Sumringahnya para pengusaha batubara, berkebalikan dengan Direktur Utama PLN, Sofyan Basyir. Dengan harga batubara yang melambung tinggi, biaya produksi PLN jadi sangat tinggi.
Maklum, semua pembangkit listrik berbahan bakar batubara, batubaranya dipasok oleh PLN, dan saat ini sekitar 70% pembangkit listrik di Indonesia berbahan bakar batubara.
Sebenarnya, PLN sudah mempunyai strategi untuk menekan biaya pengadaan batubara, dengan menerapkan sistem zonasi. Setiap pembangkit listrik (PLTU) bahan bakar batubaranya dipasok dari tambang yang terdekat, yang bertujuan untuk meringankan biaya logistik.
Tapi, dengan kenaikan harga yang sangat drastis, akan sangat membebani keuangan PLN. Naiknya harga batubara otomatis meningkatkan biaya produksi yang merupakan salah satu komponen dalam formula tarif dasar listrik.
Kenaikan tarif dasar listrik, sama dengan kenaikan subsidi listrik. Sampai-sampai, pertengahan tahun lalu, Sofyan Basyir mengadu ke Presiden Jokowi mengenai tingginya biaya produksi karena mahalnya harga batubara.
Hitungan sederhananya, apabila rata-rata harga batubara sebelum Oktober 2016 US$50 per ton, dan sejak Oktober 2016 hingga kini harganya naik menjadi US$100 per ton, maka PLN yang mengkonsumsi batubara per tahun sebanyak 80 juta ton, harus membayar biaya bahan bakar dua kali lipat, dari US$4 miliar menjadi US$8 miliar.
Kenaikan biaya bahan bakar yang makin berat itu belum termasuk beban depresiasi, karena pendapatan PLN dalam denominasi Rupiah.
Di lain pihak, pemerintah tidak bisa mengendalikan harga batubara di pasar domestik karena sekitar 80% produksi batubara dikuasai oleh swasta. Karena harga batubara di pasar ekspor secara umum lebih tinggi, maka perusahaan-perusahaan swasta lebih suka mengekspornya.
Atas dasar itu, sebenarnya Sofyan mengusulkan kepada Presiden agar pemerintah memiliki perusahaan tambang batubara guna menjamin ketersediaan pasokan untuk pembangkit listrik, industri baja, semen, dan beberapa industri lain.
Terlebih lagi, pemerintah menargetkan penambahan pasokan listrik 35.000 megawatt hingga 2025. Kebutuhan dalam negeri akan batubara akan terus meningkat, sehingga usulan Sofyan itu sangat masuk akal. Sangat riskan jika pemerintah tidak mampu menjamin pasok batubara untuk pembangkit-pembangkit listrik yang sedang dan akan dibangun.
Menurut Sofyan, di negara-negara besar seperti China dan India, pemerintah menguasai mayoritas produksi batubara nasional. Sehingga dalam kondisi apapun, kebutuhan batubara untuk listrik dan industri strategis selalu bisa diprioritaskan untuk dipenuhi. “Ini juga yang saya sampaikan ke Presiden,” kata Sofyan.
Untuk menjaga keberlanjutan operasional pembangkit-pembangkit listrik, Direktur Pengadaan Strategis 2 PLN, Supangkat Iwan Santoso mengusulkan harga batubara domestic market obligation (DMO) ditetapkan sebesar biaya produksi ditambah margin sebesar 15%-25% untuk produsen batu bara. PLN juga meminta prosentase alokasi batubara DMO ditingkatkan.
“Kita mau cost plus margin saja. Yang kita harapkan long term, jangka panjang. Margin normal saja sesuai ketentuan pemerintah, 15% -25%,” kata Iwan.
Namun usulan PLN itu ditolak oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), seperti dikemukakan oleh Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian ESDM Dadan Kusdiana.
Menurut Dadan, formula ‘cost plus margin’ tidak sesuai karena tidak berorientasi pada efisiensi. Dalam menyusun formula Harga Batubara Acuan (HBA), pemerintah akan menggunakan 4 index harga batubara,yaitu Indonesia Coal Index (ICI), New Castle Global Coal (GC), New Castle Export Index (NEX), dan Platts59, yang masing-masing bobotnya dalam formula HBA sebesar 25%.
“Diharapkan HBA baru bisa terbit secepatnya agar bisa diterapkan pada tahun 2018,” kata Dadan.
baca: Penetapan Harga Batubara untuk Kelistrikan Nasional
Sebenarnya, pengadaan batubara untuk kepentingan strategis negara seperti listrik, bisa dipenuhi dari royalti batubara sebesar 13,5% dari produksi. Jika kebutuhan batubara untuk PLN sebanyak 80 juta ton per tahun, maka dengan tingkat produksi nasional batubara Indonesia rata-rata 400 juta ton, sebanyak 56 juta ton sudah terpenuhi, 24 juta ton sisanya bisa dipenuhi dengan membeli dari pasar domestik.
Apabila usulan Sofyan Basyir, pemerintah mempunyai perusahaan batubara berupa BUMN yang 100% sahamnya dikuasai negara, maka persoalan pasok batubara untuk PLN sudah bisa diselesaikan.
“Idealnya begitu. Tapi untuk merealisasikan usulan itu sangat sulit. Ada beberapa peraturan hukum yang harus diubah,” kata Hendra.
Namun saat ini, royalti pertambangan batubara sebesar 13,5% dari volume produksi, diterima negara dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Sebagai wakil dari perusahaan batubara, Hendra meminta kepada pemerintah agar harga batubara yang dipasok ke PLN mengacu pada harga pasar internasional. Kalaupun ada agreement tertentu, harus berlaku dalam jangka panjang. ”Jangan setiap kali harga berubah, kesepakatan itu juga diubah,” tambah Hendra.
Tanggal 14 September 2017 lalu, Menteri ESDM, Ignasius Jonan mengumumkan aturan harga batubara untuk kelistrikan. Inti dari lima poin pengumuman itu, harga batubara untuk kelistrikan harus berorientasi pada tarif listrik yang terjangkau oleh masyarakat luas, menjaga kelangsungan perusahaan batubara, dan hingga kini Kementerian ESDM belum mengambil keputusan apa pun terkait hal tersebut.