Oleh: Dr I Gusti Suarnaya Sidemen
INDONESIA gagal mengurangi pembakaran gas flare (gas suar) meskipun telah menerbitkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 32 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan dan Harga Jual Gas pada kegiatan Usaha Hulu Migas tanggal 2 Mei 2017. Lebih dari setahun setelah Permen tersebut diterbitkan, tidak ada satu pun upaya pemanfaatan yang menampakkan hasil. Bahkan program Pertamina untuk menghentikan pembakaran rutin gas suar pada tahun 2022 terancam gagal total.
Penyebabnya adalah mekanisme yang berbelit, ketakutan membuat keputusan dan dampak negatif dari pembedaan harga dalam Peraturan Menteri ESDM No. 32 Tahun 2018. Dengan demikian, Indonesia akan tetap membakar sekitar 145 MMSCFD per hari yang tersebar di berbagai lapangan migas.
Hitungan kasar menunjukan sekitar 50 MMSCFD gas sebenarnya dapat dimanfaatkan dengan segera. Pembakaran 3 MMSCFD gas dengan harga saat ini sama dengan membakar sebuah mobil Toyota Cressida Royal Saloon per hari. Diperlukan upaya mendesak agar pemanfaatan gas suar dapat dilakukan dengan secepat-cepatnya.
Definisi Gas Flare atau Gas Suar
Pengertian Gas flare atau gas suar adalah gas ikutan yang keluar bersama minyak dari reservoir secara terus menerus dalam jangka waktu tertentu yang dibakar karena fasilitas yang ada tidak memungkinkan mengolah gas tersebut untuk dijual ke konsumen. Sebagai gas ikutan volume gas tidak dapat dipastikan kesinambungannya. Biasanya jumlahnya menurun dengan cepat sejalan dengan menurunnya produksi minyak.
Keluarnya gas ikutan sering hanya berlangsung pendek antara 5 sampai 10 tahun meskipun produksi minyak berlangsung lebih dari itu. Sering kali gas ikutan tersebut juga mengandung gas pengotor seperti CO2 dan H2S dalam konsentrasi yang cukup tinggi.
Kondisi gas yang demikian menyebabkan pembangunan fasilitas pemanfaatan gas berisiko tinggi dan dihindarkan oleh perusahaan. Gas flare tidak termasuk pembakaran gas yang diperlukan dalam sistem pengamanan fasilitas seperti pembakaran gas yang keluar dari katup pengaman dan sistem ventilasi peralatan bertekanan pada fasilitas produksi atau pengolahan migas.
Pembakaran adalah cara termudah untuk mengelola gas ikutan sehingga disebut sebagai gas flare. Pilihan itu diterima sebagai pilihan terbaik di masa lalu ketika teknologi pemanfaatan gas memerlukan skala keekonomian yang besar dan jangka waktu pengembalian modal lama (biasanya 15-20 tahun).
Berbagai pembelajaran dan teknologi pemanfaatan gas yang saat ini tersedia telah menjadikan teknologi pemanfaatan gas menjadi semakin ekonomis. Saat ini, sumber gas 0,5 MMMSCFD (500 ribu kaki kubik per hari) yang ada selama tiga tahun sudah dapat dimanfaatkan dengan menguntungkan. Gas dapat dimanfaatkan untuk bahan bakar pembangkit listrik berbahan bakar gas skala kecil atau diolah menjadi LNG, LPG, CNG, atau GTL untuk diangkut ke konsumen.
Selain itu, jika di masa lalu komposisi gas yang akan dimanfaatkan harus bersih, yaitu bebas dari gas pengotor seperti karbon dioksida dan asam belerang, namun kemajuan teknologi saat ini menyebabkan komposisi gas dengan kandungan gas pengotor dapat dimanfaatkan.
Industri migas Indonesia sendiri telah berhasil melakukan pemanfaatan gas suar seperti di Sumatera Selatan dan Jawa Timur. Instalasi kilang LPG digunakan untuk pengambilan dan pengolahan gas ikutan menjadi LPG, kondensat, dan gas residu dari lapangan migas. Gas ikutan memiliki komposisi berupa propan dan butan yang relatif tinggi (±16%). Sedangkan untuk gas ikutan dengan mayoritas gas metana maka pilihan pemanfaatannya adalah pengangkutan ke konsumen sebagai CNG atau digunakan untuk pembangkitan listrik.
Masalah Global
Pembakaran gas ikutan dari lapangan migas saat ini dilakukan hampir semua negara produsen migas. Data pantauan satelit yang dikeluarkan oleh Bank Dunia menunjukkan pembakaran gas ikutan pada lapangan migas di seluruh dunia mencapai 141 miliar meter kubik pada tahun 2017. Jumlah tersebut dapat menghasilkan 750 miliar kWh listrik yang cukup untuk memenuhi kebutuhan listrik benua Afrika. Pembakaran tersebut menghasilkan emisi CO2 sebesar 350 juta ton atau setara dengan emisi 77 juta mobil setiap tahun.
Rusia adalah pembakar gas ikutan tertinggi dengan rata-rata pembakaran 20 juta meter kubik setiap tahun. Tempat kedua sampai kelima diduduki oleh Irak, Iran, Amerika dan Algeria yang masing-masing membakar gas ikutan berturut-turut sebesar rata rata 17,9 miliar , 17,7 miliar , 9 miliar dan 8,5 miliar meter kubik per tahun. Indonesia berada pada urutan ke-15 dengan jumlah pembakaran 2,3 miliar meter kubik tahun 2017.
Masing-masing negara telah berupaya untuk menurunkan pembakaran gas. Namun kemajuan yang dicapai tidak menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Hal ini menarik Bank Dunia untuk meluncurkan inisitaif global Zero Routine Flaring 2030.
Inisiatif yang diluncurkan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon tanggal 17 April 2015 diharapkan dapat menyatukan pemerintah, perusahaan minyak, dan lembaga pembangunan untuk bekerja sama dalam menghilangkan pembakaran rutin gas dalam target waktu yang tidak lebih dari tahun 2030. Program Zero Routine Flaring 2030 telah mendapatkan 77 pernyataan dukungan. Indonesia adalah salah satu negara yang menyatakan dukungan tersebut.
Inisiatif Zero Routine Flaring 2030 mendorong pemerintah dan perusahan untuk bersama-sama meniadakan pembakaran gas ikutan yang rutin dalam kegiatan produksi migas yang akan dikembangkan di masa datang. Di samping itu pemerintah dan perusahaan minyak berupaya untuk bersungguh-sungguh dapat menghentikan pembakaran rutin gas ikutan yang berlangsung saat ini dari lapangan minyak. Sedangkan lembaga pembangunan seperti bank pembangunan regional diharapkan dapat memberikan dukungan dan fasilitasi pendanaan.
Tantangan
Di masa lalu pembakaran gas ikutan dilakukan karena tidak ada teknologi yang dapat digunakan untuk memanfaatkan gas ikutan secara ekonomis sehingga pembakaran menjadi pilihan yang dianggap terbaik. Sebagaimana terungkap dalam Workshop Indonesia Pathway to Zero Routine Flaring by 2030 yang diselenggarakan di Jakarta pada 13 dan 14 September 2018, teknologi bukan masalah.
Saat ini sudah tersedia teknologi yang dapat memanfaatkan gas dengan volume hanya 0,5 MMSCFD. Berbagai alternatif teknologi yang tersedia seperti pembuatan CNG, LPG, LNG mini dan mikro serta pembangkit listrik berbahan bakar gas skala mini.
Dalam praktek, skala keekonomian perusahaan minyak yang menghasilkan gas suar, bisa jadi tidak mau direpotkan dengan pemanfaatan gas yang dibakar. Contoh-contoh keberhasilan pemaanfaatan gas suar di berbagai belahan dunia menurut data Bank Dunia menunjukkan pemanfaatan gas dilakukan oleh pihak ketiga berupa perusahaan kecil yang fokus pada pemanfaatan gas suar. Hal ini pun terjadi di Indonesia dalam keberhasilan pemanfaatan gas suar di Sumatera Selatan, Jawa Barat dan Jawa Timur.
Terdapat tiga tantangan yang saat ini yang menjadi penyebab tertundanya pemanfaatan gas suar. Pertama, ketidaksepahaman para pemangku kepentingan terhadap karakteristik gas ikutan yang menjadi gas flare. Hal ini menyebabkan proses pengambil keputusan untuk dimanfaatkannya gas flare berjalan lama. Dalam praktek, kesepakatan pemanfaatan dapat mencapai empat hingga tujuh tahun, padahal umur produksi gas suar hanya sekitar tiga atau empat tahun.
Ketika kesepakatan pemanfaatan gas suar tercapai, ketersediaan gas suar sudah menurun dan menjadi tidak ekonomis. Kedua, ketakutan dalam pengambilan keputusan harga. Walaupun saat gas ikutan tidak dimanfaatkan maka gas tersebut akan dibakar, namun ketika akan dimanfaatkan maka para penghasil gas cenderung meminta harga yang tinggi.
Hal ini disebabkan oleh ketakutan dalam memutuskan harga gas rendah meskipun akan mempercepat pemanfaatan gas, karena adanya risiko disalahkan oleh auditor atas keputusan yang diambil jika terjadi selisih harga gas dengan penjualan gas komersial lainnya. Untuk mengatasi hal ini, sebenarnya dapat dibuat mekanisme yang transaparan, adil, memberikan kesempatan yang sama bagi semua pihak yang ingin memanfaatkan yaitu dengan tender terbuka dan didokementasikan dengan baik.
Ketiga, kompetensi pemenang pemanfaatan gas suar yang tidak memadai. Meskipun telah didapatkan partner perusahaan dalam memanfaatkan gas suar, namun perusahaan tersebut dapat saja tidak menguasai teknologi, tidak mempunyai modal dan sumber daya manusia.
Terbitnya Peraturan Menteri ESDM No. 32 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan dan Harga Jual Gas Suar Pada Kegiatan Usaha Hulu Migas pada tanggal 2 Mei 2017 adalah dimaksudkan untuk menjawab tantangan yang terjadi pada pemanfaatan gas suar. Permen tersebut menunjuk SKKMIGAS untuk menawarkan secara terbuka potensi gas suar yang dapat dimanfaatkan dan menetapkan harga jual yang dinilai layak. Namun, lebih dari setahun sejak Permen tersebut diundangkan, belum satu pun potensi gas suar diumumkan.
Sebelum diterbitkannya Permen, Pertamina menetapkan Peta Jalan Penghentian Gas Suar 2016-2022. Pertamina telah berhasil mengidentifikasi potensi gas suar di berbagai lapangan Pertamina yang dapat segera dimanfaatkan. Dari penyaringan terhadap 166 titik pembakaran ditemukan potensi pemanfaatan sebanyak 28 titik pembakaran dengan total volume pembakaran gas suar yang dapat dimanfaatkan sekitar 40 MMSCFD.
Kesepakatan awal dengan calon pemanfaat sudah didapat. Namun, terbitnya Permen 32 Tahun 2017 yang menetapkan pemberian harga khusus untuk gas suar yang dimanfaatkan (price discrimination) bagi lembaga pemerintah menyebabkan rencana kerja Pertamina tersendat karena harga yang ditawarkan Pertamina menjadi tidak menarik.
Para calon perusahaan yang memanfaatkan gas Pertamina berkeinginan menjalin kerjasama dengan lembaga pemerintah untuk mendapat harga gas lebih rendah. Maka program Zero Routine Flaring 2022 Pertamina pun menjadi gagal move on. Gagal di tengah jalan.
Solusi
Untuk menghindarkan pembakaran gas pada lapangan migas yang akan dikembangkan dapat dilakukan dengan desain peralatan yang lebih baik saat dilakukan desain pengembangan lapangan. Maka permasalahan sesungguhnya yang dihadapi dalam pemanfaatan gas suar adalah pemanfaatan saat ini pada gas yang sedang dibakar di banyak lapangan migas Indonesia.
Pembiaran pembakaran secara terus menerus akan menghilangkan potensi pemanfaatan dan potensi penerimaan negara yang tidak sedikit. Penyebab tertundanya pemanfaatan gas suar adalah kegagapan para pemangku kepentingan dalam melihat urgensi dan peluang pemanfaatan yang ada.
Solusinya hanya satu. Masing-masing pihak yang mendapat amanah dalam pengelolaan migas melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya agar gas suar yang potensial dapat dimanfaatkan secepatnya. Pilihan kebijakan seperti menetapkan harga dan penunjukan langsung BUMN atau perusahaan swasta yang berpengalaman dapat dipertimbangkan. Membiarkan gas yang potensial dimanfaatkan terbakar sia-sia sungguh tidak sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD 1945.
(Penulis adalah Pemerhati Kebijakan Energi dan Lingkungan)