut termaktub dalam Permenhub No.58 Tahun 2013.
Dwi mengatakan Port Authority yang disebutkan menyangkut dua hal, pertama, yang di bawah Kemenhub terkait dengan safety dan navigasi. Kedua, Port Authority terkait dengan PNBP, (Penerimaan Negara Bukan Pajak) dari BP Batam, karena investor menggunakan tempat untuk melakukan aktivitas di wilayah kerja BP Batam.
“Pada saat mereka datang ke kami untuk mengurus Port Authority terkait PNBP tersebut, kami juga tanya, ‘Anda punya standar safety-nya seperti apa?’ Kalau itu belum ada, izinnya kita tidak keluarkan dulu,” kata Dwi.
Standar safety yang dimaksudkan Dwi adalah memiliki kemampuan untuk menanggulangi pencemaran di laut secara cepat dan efektif sebagaimana diatur dalam Perpres No. 109 Tahun 2006 dan Permenhub No.58 Tahun 2013, yaitu mempunyai prosedur, personel yang terlatih, peralatan, bahan untuk menanggulangi pencemaran di laut dan pelabuhan, serta latihan atau simulasi yang rutin.
Perusahaan investor yang sudah memiliki izin Port Authority dan pengoperasian dua FSU itu, telah mempercayakan pemenuhan persyaratan penanggulangan pencemaran kepada salah satu perusahan penanggulangan pencemaran yang sudah mendapatkan persetujuan dari Direktur Jendral Perhubungan Laut.
Dwi menyatakan bahwa dua FSU itu sudah memiliki kapabilitas penanggulangan pencemaran di laut, melalui kontrak bisnis dengan salah satu perusahan penyedia dan penyewaan peratalan penanggulangan pencemaran yang ada di Indonesia. Perusahaannya ada di Jakarta dan mempunyai stockpile peralatan di Batam.
Kesiagaan yang dimaksud dalam Permenhub No. 58 Tahun 2013 adalah adanya personel-personel yang terlatih dan bersertifikat, peralatan sesuai dengan asesmen, dan latihan yang rutin. Secara teknis, seperti yang dikatakan Deputi Pengendalian Pengadaan SKK Migas, Djoko Siswanto, kewajiban memiliki kesiagaan penanggulangan pencemaran di laut, bisa dengan cara mempunyai tim dan peralatan sendiri, atau menjadi anggota perusahaan pusat penangggulangan pencemaran di laut, khususnya tumpahan minyak.
Untuk memantau adanya tumpahan minyak di laut, kata Dwi, mereka memanfaatkan peralatan pada satelite office di darat, dekat Batu Ampar, dan fasilitas yang terdapat di kapal tanker FSU-nya sendiri. Lokasi FSU itu sendiri tidak berada di jalur pelayaran internasional, tapi di wilayah Indonesia.
Dalam dua peraturan mengenai pencemaran di laut, khususnya tumpahan minyak dan bahan kimia beracun berbahaya (B3), disebutkan bahwa perusahaan-perusahaan yang memiliki dan mengoperasikan terminal khusus (Tersus), Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS), Badan Usaha Pelabuhan (BUP), harus memiliki tim dan peralatan penanggulangan pencemaran di laut.
Terkait hal itu, Dwi mengatakan standard operating procedure-nya, pertama, perusahaan pemilik pelabuhan khusus atau terminal khusus, pada saat mengajukan izin sebagai terminal maupun pelabuhan, ada standar yang harus dipenuhi. Pihak yang bertanggung jawab melakukan inspeksi dan asesmen terhadap standar tersebut adalah Kementerian Perhubungan sebagai pihak yang memberikan izin.
“BP Batam membantu teman-teman di Kementerian Perhubungan untuk bisa melakukan pengawasan kepada pelabuhan khusus atau terminal khusus yang melakukan operasinya. Pada saat perusahaan itu mendapatkan alokasi lahan, business plan-nya harus sesuai dengan standar yang ada. Artinya kami juga minta standar tersebut dipenuhi. Ke Kementerian Perhubungan dulu, baru ke BP Batam. Jadi kami hand in hand dengan Kementerian Perhubungan.”