Jakarta, Portonews.com – Nasib divestasi saham sebesar PT Freeport Indonesia yang akan dikantongi pemerintah lewat holding BUMN yang dikepalai PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) sepertinya bakal melewati jalan berliku. Proses peralihan saham mayoritas bagi Inalum beserta Pemprov Papua dan Pemkab Mimika harus mengikuti aturan dan lobby yang ternyata masih bertele dan panjang.
Demikian hasul kesimpulan dalam seminar bertajuk “Divestasi Saham PT Freeport Indonesia Sebagai Perwujudan Kedaulatan Negara untuk Kemakmuran Rakyat di gedung Nusantara V, Kompleks Parlemen DPR, DPD, dan MPR, Senayan, Jakarta Selatan, Senin (13/8/2018).
Ahli Geologi dari IAGI, Iwan Munajat yang menjadi pembicara mengungkapkan, di wilayah kerja Freeport Indonesia di Papua pada tambang yang mulai tahun 2017 itu semuanya di bawah tanah.
“Mengapa Freeport sekarang bersedia melepas sahamnya? Pada dasarnya karena butuh dana untuk mengembangkannya. Alasannya, mau pinjam bank tidak bisa lantaran syarat jaminannya adalah perpanjangan kontrak,” sebutnya mengulas PT Freeport Indonesia yang melunak.
“Kenapa tidak menunggu tahun 2021? Salah satu alasannya Block Caving punya tantangan yang besar. Tidak boleh berhenti, sehingga tiap hari ada maintenance. Kalau berhenti bisa terjadi flag, maka akan turun dan mengeras. Jadi usahakan tambang ini tetap berjalan,” terangnya.
Dirinya menilai, bila pemerintah serius dan berserikeras bisa mendapatkan saham mayoritas Freeport Indonesia, maka bisa menjadi tempat basis untuk melakukan eksplorasi di tempat lain di daerah Papua.
“Grassberg itu sebenarnya kecil kalau dibandingkan tambang lain, karenanya itu perlu mencari lagi yang lebih besar. Nah Freeport bisa menjadi basis atau sentral memulai eksplorasi, ” tunjuk Iwan.
Sementara Hikmamto Juwana, Guru Besar Hukum Universita Indonesia, merasa tak perlu takut bila nantinya terjadi sengketa dan berakhir abritase. Baginya, kalau pun terjadi abritase, jangan pernah kepikiran untuk menyetop kegiatan tambang.
Dia menambahkan, Indonesia hingga kini belum menguasai 51% saham tersebut. “Jangan euforia dan ekspektasi terlalu tinggi. Ini bukan perjanjian yang tidak mengikat. Head of Agreement tidak mengingat dan tidak bisa dijadikan alat bukti kalau terjadi sengketa dan terjadi gugatan, ” sebutnya.
“Banyak yang mengira, kalau sudah punya 51% saham maka sudah menguasai, padahal tidak karena hal itu masih dalam bentuk partisipatif interest. Karenanya, dalan pemilikannya harus diatur kalau saham terdilusi sahamnya bisa tetap 51%. Hal lainnya, sebenanrnya Kontrak Karya Freeport sudah berakhir sejak Januari 2017. Karena itu, terbit IUPK S (sementara),” jelasnya.
Dirut Inalum, Budi Gunadi Sadikin sendiri harga pembelian sebesar 3,85 miliar dollar AS bukanlah merupakan kewenangannya. “Itu bukan kewenangan saya. Tapi tahun 2019 itu mulau habis karena open pit, tapi nanti 2022-20223 akan naik lagi hasil tambangnya, ” imbuhnya.
“HoA memang belum mengikat transaksi karena memang belum ada pembayaran. Tapi saya mau jelaskan kalau proses saham tersebut melewati prosedur tiga tahap. Transaksi pertama adala beli 100persen saham Rio Tinto, tapi ini hanyalah bentuknya partisipatif interest yang punya 42 %. Baru kedua, transaksi kedua dgn menukar 100 persen Rio Tinto dengan 42 persen untuk Freeport Indonesia. Baru transaksi ketiga transaksi dengan Freeport McMoran untuk mendaoatkan skema tambahan 5%,” tunjuknya.
Dia meyakinkan, kalau Inalum hanya pegang 41%, sementara 10% sisanya merupakan milik Pemda yakni Pemprov Paoua dan Pemkab Mimuka.
Dalam seminar tersebut hadir pula perwakilan Pemprov Papua, Bupati Mimika dan perwakilan dari beberapa kementerian seperti Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Dalam Negeri. Mereka juga akan membahas soal pembagian pajak.