Selama periode 2014-2016 frekuensi kasus kecelakaan migas, khususnya tumpahan minyak, di Indonesia relatif tinggi, rata-rata empat kasus besar per tahun. Itu belum termasuk kasus-kasus tumpahan minyak yang disebabkan oleh tabrakan kapal di Selat Malaka yang tumpahan minyaknya masuk ke wilayah Indonesia, dan kasus-kasus kecil yang tidak termonitor oleh lembaga yang berkompeten atau media.
Tumpahan minyak tidak saja mengotori area laut dan pantai, tapi juga merusak lingkungan hidup perairan dalam jangka waktu yang sangat panjang. Berapa biaya penanggulangan dan pemulihannya? Bisa tidak terhitung. Karenanya, fokus dari setiap unit bisnis yang memiliki potensi terjadinya tumpahan minyak adalah pencegahan dan kesiagaan agar bisa melakukan penanggulangan secepat dan seefektif mungkin, jika sewaktu-waktu terjadi tumpahan minyak.
Memasuki tahun 2017, frekuensi kasus tumpahan minyak menurun drastis. Untuk kasus yang relatif besar, hingga akhir Agustus tercatat hanya satu kali, yaitu di Pantai Monpera, Balikpapan, Kalimantan Timur.
Direktur Teknik dan Lingkungan Migas, Ditjen Migas, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Patuan Alfon Simanjuntak mengatakan, dalam upaya meminimalisir kecelakaan di lingkungan kerja migas, termasuk yang mengakibatkan tumpahan minyak, pihaknya melakukan pembinaan langsung melalui pemeriksaan teknis ke lapangan secara berkala untuk memastikan semua peralatan dan instalasi yang digunakan dalam kondisi baik, sesuai peraturan dan standar yang digunakan.
Selain itu, lanjut Alfon, Direktorat Teknik dan Lingkungan Migas juga terus melakukan safety campaign ke perusahaan-perusahaan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dan Badan Usaha, serta mengimbau manajemen KKKS dan Badan Usaha untuk melakukan management walk–through guna memastikan kegiatan usaha hulu dan hilir migas di lapangan berjalan baik. Sehingga, tujuan akhir semua pemangku kepentingan di sektor migas, yaitu Aman, Andal, dan Akrab Lingkungan, dapat tercapai.
Baca juga: ‘Maaf, Tak Ada Lagi Reimburse Untuk Kontrak Baru’
Kedua, Direktorat Teknik dan Lingkungan Migas juga melakukan pembinaan tidak langsung melalui membuat surat edaran yang intinya mengingatkan agar manajemen KKKS dan Badan Usaha selalu melakukan pengawasan secara berkala dan berjenjang, sampai ke tingkat pelaksana. Di samping itu, perusahaan-perusahaan KKKS dan Badan Usaha selalu diingatkan untuk selalu melakukan pekerjaan dengan aman dan mengikuti prosedur yang telah ditetapkan.
“Sebagai Direktur Teknik dan Lingkungan Migas, saya bertanggung-jawab atas aspek keselamatan migas, termasuk pencegahan pencemaran lingkungan laut dari tumpahan minyak. Kami melakukan pembinaan terhadap perusahaan-perusahaan KKKS dan Badan Usaha baik secara langsung maupun tidak langsung.
Hasilnya, kasus kecelakaan kerja migas dan tumpahan minyak yang sebelumnya cukup tinggi, akhir-akhir ini frekuensinya menurun drastis. Menurut Alfon, penurunan angka kecelakaan kerja migas tersebut juga tidak terlepas dari peran Kepala Teknik dalam mensosialisasikan berbagai poin pembinaan dan surat edaran kepada para vendor, terutama peningkatan pengawasan untuk lebih cermat dalan loading dan unloading minyak.
“Di samping itu, sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan No. 58 Tahun 2013 yang menyebutkan, setiap kapal wajib memiliki oil boom untuk mencegah pencemaran laut jika terjadi tumpahan minyak ke laut,” tambahnya.
Tumpahan minyak juga berdampak terhadap sektor perikanan, terutama jika tumpahan minyak masuk ke sensitive areas, seperti hutan mangrove tempat berkembang-biak berbagai jenis biota laut, seperti ikan, udang, sotong, dan lain-lain.
Kasubdit Pesisir Terpadu, Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Sapta Putra Ginting mengatakan, jika terjadi tumpahan minyak, guna mencegah masuknya tumpahan ke area sensitif, dan meminimalisir dampaknya, Ditjen KP3K telah menjalin kerja sama dengan Kementerian ESDM, Pertamina, dan perusahaan-perusahaan KKKS, untuk memastikan setiap area kegiatan migas di perairan mempunyai tim dan peralatan yang mumpuni agar bisa menanggulangi tumpahan minyak secepat dan seefektif mungkin.
“Bagi unit-unit kegiatan migas yang berdekatan dengan area sensitif, kami meminta mereka agar memprioritaskan perlindungan pada area-area sensitif itu. Karena jika tidak, dampak ekologisnya sangat besar dan panjang,” jelas Sapta.
Ia menambahkan, apakah area-area sensitif itu harus diproteksi secara permanen atau tidak, itu tergantung kondisi di lapangan. Karena banyak juga area-area sensitif yang terbuka dan langsung menghadap ke laut, sehingga untuk memproteksinya secara permanen dengan pemasangan oil boom seperti di Pulau Sentosa, Singapura, biayanya akan mahal sekali.
“Tapi mereka harus pastikan punya peralatan yang memadai jika terjadi tumpahan minyak,” tegas Sapta.
Mohammad Chudori, Manager of Maintenance and Support di Pertamina Unit Pengolahan IV Cilacap mengemukakan, untuk pengelolaan safety dan lingkungan hidup di Pertamina Unit Pengolahan IV Cilacap, dilakukan mulai dari rancang bangun. Pertama, rancang bangun itu sudah memperhitungkan semua aspek terkait safety dan lingkungan, yang semuanya mengacu pada standar internasional yang berlaku.
Kedua, setelah konstruksi dinilai memenuhi standar aman, maintenance dilakukan dengan beberapa program. Program pertama menyusun maintenance strategy jangka panjang, menengah, dan jangka pendek.
Misalnya, program jangka panjang seperti overhaul time. Program jangka menengah yang rata-rata dua tahunan, contohnya pemeriksaan atau penggantian boiler. Sedangkan program jangka pendek, seperti perbaikan-perbaikan kecil atau program preventif. Dari maintenance strategy itu dibuat Equipment Criticality Rating (ECR) dari seluruh perangkat.
“Jadi kita ranking dari seluruh equipment itu berdasarkan risk-nya, di mana probability dikali consequence. Seluruh equipment yang telah dibuat ECR-nya, akan didapat beberapa ranking, mulai dari E (extreme) tingkat tertinggi harus dilakukan perubahan secara desain. Berarti sudah sangat tidak aman, apakah masalah lifetime terlalu pendek, apakah sering terjadi masalah,” kata Chudori.
Yang kedua, kategori high, diupayakan membuat program-program supaya kategorinya turun, paling tidak peralatan itu bisa dipertahankan. Langkah yang harus dilakukan sehingga yang high tidak menjadi extreme, tapi diusahakan turun ke medium high (MH), dan seterusnya.
“Jadi urutannya E, H, MH, Medium, Low. Sedangkan yang sifatnya rutin memang tidak perlu dipersiapkan strateginya hanya materialnya,” ujarnya.
Setelah kategori rating-nya didapatkan, kemudian dibuat maintenance strategy-nya. Item yang kategori H, akan dibuatkan beberapa program. Pertama terkait dengan program preventifnya, termasuk prediksi dan monitoring. Kedua, persiapan material-material, yang sifatnya harus selalu ada, sehingga jika ada kerusakan bisa segera diperbaiki. Ketiga, membuat program long-term preventive. “Artinya kita menentukan apa saja yang harus dilakukan dalam jangka panjang, ini yang utama dalam kelompok H.”
Chudori menambahkan, terhadap equipment khusus, diperlakukan berbeda. Pertama, yang terkait safety. Dibuat Safety Criticality Equipment, ini banyak menyangkut masalah security system. Kemudian dibuat program yang penanganannya sama dengan kategori H, tetapi lebih di-tracking secara khusus, terutama kaitannya dengan minimum spec, level, part of maintenance. “Misalnya apa aja sih yang minimum ada, atau transmitter yang masuk? Item ini kita tracking. Kemudian, setiap ada pergerakan langsung diisikan kembali. Itu stretegi untuk kelompok Criticality High dan SCE.”
Chudori mengakui, program Maintenance Strategy yang dijalankan di Pertamina Unit Pengolahan IV Cilacap, bertujuan untuk mereduksi risiko seminimal mungkin di area kerja internal. Sedangkan risiko yang di luar perusahaan, dilakukan dengan menetapkan syarat dan ketentuan bagi mitra bisnis.
Persoalan lebih pelik justru terjadi di darat, di mana tumpahan minyak terjadi bukan karena kecelakaan, melainkan karena ulah manusia. Hal itu seperti dikemukakan oleh Manajemen Medco E&P, yang pipa minyaknya disabotase di Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir, Sumatera Selatan. Di waktu mendatang, persoalan ini harus ditangani secara komprehensif karena tidak hanya menyangkut kerugian perusahaan yang minyaknya dicuri, tetapi juga nyawa banyak orang di sekitar jaringan pipa minyak.
Baca lainnya: Bahan Kimia Berbahaya Beracun (B3)