Jakarta, Portonews — Dalam beberapa tahun belakangan ini, tren pertumbuhan ekonomi menunjukkan pelambatan, dengan mengalami penurunan dari 8% menjadi 5%. Berbagai sektor yang menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi mengalami pergeseran. Dalam periode silam, sektor pertanian, pertambangan dan manufaktur berperan sebagai sektor andalan yang menggerakkan perekonomian negara, namun kini posisinya tersishkan oleh sektor jasa yang seolah menjadi primadona baru.
Dari lima kontributor ekonomi terbesar, saat ini tiga sektor sudah mengalami ‘babak belur’. Terlukanya sektor andalan tersebut didorong oleh transformasi perekenomian Indonesia yang ‘terlalu cepat’ beralih fokus ke sektor jasa. Dapat dicontohkan pada berkembang pesatnya industri layanan transportasi berbasis online. Meski memiliki jangkauan yang luas serta menghadirkan perbaikan kualitas hidup pada masyarakat secara umum, kontribusi pajak yang dihasilkan darinya tidak terlalu besar untuk mendorong penguatan perekonomian negara.
Pengamat Ekonomi, Faisal Basri mengatakan bahwa Indonesia harus memberikan perhatian yang lebih besar lagi, sekaligus memberikan kemudahan bagi sektor pertambangan. Menurut Faisal dalam kondisi defisit current account saat ini, maka kontribusi terbesar untuk menutup gap yang ada yaitu melalui foreign direct investment (FDI), di mana salah satu kontributor terbesarnya adalah sektor pertambangan.
“Kalau sektor ini jeblok, maka hancur lah kita. Saat ini kita tidak bisa berharap hanya menarik investasi portofolio, karena investasi jenis ini relatif mudah untuk masuk tetapi juga mudah keluar. Investasi seperti itu berbeda dengan FDI. Seperti di sektor tambang, yang misalnya terjadi turbulensi keamanan maupun politik maka mereka tidak bisa serta merta angkat kaki, sementara investasi portofolio akan langsung angkat kaki.”
Menurut Faisal, kondisi aturan sekarang tidak berpihak pada investor di sektor pertambangan yang berakibat pada minimnya eksplorasi baru. Faisal memperkirakan pada tahun 2050 eksplorasi migas dan pertambangan akan mengalami penurunan yang sangat tajam. Sementara itu, konsumsi migas nasional menunjukkan kecenderungan yang terus naik dari tahun ke tahun.
Faisal Basri lebih dalam menegaskan, “Indonesia saat ini bisa saja menjual batubara ke China secara terus menerus. Namun bila tidak ada pengelolaan sumber daya yang baik, maka tidak menutup kemungkinan suatu hari nanti generasi mendatang bangsa kita justru akan berbalik membeli batubara dari China”.
Dalam menjelaskan pentingnya pengelolaan sumber daya alam yang baik, Faisal menekankan bahwa selama ini Indonesia cenderung menghabiskan dana yang didapatkan dari hasil sumber daya alam relatif tanpa memikirkan keberlangsungan perekonomian secara umum serta keberlangsungan sektor pertambangan itu sendiri.
Faisal menjelaskan selama ini pemerintah di berbagai periode cenderung menghabiskan dana hasil pertambangan tersebut tanpa berpikir untuk menyisihkannya di sektor pertambangan maupun sektor terkait. Faisal memberikan contoh bahwa Timor Leste bahkan memberikan batasan uang hasil migasnya yang bisa dipakai untuk pembangunan, sementara sisanya disimpan untuk cadangan ketika sektor itu sudah tidak lagi menghasilkan dengan baik atau ketika harga komoditas sedang merosot.
Faisal menganalogikan pemanfaatan hasil tambang sebagai hasil panen, yang harus dikelola secara bijak dengan konsumsi secukupnya tanpa harus berlebih-lebihan. Analogi pemanfaatan hasil bumi secara bijak didasari oleh konsep rawan pangan (paceklik) yang berlangsung dalam siklus tertentu yang dalam hal ini digambarkan Faisal dalam bentuk merosotnya harga komoditas maupun menurunnya eksplorasi baru.
“Hal ini serupa dengan kejadian yang tengah terjadi saat ini. Bila sumber daya alam yang kini ada sudah lebih dari cukup, maka sebaiknya yang dikonsumsi secukupnya saja, karena sewaktu-waktu sumber daya tersebut dapat habis karena tak dapat terbarukan”, ujar Faisal Basri. (nol)