Perairan Teluk Penyu Cilacap, Jawa Tengah, adalah salah satu area yang relatif sering terjadi tumpahan minyak. Kelompok masyarakat yang paling merasakan akibat dari tumpahan minyak adalah nelayan. Mereka menggantungkan hidupnya dari menangkap ikan di laut. Jika laut tercemar minyak, maka ikan-ikan pun pergi.
Dalam beberapa bulan terakhir, Direktorat Teknik dan Lingkungan Migas, Ditjen Migas, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, bersama Pertamina Unit Pengolahan IV Cilacap berusaha memperbaiki mekanisme kerja dan meningkatkan standar keamanan dan keselamatan migas di area kerja Pertamina UP IV Cilacap.
Hasilnya, sekarang potensi tumpahan minyak sudah bisa diantisipasi lebih dini, dan ikan-ikan sudah kembali ke Cilacap.
Adzan Subuh baru sekitar 15 menit berlalu, tapi belasan orang sudah berjajar di atas jetty beton yang sekaligus berfungsi sebagai pemecah ombak pantai Teluk Penyu, Cilacap, Jawa Tengah. Dari kejauhan mereka membentuk siluet pagi yang indah. Joran-joran pancingan sesekali terangkat ke atas seperti antena. Pagi itu, pertengahan Agustus 2017, mereka begitu bersemangat memancing ikan-ikan yang dalam beberapa tahun terakhir pergi entah ke mana.
Sekitar 500 meter dari bibir pantai, terdengar deru mesin perahu motor nelayan yang hilir mudik menebar dan mengangkat jaring. Di pagi yang masih remang itu, mereka tidak mau kalah sama para pemancing dalam mengais rezeki dari lautan.
“Setelah beberapa kali terjadi tumpahan minyak di sini, kami tidak bisa mancing di sini. Tahun ini ikan-ikan sudah kembali,” kata Suparman, seorang pemancing dengan wajah berseri.
Mereka memancing hingga pukul tujuh pagi, karena harus mulai bekerja. Ada pegawai negeri, pedagang, buruh, semua beranjak meninggalkan jetty dengan tentengan ikannya masing-masing.
Sambil memegangi jorannya, Suparman bercerita tentang kejadian minyak tumpah di Teluk Penyu pada akhir September 2016. Kala itu sebuah tanker yang akan masuk ke Pelabuhan Pertamina Unit Pengolahan IV lambung kirinya menabrak karang. Serta merta minyak mentah berwarna hitam pekat mengalir deras dari kargo kapal. Perairan Teluk Penyu yang semula indah menjadi muram. Ikan-ikan pun pergi.
Memang, kata Suparman, dalam beberapa hari setelah kejadian minyak tumpah, suasana pantai menjadi riuh. Itu karena Pertamina Unit Pengolahan IV Cilacap mengajak tentara dan masyarakat membersihkan pantai dari tumpahan minyak. Tumpahan minyak yang diambil dari hamparan pasir pantai ditampung dalam ember, drum, atau apapun yang bisa diisi minyak.
Lalu minyak yang bercampur air dan pasir laut itu ditimbang dan ‘dibeli’ oleh Pertamina. Waktu itu, anak-anak dan perempuan pun banyak yang turun ke pantai menyerok minyak. Selain orang-orang yang mengambil minyak, banyak juga yang datang hanya sekadar untuk menonton.
Tapi keriuhan itu hanya berlangsung beberapa hari. Hari-hari berikutnya Teluk Penyu menjadi sepi, bau minyak mentah menyengat di sekitar pantai. Para nelayan dan pedagang makanan di sepanjang pantai hanya bisa memandang laut yang muram dengan tatapan kosong.
Padahal, persis setahun sebelumnya, tepatnya September 2015, permukaan laut Teluk Penyu diliputi tumpahan minyak yang berasal dari floating hose milik Pertamina yang bocor.
Hari mulai terik. Di perkampungan nelayan yang kumuh, di balik jajaran warung dan pasar, tampak beberapa orang berkulit legam telanjang dada sedang menjahit jaring ikan yang robek. Mereka adalah para nelayan yang hatinya tengah berbunga-bunga karena tahun ini musim ikan cukup melimpah.
“Jaring ini robek-robek karena tersangkut karang atau diterjang ikan besar. Setelah beberapa tahun ikan-ikan hilang dari Teluk Penyu, tahun ini mulai banyak,” kata Toyo yang matanya tertuju pada bagian jaring yang robek.
Lelaki 57 tahun ini bercerita, ketika terjadi tumpahan minyak pada September 2016, para nelayan Cilacap dikumpulkan oleh Pertamina yang akan memberikan santunan. Betapa kecewanya Tojo waktu itu. Nelayan Cilacap yang sebenarnya tidak lebih dari 2000 orang, ketika hendak diberi santunan jumlahnya membengkak jadi 5000 orang.
“Itu karena pengurus seenaknya mencatat orang yang bukan nelayan jadi nelayan dadakan. Masak anak masih sekolah di SMA ikut dapat santunan? Saya waktu itu cuma dapat Rp300 ribu. Cukup buat apa?” keluh Toyo yang pernah melaut hingga Korea dan Afrika ini.
Tumpahan minyak bukan kejadian sekali itu saja di Teluk Penyu. Tercatat pada tahun 2015 saja tiga kali terjadi tumpahan minyak, yaitu tanggal 21 Januari, 1 Juni, dan tanggal 27 September. Kemudian terjadi lagi pada tanggal 27 September 2016. Derita para nelayan Cilacap akibat tumpahan minyak tidak sampai di situ.
Apabila biasanya mereka melaut cukup di perairan sekitar Cilacap, setelah terjadi tumpahan minyak mereka harus berlayar sangat jauh, hingga mendekati perbatasan dengan Australia. Berhari-hari di tengah lautan tentu saja membutuhkan biaya besar, untuk bahan bakar dan bahan makanan.
Toyo, ayah dari empat anak yang semuanya sudah merantau ke Jakarta ini mengatakan, untuk sekali berlayar di perairan yang dekat ia mengeluarkan biaya sebesar Rp300 ribu, maka kalau harus melaut ke tempat yang jauh, ia harus merogoh sampai Rp700 ribu. Terkadang modal itu didapat dari meminjam ke koperasi.
Tapi bagi Toyo yang tak sempat mengecap pendidikan di sekolah, biarlah semua itu berlalu, yang penting ia harus segera menambal jaringnya untuk dipakai melaut nanti malam. “Lumayan, sekarang sekali melaut bisa dapat sampai satu juta. Musim ikan kali ini cukup melimpah meski hanya berlangsung selama dua bulan dalam setahun,” ujarnya.
Kisah pilu lainnya diungkapkan oleh Untung, seorang pegawai negeri pemilik kolam pemancingan. Ia mengatakan, kalau ada tumpahan minyak, kolam miliknya relatif aman karena jaraknya cukup jauh dari pantai, sekitar 4 kilometer. Minyak tumpah pada bulan September 2016 terjadi ketika sudah masuk musim hujan. Tumpahan minyak yang masuk lewat muara sungai ketika air pasang, terbawa kembali ke laut oleh air hujan. Sehingga tidak sampai meresap ke kolam dan tambak.
“Ketika minyak tumpah pada musim kemarau (1 Juni 2015), waktu air pasang naik tumpahan minyak masuk. Tapi pas musim hujan datang, minyak itu keluar lagi. Tahu-tahu banyak ikan yang mati. Sungai jadi tercemar, minyak juga masuk ke sungai-sungai kecil seperti Kali Asat atau Kali Anget,” kata Untung.
Dampak dari tumpahan minyak juga sampai area persawahan yang jaraknya sekitar tiga kilometer dari laut. Menurut Untung, tanaman padi di sekitar pesisir menjadi kering, hasil panennya pun tidak bagus.
“Kalau ada pencemaran, Pertamina suka memberi kompensasi untuk nelayan. Tapi dapatnya catek, sedikit. Yang dapat gede malah paguyuban-paguyuban yang didirikan mendadak,” Untung menggerutu.
Pemilik tambak yang lain, Sriyono mengatakan, seharusnya Pertamina memberi bantuan benih ikan atau udang untuk warga yang tambaknya terdampak tumpahan minyak. Hingga kini, Pertamina belum pernah menyalurkan dana CSR-nya untuk para petani tambak di sekitarnya.
“Selama ini yang memberi bantuan berupa benih udang hanya Menteri Kelautan, Bu Susi. Di daerah Serandil dan pesisir banyak tambak udang. Alangkah baiknya jika Pertamina mengaktifkan tambak-tambak udang dengan menyediakan benih udang yang murah. Kita inginnya Pertamina memperhatikan kami,” kata Sriyono yang mantan Kepala Sipir LP Nusakambangan ini.