Hingga kini kehidupan di dunia masih terancam oleh lebih dari 15 ribu hulu ledak senjata nuklir yang setiap saat bisa meluncur menghabisi peradaban, karena kekonyolan segelintir orang yang berkuasa di beberapa negara.
Cara kerja bom nuklir didasarkan teori relativitas yang dirumuskan oleh Albert Einstein pada tahun 1905 di Jerman. Tahun 1933 Einstein hijrah ke Amerika Serikat, karena ia tahu Hitler berambisi mengembangkan senjata pemusnah massal.
Tahun 1939 Einstein bersama koleganya, Szilard, memberi tahu Presiden Franklin D. Roosevelt bahwa secara teori, dengan memicu reaksi fisi pada inti atom akan menghasilkan reaksi berantai atau ledakan nuklir yang sangat dahsyat. Artinya, sebuah bom yang sama sekali baru sudah bisa diciptakan.
Kabar dari ilmuwan itu seperti inspirasi bagi Presiden FDR, apalagi waktu itu Perang Dunia Kedua sudah berkobar. Maka dibuatlah riset besar-besaran (Manhattan Project) melibatkan 200 ribu orang untuk menciptakan bom mematikan. Tanggal 16 Juli 1945 uji coba pertama dilakukan di Alomogordo, New Mexico.
Tanggal 6 Agustus 1945 Presiden Truman memerintahkan Angkatan Udara untuk mengebom Hiroshima dengan bom atom berjuluk ‘Little Boy’ yang berkekuatan setara 12,5 kiloton Trinitrotoluene (TNT). Akibatnya 70.000 orang mati seketika dan ratusan ribu lainnya mengalami luka bakar, cacat, lalu mati.
Kemudian tanggal 9 Agustus 1945 giliran Nagasaki dihajar ‘Fat Man’ dengan kekuatan setara 22 kiloton TNT. Juga tidak kurang dari 70.000 orang mati seketika dan 340.000 lainnya menderita selama lima tahun, kemudian mati. Peristiwa itu adalah yang terkelam dalam peradaban manusia. Dunia mengutuknya.
Tapi secara diam-diam, Amerika Serikat dan Uni Sovyet terus mengembangkan senjata pemusnah massal tersebut. Tanggal 29 Agustus 1949 Pemimpin Tertingi Uni Sovyet, Josep Stalin mengumumkan keberhasilan negaranya melakukan uji coba senjata nuklir. Sejak itu mulailah perlombaan pembuatan senjata nuklir.
Puncak ketegangan Perang Dingin antara Blok Barat (NATO) dengan Pakta Warsawa, terjadi pada paruh kedua dekade 1970an. Saat itu Presiden Reagan dan Pemimpin Sovyet, Leonid Breznev menjadi tokoh yang tak henti diberitakan setiap hari sepanjang beberapa tahun. Kerisauan publik Indonesia akan terjadinya perang nuklir, diwakili oleh grup musik Bimbo yang berkirim surat kepada kedua kepala negara adikuasa itu. Tahun 1984 surat itu dikonversi menjadi sebuah lagu berjudul ‘Surat Untuk Reagan dan Breznev’.
Saat itu, jumlah keseluruhan senjata nuklir di dunia yang dimiliki oleh Amerika Serikat, Uni Sovyet, Inggris, Perancis, China, India, Pakistan, Afrika Selatan, dan Israel, diperkirakan mencapai 15.500 hulu ledak. Pada dekade 1980an, selain negara yang memiliki senjata nuklir, juga ada negara yang dikenal sebagai host senjata nuklir, yaitu Belgia, Belanda, Jerman, Italia, dan Turki. Di negara-negara tersebut, ditempatkan sejumlah peluru kendali antar benua berhulu ledak nuklir milik Amerika Serikat.
Setelah Perang Dingin berakhir, terbentuk aliansi negara-negara nuklir, di mana jika satu ketika mereka diserang oleh kekuatan nuklir negara lain, maka Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis akan melindunginya. Negara-negara aliansi nuklir itu adalah, Australia, Albania, Bulgaria, Kanada, Kroasia, Ceko, Denmark, Estonia, Yunani, Hongaria, Eslandia, Jepang, Latvia, Lithuania. Luxemburg, Norwegia, Polandia, Portugal, Rumania, Slovakia, Slovenia, Korea Selatan, Spenyol, Belgia, Belanda, Jerman, Italia, dan Turki.
Pengurangan Senjata Nuklir
Upaya bersama yang dilakukan untuk menghentikan penyebaran senjata nuklir, pertama kali digulirkan pada 1 Juli 1968 di New York melalui perjanjian Nuclear Non-Proliferation Treaty. Kala itu ditanda-tangani oleh Amerika Serikat, Inggris dan Uni Sovyet dan diratifikasi pada 5 Maret 1970 yang kemudian diikuti oleh 40 negara lainnya yang berkepentingan dengan pengembangan energi nuklir.
Cuma lagi-lagi, isi kesepakatan NPT itu sangat tidak fair: hanya lima negara pemegang hak veto di Dewan Keamanan PBB yang diizinkan memiliki senjata nuklir, Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Perancis, dan China. Di antara negara pemilik senjata nuklir, hanya Afrika Selatan yang dengan sukarela memusnahkan enam senjata nuklirnya. Kemudian tanggal 11 Mei 1995, di New York, lebih dari 170 negara sepakat untuk melanjutkan perjanjian NPT ini tanpa batas waktu dan tanpa syarat.
Program bersama pengurangan senjata nuklir yang benar-benar terealisasi adalah kesepakatan Strategic Arms Reduction Treaty (START) pada tahun 1990. Dalam perjanjian START I, II, dan III, time table-nya ditetapkan secara eksplisit, begitu juga kuantitas pengurangan senjata nuklir, jumlah peluru kendali dan hulu ledaknya.
Kesepakatan Jumlah Kepemilikan Senjata Nuklir
Sementara Korea Utara yang mulai mengembangkan senjata nuklir pada dekade 1980an, menurut Institute of Science and International Security saat ini memiliki 13-30 senjata nuklir, dan bisa mencapai 50 unit pada 2020. Rudal nuklir Korea Utara yang pada 4 Juli 2017 lalu diuji coba, memiliki daya jangkau hingga 10.000 kilometer dengan ketinggian jelajah 3720 kilometer.
Rudal ini bisa dipasangi hulu ledak nuklir hingga 500 kilogram. Cukup kecil jika dibandingkan dengan yang dimiliki Amerika Serikat atau Rusia, tapi itu sudah cukup untuk menimbulkan bencana global berkepanjangan. Sementara Iran yang oleh Israel disebutkan telah memiliki senjata nuklir, hingga kini belum satu pun lembaga internasional terkait dengan nuklir yang mengkonfirmasi.
Awal Januari 2018 lalu, The International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (ICAN), sebuah koalisi organisasi non pemerintah (NGO) dari seratus negara didirikan di New York pada 7 Juli 2017, dan bertujuan mempromosikan gerakan kepatuhan terhadap perjanjian penghapusan senjata nuklir, PBB pun mempublikasikan daftar kepemilikan senjata nuklir oleh sembilan negara.
Dari sekitar 15.500 senjata nuklir yang diklaim, 90% dimiliki oleh Rusia dan Amerika Serikat. Sangat jelas, jika mengacu pada perjanjian START I, jumlah senjata nuklir yang dimiliki oleh Rusia dan Amerika Serikat masih jauh lebih banyak dari apa yang telah disepakati.
Data mengenai jumlah senjata nuklir memang tidak pernah pasti. Negara pemiliknya selalu menyebutkan angka yang lebih sedikit dari jumlah yang sebenarnya. Mantan Menteri Luar Negeri Australia yang juga salah satu Ketua Komisi Internasional Non-proliferasi dan Perlucutan Senjata Nuklir, Gareth Evans menjelaskan, pelucutan senjata nuklir dilakukan dalam dua tahap, yakni melalui proses ’minimalisasi’ dan ’penghapusan’.
Tahap minimalisasi harus dicapai paling lambat tahun 2025 dan tahap penghapusan (elimination) dilakukan sesegera mungkin sesudahnya. Evans menegaskan bahwa saat ini, masih terdapat sekitar 23.000 senjata nuklir aktif di dunia dan sebagian besar dalam posisi siaga tinggi untuk diledakkan. Nah, angka yang dilansir Evans jauh lebih besar ketimbang yang dikemukakan oleh Federation of American Scientists.
Bagi negara sebesar Amerika Serikat, membuat senjata pemusnah massal bukan hanya untuk kepentingan militer. Akan tetapi, negara ini memiliki industri militer yang terintegrasi dengan industri berbasis teknologi tinggi untuk bidang-bidang lainnya, seperti aeronautika, otomotif, elektronika, digital, dan lain-lain.
Tahun 2016 industri militer menyumbang 4% terhadap PDB Amerika Serikat yang sebesar US$18,5 triliun. Tidak kurang dari 300 perusahaan raksasa yang memproduksi berbagai jenis senjata dan peralatan perang pendukung dengan jumlah tenaga kerja yang terlibat langsung sebanyak 3,5 juta orang.
Untuk tahun 2017, Pemerintah Amerika di bawah Presiden Obama menetapkan anggaran pertahanan sebesar US$632 miliar. Namun setelah dilakukan diskresi angka itu membengkak menjadi US$824 miliar atau sekitar Rp11.000 triliun. Bahkan, setelah pergantian pemerintahan awal 2017 lalu, Presiden Trump yang baru dilantik langsung meminta tambahan US$84 miliar untuk anggaran pertahanan.
Meskipun anggaran pertahanan Amerika sangat besar, bahkan menjadi pos belanja ketiga terbesar dalam anggaran tahunan setelah anggaran jaminan sosial dan kesehatan, tapi karena semua belanja pertahanan dilakukan di dalam negeri, maka hal itu justru menjadi stimulus ekonomi yang sangat besar bagi Amerika Serikat sendiri.
Membuka jutaan lapangan kerja secara langsung maupun tidak langsung. Selain untuk memenuhi kebutuhan persenjataan negaranya sendiri, industri militer Amerika Serikat juga menjadi eksportir senjata terbesar di dunia, mendatangkan devisa yang sangat besar.
Lalu berapa harga satu unit peluru kendali berhulu ledak nuklir? Selain tidak ada negara yang menjualnya, juga sangat rumit penghitungannya. Tapi seperti dilansir oleh CNBC yang mengutip seorang ilmuwan senior yang juga Direktur The UCS Global Security Program, Lisbeth Gronlund bom nuklir B61 yang ukurannya sekitar 4 meter dan berhulu ledak dengan daya setara 340 kiloton TNT, dikembangkan sejak 1963 dan diproduksi sebanyak 400 sampai 500 unit, menghabiskan dana US$9,5 miliar.
Secara keseluruhan, kata Gronlund, untuk mengembangkan dan memproduksi senjata nuklir sejak tahun 1940 hingga 1998 Amerika Serikat telah menghabiskan dana sebesar US$5 triliun.
Akan tetapi, berapapun uang yang telah digunakan untuk membangun sistem persenjataan pemusnah massal, berapapun banyaknya tenaga kerja yang terserap di industri itu, bukan alasan untuk membenarkan dipertahankannya senjata nuklir, apalagi menggunakannya. Sejauh manusia hidup dalam kemanusiaannya, tidak ada alasan untuk memproduksi dan menggunakan senjata nuklir. (yus)