Jakarta, Portonews.com – Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan, pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) tahun depan, masih akan dipenuhi oleh faktor perang dagang antara AS dan Cina, yang akan berdampak pada negara-negara berkembang, tak terkecuali Indonesia.
Oleh karena itu, penetapan asumsi nilai tukar rupiah dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) sebesar Rp14.400/US$ di tahun depan dipandang cukup realistis.
Di menjelaskan, pertimbangan penetapan nilai tukar tersebut karena tekanan eksternal di tahun depan. Faktor-faktor global dimaksud, antara lain kenaikan suku bunga bank sentral AS, Federal Reserve/ The Fed, yang diperkirakan sebanyak tiga kali di 2019 dan perkembangan perang tarif impor antara kedua negara dengan ekonomi terbesar di dunia saat ini.
“Tekanan eksternal yang kuat ditambah The Fed yang kemungkinan menaikkan suku bunga tiga kali lagi tahun depan. Lalu perang dagang kalau masih terjadi kemungkinan tekanannya berlanjut. Bisa juga perang dagang mereda, jadi tekanan untuk emerging market juga mereda,” kata David seperti dikutip CNBC Indonesia, Minggu (19/8/2018).
Kemudian, ditambah lagi dengan posisi nilai mata uang garuda yang saat ini bergerak di rentang Rp 14.500-Rp 14.600/US$ yang dinilai overshooting dan berada di bawah nilai fundamentalnya (undervalue).
Dia menilai jika kondisi perang dagang terus terjadi, hal tersebut akan menghambat penguatan rupiah. Namun sebaliknya, jika perang dagang mereda, rupiah akan memiliki tenaga untuk kembali menguat.
Pekan ini pemerintahan Presiden Joko Widodo mematok asumsi dasar nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sebesar Rp14.400/US$ dalam nota keuangan yang disampaikan di hadapan anggota dewan jelang peringatan 17 Agustus. Penetapan tersebut memperhitungkan kondisi ketidakpastian yang terus terjadi akibat kondisi global dan dalam negeri.