Kementerian BUMN tengah giat melakukan revitalisasi dan profitisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Progres terakhir, pemerintah akan membentuk enam holding BUMN yang bergerak di enam core business. Holding BUMN tambang akan dipimpin oleh Inalum, holding bidang Migas oleh Pertamina, holding sektor pangan akan berada dikendali Perum Bulog, holding bisnis pembangunan dan pengelolaan jalan tol oleh Hutama Karya, holding pembangunan perumahan dipimpin PT Perumnas, holding bidang keuangan oleh PT Danareksa.
Kebijakan membentuk sejumlah holding BUMN itu, tentu saja karena selama ini kinerja BUMN dinilai tidak optimal. Pertanyaan berikutnya, apa penyebab kinerja BUMN tidak semoncer perusahaan-perusahaan swasta yang dikelola dengan good governance? Banyak. Tapi yang cukup menonjol ada empat hal.
Pertama, seperti yang disinggung oleh Presiden Joko Widodo, BUMN tidak bisa lincah. Ketika menjabat sebagai Direktur Utama PT Garuda Indonesia, Emirsyah Satar pernah mengatakan, “Kalau Rusdi (Presdir Lion Air waktu itu) mau nambah 15 atau 20 pesawat, dia tinggal sms sama Kusnan, besoknya dia telpon Boeing. Saya mau nambah tiga pesawat, harus mengajukan proposal, harus presentasi di depan Menteri, harus dengar pendapat dengan DPR. Jadi speed of business-nya beda.”
Kedua, BUMN hanya berorientasi pada pasar domestik. Dari 118 BUMN, bisa dihitung jari yang memiliki eksposur bisnis di luar negeri.
Ketiga, jika dibandingkan dengan perkembangan bisnis internasional, bidang bisnis yang dikelola BUMN masih merupakan bisnis konvensional. Holding perusahaan-perusahaan berkelas dunia, kini pendapatan utamanya berasal dari bidang bisnis yang berbasis teknologi.
Saat ini di Indonesia terdapat 118 perusahaan berstatus Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dari jumlah itu, terdapat 20 BUMN yang sudah go public, 84 bukan perusahan publik, 14 Perum, dan 24 perusahaan di mana negara memiliki saham, namun bukan mayoritas.
Berdasarkan laporan keuangan per 30 Juni 2017, terdapat 24 BUMN yang mencetak kerugian, empat di antaranya adalah BUMN yang sahamnya sudah tercatat di Bursa Efek Indonesia, yaitu PT Indofarma Tbk., PT Aneka Tambang Tbk., PT Krakatau Steel Tbk., dan PT Garuda Indonesia Tbk.
Bila dipilah menurut bidang usahanya, 118 BUMN itu bermain di 13 sektor bisnis, yaitu pergudangan dan transportasi, informasi dan komunikasi, perhotelan, pengadaan air, pertambangan dan penggalian, jasa profesional – ilmiah – teknis, jasa keuangan dan asuransi, konstruksi, listrik – gas, pertanian – kehutanan – perikanan, real estat, perdagangan besar dan eceran, serta industri pengolahan.
Adapun pembobotan bisnis berdasarkan nilai aset perusahaan dan pendapatan, bidang industri dan pengolahan 29%, pergudangan dan transportasi 24%, konstruksi 19%, jasa keuangan dan asuransi 10%, serta bidang kelistrikan dan gas 9%.
Kecuali BUMN-BUMN yang sudah tercatat di lantai bursa, cukup sulit menilai kinerja 98 perusahaan BUMN yang bidang bisnisnya sangat beragam, serta data dan informasi yang bisa diaksesnya (accessible data) sangat minim.
Akan tetapi, paling tidak ada dua indikator yang bisa dijadikan parameter untuk menilai kinerja BUMN secara keseluruhan. Pertama, penerimaan pajak dari BUMN, tahun 2016 total pajak yang dibayarkan BUMN mencapai Rp167 triliun. Kedua, kontribusi dividen BUMN terhadap Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Tahun 2017, kontribusi dividen BUMN terhadap PNBP adalah sebesar Rp41 triliun, dan tahun 2018 diproyeksikan naik menjadi Rp44,7 triliun.
Oke, mengukur kinerja satu entitas bisnis dengan hanya membandingkan dengan kinerja yang dicatatkan pada tahun buku sebelumnya bisa dikatakan kurang akurat. Karena tidak dibandingkan dengan perusahaan lain yang sejenis dan seukuran, baik di dalam maupun luar negeri.
Presiden Joko Widodo menyatakan, pembentukan holding–holding BUMN dimaksudkan untuk memperkuat BUMN. Agar bisa ‘keluar kandang’, dan tumbuh menjadi perusahaan-perusahaan kelas dunia. Pencapaiannya, melalui pengelolaan BUMN yang menerapkan good governance, dijalankan berdasarkan paradigma yang menempatkan BUMN sebagai sebuah korporasi bisnis.
“Jangan lagi ada intervensi terhadap BUMN, agar BUMN dapat tumbuh dan bersaing dalam skala global. Indonesia harus segera menyusun roadmap yang jelas untuk mewujudkan BUMN yang besar, kuat, lincah, berkualifikasi perusahaan kelas dunia,” tegas Presiden.