Oleh Edy Mulyadi*
Saya tidak habis pikir, kok bisa-bisanya para elit Parpol hari-hari ini bertingkah menyebalkan dan memuakkan. Saat 260 juta lebih rakyat Indonesia berharap negerinya bakal keluar dari multikrisis, para elit justru asyik mempertontonkan syahwat atas kuasa dan tahta yang begitu menggelegak. Padahal, batas akhir pendaftaran Capres/Cawapres yang 10 Agustus tinggal menghitung jam saja.
Untuk urusan Capres dan Cawapres, mereka bisa abai terhadap rekomendasi Ijtima’ Ulama dan Tokoh Nasional yang digelar di penghujung Juli silam. Dan, yang lebih gila lagi, mereka bahkan tidak peduli pada NKRI yang compang-camping didera berbagai masalah.
Padahal para elit ini tahu persis, dalam hampir empat tahun belakangan Indonesia dibelit tiga persoalan besar dan serius. Pertama, terkoyaknya rasa keadilan karena hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Kedua, fragmentasi sosial berbau SARA yang menyengat. Khusus untuk masalah ini, ummat Islam yang jadi penduduk mayoritas merasa rezim sekarang memusuhi dan menzalimi mereka. Akar dari problem kedua karena Istana kini dijejali nonmuslim, kaum sekuler, dan para pengidap Islamofobi kronis.
Masalah ketiga, persoalan ekonomi yang memasuki fase lampu (setengah) merah. Angka-angka yang tersaji sudah melenceng jauh dari indikator makro yang dipatok pemerintah. Negara dikepung oleh berbagai defisit. Defisit neraca perdagangan, defisit neraca pembayaran, defisit transaksi berjalan, dan defisit APBN. Rupiah terkulai dihajar dolar Amerika. Produksi minyak mampet di bawah target. Bayang-bayang negara bakal tergadai karena utang yang menembus Rp5.000 begitu pekat. BUMN sempoyongan ditubruk rugi triliunan rupiah, dan lainnya, dan seterusnya.
Sebagian besar rakyat kita memang tidak peduli dengan angka-angka tadi. Biarlah sejumlah indikator makro itu dikunyah para ekonom dan sebagian elit sedikit ngerti. Rakyat kecil sudah terlampau sibuk dengan akobrat untuk menyiasati harga-harga yang terus saja terbang bak hendak menjangkau awan. Pada saat yang sama, pendapatan cenderung stagnan dan ludes di awal-awal bulan. Bagi rakyat, lapangan pekerjaan seperti pintu benteng yang terkunci rapat-rapat, namun terbuka lebar bagi TKA asing, khususnya dari China.
Terjebak Presidential Threshold
Sudah semestinya para elit pemilik tiket Pilpres memperhatikan betul rentetan masalah ini. Mereka mesti menjadikannya sebagai konsideran utama dalam menentukan Capres dan Cawapres yang bakal dijagokan untuk berlaga. Bukan malah sibuk mengkalkulasi logistik dan jabatan yang bakal diraup sebagai pertimbangan utama.
Biang kerok masalah ini adalah ketentuan ambang batas mengajukan Capres/Cawapres (presidential threshold/PT). Aturan main yang sedianya mereka susun untuk menjegal ‘pemain baru’ ternyata malah menjadi memerangkap diri sendiri dan gerombolannya. Untuk memenuhi ambang batas 20% dan atau 25%, jadilah mereka saling sandra.
Sejatinya, semua huru-hara ini bersumber dari telah matinya empati para elit terhadap rakyat sebagai pemilik sah Indonesia. Mereka terlampau sibuk menghitung apa saja yang bisa diperoleh dari perhelatan demokrasi yang sudah berubah jadi ajang kriminal lima tahunan. Kalau saja mereka punya sedikit empati dan nurani yang belum mati, maka laku tak layak itu bisa (agak) ditepis.
Untuk dua soal pertama (keadilan hukum dan Islamobia) bisa diselesaikan dengan sejumput kemauan atawa political will yang kuat. Siapa pun penguasanya, cuma diperlukan komitmen untuk menegakkan hukum secara adil. Siapa pun Presiden/Wapresnya, hanya dibutuhkan kemauan kuat untuk mengakrabi Islam dan ummatnya. Perlakukan keduanya secara proporsional dengan bersumber dari hati yang bersih dan melayani. Singkirkan jauh-jauh mindset dan sikap Islamofobia yang selama ini mengelilingi Istana.
Ya, dua persoalan tadi bisa diselesaikan dengan kemauan. Kemauan yang kuat dari Presiden dan Wapresnya. Kalau menyebut nama, dengan mengabaikan petahana, Capres Prabowo dan siapa pun Cawapresnya bisa menuntaskannya dengan hanya mengantongi komitmen yang kuat. Sesederhana itu. Jika Prabowo menggandeng Habib Salim Segaf atau ustadz Abdul Shomad yang direkomendasikan Ijtima’ Ulama tentu lebih ciamik.
Tapi tidak dengan problem ketiga. Persoalan ekonomi tidak bisa diselesaikan melulu bermodal kemauan belaka. Ia membutuhkan pemahaman atas masalah dan kemampuan mengeksekusi solusi. Tidak bisa dipasang sembarang orang untuk menyelesaikan persoalan bangsa yang ketiga. Bahkan, tidak setiap ekonom dapat menuntaskannya. Apalagi kalau yang bersangkutan tampak seolah-olah besar dan mumpuni hanya karena polesan media.
Para ekonom selebriti yang berada di lingkaran inti kekuasaan sekarang tidak lebih dari representasi dari majikan asing dan aseng. Dengan pakem neolibnya yang membabi-buta, mereka bekerja ekstra keras untuk menyenangkan majikannya. Perkara karena penghambaan buta mereka rakyat jadi tergencet beratnya beban hidup, itu sama sekali tidak masuk dalam kamus para komparador itu.
Rekam jejak
Persoalan ekonomi hanya bisa dituntaskan oleh orang yang punya keberpihakan dan kemampuan di bidang ekonomi. Setelah puluhan tahun kendali ekonomi berada di tangan para pengekor neolib, sudah saatnya semua dikembalikan ke konstitusi. Caranya mudah. Tengok saja, bagaimana para pendiri bangsa menulis pasal-pasal ekonomi di konstitusi. Sepanjang belum dihapus, jadikan pasal 33 UUD 1945 sebagai pedoman dan dasar pijakan tiap kebijakan.
Maaf, kalau terpaksa menyebut nama. Rizal Ramli adalah orang yang dimaksud. Sejarah lelaki yang yatim sejak usia enam tahun ini meninggalkan rekam jejak yang gamblang. Keesetiaannya pada ekonomi konstitusi bisa mudah dirunut. Keberpihakannya kepada rakyat kebanyakan juga bisa dengan gampang ditelusuri, baik saat di dalam maupun luar kekuasaan.
Otaknya yang encer dan tangan dinginnya terbukti mampu melahirkan banyak terobosan dalam mengurai benang kusut perkenomian. Saat menjadi Menko Ekuin, ekonomi mampu tumbuh dari minus 3% di era Habibie menjadi 4,2% hanya dalam tempo 21 bulan pemerintahan Gus Dur. Hebatnya lagi, lompatan pertumbuhan itu dilakukan sambil mengurangi beban utang ssebesar US$4,15 miliar. Suatu prestas yang mustahil diraih para pejabat penghamba ekonomi neolib. Bukan itu saja, pertumbuhan ekonomi juga sangat berkualitas. Rasio indeks Gini terendah Indonesia sepanjang 50 tahun terakhir, yaitu sebesar 0,31.
Di tataran mikro, tokoh yang akrab disapa RR ini juga meninggalkan jejak cemerlang di Semen Gresik Group dan BNI saat didapuk menjadi Komisaris Utama. Semuanya sudah menjadi informasi publik, dengan mudah bisa ditelisik. Silakan berselancar di dunia maya, maka akan tersaji bermacam gebrakan terobosan, yang sering kali tidak terpikirkan oleh para pejabat publik dan atau mereka yang disebut ekonom.
Cukup Menko?
Kepiawaiannya di bidang ekonomi diakui kawan dan lawan yang bersebarangan mazhab ekonomi. Namun dalam konteks Pilpres, mereka seperti disatukan dengan pendapat yang mendegradasi peran. “RR memang pilih tanding di bidang ekonomi. Untuk itu, cukup posisi Menko Ekuin baginya kalau memang ingin memperbaiki perekonomian Indonesia yang tengah terpuruk,” begitu seolah-olah koor yang mereka dendangkan.
Lagi pula, untuk mengabdi kepada negeri kan tidak harus menjadi Presiden atau Wapres. Jabatan Menko sudah sangat prestisius dan cukup powerful. Toh nanti siapa pun Presiden/Wapresnya ‘pasti’ bakal menggaetnya sebagai Menko.
Tentang ‘kepastian’ Rizal Ramli menjadi Menko Perekonomian siapa pun yang menjadi Presiden/Wapres, ini argumen naif. Semua akan sangat tergantung apa motivasi orang-orang itu berkuasa. Kalau mau membangun negeri, bisa ‘dipastikan” RR bakal dipinang sebagai Menko. Tapi kalau mereka hendak nyolong, maka bisa dipastikan juga dia ditoleh pun tidak. Lho, iya, kan?
Di atas semua itu, mereka sepertinya lupa atau memang sengaja lupa. Kewenangan seorang Menko Ekuin dengan masalah ekonomi segawat ini tentu sangat terbatas. Sehebat apa pun sang Menko, dia tetap harus berada di bawah komando Presiden. Sampai di sini masalah bisa terjadi. Ketika ada kekuatan besar (biasanya lobi para pengusaha, khususnya asing maupun asing) menekan Presiden (dan Wapres), maka titah selanjutnya kepada Menko bisa ditebak. Inilah yang dialami Rizal Ramli, dan juga Kwik Kian Gie saat keduanya menjadi Menko Ekuin.
Inilah yang menjelaskan mengapa RR berada di luar lapangan begitu Pemerintahan Gus Dur jatuh. Bahkan, kendati sempat masuk sebentar di era Jokowi, pria yang telah menjadi orang pergerakan sejak mahasiswa lebih 40 tahun lalu itu, pun akhirnya didepak ke luar.
Akhirnya, kita perlu mengingatkan para elit yang masih saja bertingkah menyebalkan di detik-detik akhir pendaftaran Capres/Cawapres. Sebetulnya kalian mau apa? Benar mau membangun negeri? Atau, polah kalian yang kian memuakkan ini sejatinya adalah cermin syahwat akan kuasa dan harta yang tak terkendali? [*]
Jakarta, 9 Agustus 2018
Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)