Jakarta, Portonews – Program mekanisasi Kementerian Pertanian (Kementan) dinilai tidak hanya berperan nyata dalam meningkatkan produksi pangan, namun juga menjadi solusi dalam kelangkaan tenaga kerja pertanian.
Berdasarkan hasil analisis Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementan tahun 2015 menyebutkan bahwa jumlah terbanyak tenaga kerja pada sektor tanaman pangan adalah petani yang sudah berusia lebih kurang 60 tahun, kemudian disusul usia antara 40-45 tahun. Dampak nyata adanya kelangkaan dan usia lanjut tenaga petani untuk mendukung budi daya tanaman padi adalah rendahnya kapasitas kerja tanam padi per satuan luas lahan dan mahalnya biaya tanam.
“Masalah yang muncul pada kegiatan tanam dapat ditangani dengan menerapkan mesin tanam pindah bibit atau transplanter padi,” kata Direktur Alat dan Mesin Pertanian Andi Nur Alam Syah melalui keterangan tertulis di Jakarta, Senin.
Ia menjelaskan mesin transplanter menjadi solusi peningkatan kerja kegiatan tanam padi. Selain menghemat tenaga kerja, mesin juga mempercepat waktu penyelesaian kerja tanam per satuan luas lahan. Faktor tersebut akhirnya mampu menurunkan biaya produksi budi daya padi.
Dampak nyata penggunakan mesin tanam padi ini, lanjutnya, terlihat dari hasil pengamatan di tingkat petani. Pengguna mesin transplanter menunjukkan bahwa rata-rata kinerja satu mesin itu dengan satu orang operator dan dua asisten dapat menggantikan antara 15 hingga 27 hari orang kerja (HOK), sedangkan kemampuan kerja tanam mencapai 1-1,2 hektare per hari.
Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian Kementan telah menghasilkan mesin transplanter yang dinamai mesin “Transplanter Jarwo” 2:1. Secara umum rata-rata biaya tanam padi secara manual sekitar Rp1,72 per hektare, sedangkan dengan mesin transplanter 2:1 sekitar Rp1,1 per hektare.
Andi menambahkan keuntungan lain dari cara tanam dengan mesin transplanter munculnya usaha pembibitan padi karena mesin memerlukan bibit khusus, yaitu umur bibit harus kurang dari 18 hari dan bibit harus ditaruh pada kotak mesin sesuai ukuran mesinnya.
Lebih lanjut Andi Nur Alam mengungkapkan petani sudah profesional atau lihai menggunakan mesin transplanter. Ini terungkap dari hasil pemberdayaan yang dilakukan Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian, Badan Litbang Kementan.
Hasil pemberdayaan tersebut salah satunya dari Gapoktan Madiun Bersatu di Dusun Parit Madiun, Kecamatan Sei Kakap, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Petani sudah sangat menggantungkan kegiatan tanam pada mesin Transplanter Jarwo 2:1.
Biaya tanam padi secara manual dengan metode tanam Jarwo sebesar Rp1,8 juta per hektare dan dengan mesin Transplanter Jarwo hanya Rp1,4 juta per hektare. Produktivitas padi dengan metode tanam Jarwo meningkat rata-rata dari 3,3 ton per hektare menjadi sekitar 4,7 ton per hektare.
Fakta lainnya, sambung Andi Nur Alam, dirasakan juga oleh Kelompok Tani Suka Maju, Dusun Kalikebo, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Biaya tanam secara manual untuk cara Jarwo Rp2 juta per hektare.
“Sedangkan jika menggunakan transplanter sebesar Rp1,9 juta per hektare dengan rata-rata produktivitas padi dengan metode tanam Jajar Legowo mencapai 7,5 ton per hektare,” sambungnya. (Ant/Nap)