Jakarta, Portonews.com – Meski pertumbuhan ekonomi kuartal II-2018 sebesar 5,27 persen melampaui target. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengingatkan ada resiko yang mengintai di balik capaian tersebut.
Sri menjelaskan, dari sisi pengeluaran, komponen investasi alias pembentukan modal tetap bruto (PMTB) yang hanya 5,87 persen harus membuat Pemerintah waspada. “Itu di bawah yang kita harapkan, karena sudah tiga kuartal berturut-turut PMTB 7%, sekarang tiba-tiba di bawah 6%,” kata Sri Mulyani di usai rapat bersama Presiden Joko Widodo, di Istana Negara, Senin (6/8/2108).
Dia menambahkan, meskipun permintaan domestik kembali menunjukkan keperkasaannya, namun catatan perdagangan internasional belum tumbuh secara menggembirakan. “Apakah kemarin karena libur panjang, karena dari manufaktur juga rendah, jadi mungkin ada korelasi, trade off antara konsumsi yang jadi bagus, tapi manufaktur dan investasi agak lemah,” imbuhnya.
Dia juga menggarisbawahi catatan ekspor yang lebih rendah ketimbang pertumbuhan impor. Hal ini, lanjutnya, berpeluang memberikan tekanan terhadap neraca pembayaran secara tahunan. Apabila ekspor terus-menerus berada di bawah impor, maka laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi bisa menimbulkan komplikasi terhadap perekonomian.
“kalau ekspornya terlalu lemah dan impor terlalu rendah, maka pertumbuhan ekonomi akan menimbulkan tekanan pada neraca pembayaran. Jadi kita masih punya PR untuk memacu investasi,” ujarnya.
Untuk paruh akhir tahun ini, Menteri Keuangan mengemukakan ada resiko nilai tukar yang patut diwaspadai. Ia menyebut resiko nilai tukar bisa menghantam sisi konsumsi melalui inflasi. “Kemarin belum terlihat karena inflasi masih 3,2 persen, dan Selama pasokan bahan pangan bagus, dan adm prices kita jaga, kita harap itu bisa positif,” ujarnya.
Berikutnya, Pemerintah masih berharap investasi bisa melaju lebih tinggi pada semester kedua karena impor bahan baku dan barang modal terus melaju selama beberapa waktu di akhir semester satu. “Kita selalu mengatakan bahwa impor bahan baku dan modal kan meningkat, harusnya terjemahannya adalah investasi tinggi. Dan manufaktur tinggi. Ternyata belum terlihat. Jadi mungkin saja itu munculnya di semester II yang akan menjadi strong factor yang kita harapkan,” paparnya.
“Selama pemerintah tetap bisa menjaga confidence dan konsumsinya ajeg di atas 5 persen, dan impor bahan baku dan modal bisa diterjemahkan dalam produksi, kita berharap ini akan tetap positif,” imbuhnya lagi.