Jakarta, Portonews – Hanya berselang sejam rencana pengumuman kenaikan premium dibatalkan, pemerintah bagai linglung. Padahal, kondisi keuangan Negara lagi terancam dengan melebarnya defisit transaksi berjalan akibat beban subsidi dari impor minyak.
Rabu (10/9/2018) sore, sekitar pukul 17.00 WIB, Menteri ESDM Ignasius Jonan di lobi hotel Sofitel Bali bilang bakal mengumumkan rencana kenaikan premium dari sebelumnya Rp6.550 per liter jadi Rp7.000 per liter. Kenaikan harga BBM premium ini bagai menggenapi kenaikan harga Pertamax dan lainnya yang nonsubsidi lewat pengumuman dari PT Pertamina (Persero) pada siang tadi pukul 11.00 WIB.
Jonan sempat menjelaskan alasan kenaikan premium dari keputusan Presiden Jokowi merupakan imbas kenaikan harga minyak dunia, sebagai pendorong kenaikan harga BBM.
“Terakhir dengan mempertimbangkan bahwa minyak brent US$ 85 per barel, dan kenaikan harga minyak dari Januari kira-kira hampir 30% kenaikannya, dan juga ICP (harga minyak nasional) kurang lebih 25% kenaikannya,” sebutnya.
Dirinya menambahkan, dengan kenaikan ICP maka yang harus ada penyesuaian. “Karena itu pemerintah mempertimbangkan sesuai arahan Presiden Jokowi premium hari ini naik pukul 18.00 paling cepat tergantung kesiapan Pertamina ke 2.500 SPBU.”
Namun sekitar sejam setelah penjelasan Jonan, rencana kenaikan Premium berubah total alias batal naik. Pemerintah memutuskan menunda kenaikan ini karena (katanya) menunggu kesiapan PT Pertamina.
Pengumuman batal naiknya harga BBM Premium juga langsung diutarakan Jonan. “Sesuai arahan bapak Presiden rencana kenaikan harga premium di Jamali menjadi Rp 7.000 dan di luar Jamali menjadi Rp 6.900, secepatnya pukul 18.00 hari ini, agar ditunda dan dibahas ulang sambil menunggu kesiapan PT Pertamina,” ujarnya dalam keterangan tertulisnya, Rabu (10/10/2018).
Pembatalan ini tampaknya bisa jadi akibat belum turunnya bara politik nasional. Sementara, di sisi lain menunda kenaikan Premium bisa pula menjadi biang keladi memburuknya perekonomian dalam negeri. Sebab, Indonesia adalah negara net importir migas sebagai penyumbang terbesar dalam defisit transaksi berjalan (current account).
Misalnya pada kuartal II-2018, transaksi berjalan mencatat defisit US$8,03 miliar. Dari jumlah tersebut, US$ 2,75 miliar atau 34,23% disumbang oleh defisit pada neraca migas lantaranbeban impornya kelewat tinggi, dan itu disebabkan oleh besarnya konsumsi akibat harga BBM murah.
Hal ini betdampak, rupiah kekurangan modal untuk menguat. Sebab devisa dari portofolio di pasar keuangan juga minim karena hot money terkonsentrasi ke Amerika Serikat akibat kenaikan suku bunga acuan. Hasilnya adalah rupiah melemah 10,9% di hadapan dolar AS sejak awal tahun. Tentu keputusan penundaan kenaikan premium ini makin dilematis. (Nap)