Potensi untuk terjadinya blow out minyak di bawah laut di Indonesia masih cukup besar.
Jakarta, Portonews — Praktisi Keselamatan Migas, Krishna Hartono mengingatkan, saat ini di Indonesia terdapat lebih dari 500 anjungan lepas pantai. Peristiwa yang menimpa Pertamina Refinery Unit V Balipapan pada akhir Maret lalu bisa terjadi kapan saja.
Hal terpenting tentu saja adalah langkah antisipasi atau pencegahan. Namun jika hal terburuk terjadi, harus dipastikan bahwa langkah penanggulangan harus dilakukan secepatnya. Tindakan cepat itu diperlukan untuk menolong korban, memadamkan api jika terjadi kebakaran, dan menghentikan semburan minyak, jika bencana itu mengakibatkan tumpahnya minyak ke laut dari pipa atau drilling riser di dasar laut.
Satu hal yang harus diingat adalah, di Indonesia banyak instalasi pipa minyak bawah laut dan Single Point Mooring untuk transfer minyak dari tanker ke tanki di darat atau sebaliknya, sudah berusia sangat tua. Sehingga potensi untuk terjadinya blow out minyak di bawah laut, cukup besar.
Khusus untuk mengatasi penyebaran tumpahan minyak, maka kecepatan dan ketepatan dalam mengambil keputusan serta bertindak adalah kunci utama. Para responder benar-benar berpacu dengan waktu. Sekalipun data wilayah perairan tempat terjadinya bencana sudah dimasukkan ke dalam program trajectory model, tetap saja tindakannya harus cepat.
Mengingat pada umumnya, lokasi anjungan lepas pantai tidak jauh dari garis pantai. Sehingga, waktu yang tersedia untuk menghentikan laju penyebaran minyak yang menuju pantai, sangat terbatas, umumnya hanya sekitar dua jam.
Sebagai catatan, apabila semua peralatan penanggulangan tumpahan minyak tersimpan di stockpile, di darat, maka waktu untuk loading semua peralatan itu ke kapal yang akan digunakan untuk pembersikan laut dari tumpahan minyak, kurang lebih dua jam.
Itu pun dengan asumsi, di dekat lokasi kejadian terdapat tim dan peralatan penanggulangan tumpahan minyak yang selalu stand by. Bagaimana jika tidak? Maka yang diperlukan adalah kesiagaan tim dan peralatan yang bisa bergerak dalam hitungan menit, jika diperlukan. Jadi, tim responder dan peralatan sudah diset di atas kapal.
Sementara, di Indonesia saat ini, seperti dikemukakan oleh Kepala Seksi Penanggulangan Musibah, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Kementerian Perhubungan, Anung Trijoko Wasono, dari ratusan perusahaan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) yang mempunyai kegiatan migas di laut atau yang memiliki pelabuhan, yang sudah tersertifikasi oleh Ditjen Hubla, bisa dihitung dengan jari.
Artinya, ancaman tumpahan minyak akibat kebocoran pipa, blow out pada drilling riser di dasar laut, atau pada Single Point Mooring ketika transfer, akan selalu ada. (yus)