Jakarta, Portonews.com – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, melemahnya nilai tuker rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) hingga menyentuh angka Rp 14.700, tak lepas karena imbas dari krisis moneter yang dialami oleh Argentia.
Darmin menjelaskan, pergerakan nilai tukar rupiah langsung berbalik arah tepat setelah mendapat kejutan dari Negara Leonel Messi itu. Bahkan, tak hanya melemahkan rupiah, namun juga mayoritas mata uang di Asia Tenggara, seperti ringgit Malaysia dan baht Thailand, yang dianggap Darmin biasanya lebih kuat dari rupiah.
“Tapi kemarin mereka juga melemah mata uangnya. Semua negara di kawasan ini mengalami itu dan memang ada unsur dari surprise (kejutan) dari Argentina,” ucapnya di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jumat (31/8/2018).
Lebih lanjut ia bilang, kejutan dari Argentina langsung membuat pelaku pasar gelisah dan mata uang melemah karena depresiasi peso Argentina mencapai 40 peso dari dolar AS. Hal ini membuat bank sentral Argentina, The Central Bank of the Argentine Republic, mengucurkan cadangan devisa dalam jumlah tinggi untuk menstabilkan peso.
Bahkan, Presiden Argentina Mauricio Macri sampai mengajukan pinjaman US$50 miliar kepada Organisasi Dana Moneter Internasional (Intenational Monetary Fund/IMF). “Orang melihat seharusnya selamat dengan itu, tapi ternyata gerakan capital outflow masih besar, makanya dinaikkan tingkat bunga tidak tanggung-tanggung sampai 60 persen. Karena itu, pasar jittery (gelisah) melihatnya, ‘Wah tidak beres ini kalau begini’,” katanya.
Meski begitu, ia buru-buru mengklaim bahwa tekanan rupiah dari Argentina ini sejatinya tidak perlu dikhawatirkan secara berlebih. Bahkan, dampaknya diperkirakan tidak lebih patut dikhawatirkan bila dibandingkan dengan gejolak ekonomi Turki beberapa waktu lalu. “Dampaknya antara sama atau bahkan lebih sedikit (dari Turki), karena hubungan dagang Indonesia dengan Argentina dan Amerika Latin itu sedikit sekali,” ujarnya.
Hanya saja, ia tak menampik bahwa sentimen gejolak ekonomi negara berkembang, seperti Argentina dan Turki ini tentu lebih mudah mempengaruhi pasar uang dan obligasi. “Secara umum pasti ada dampaknya dulu ke sana, kemudian ada jalan keluar bisa di rem, baru kemudian tenang lagi secara global. Tapi, negara maju pun terkena, bukan hanya negara berkembang,” tuturnya.