Jakarta, Portonews.com – Bank Investasi global, Morgan Stanley menilai, risiko krisis di Turki dan penguatan dolar Amerika Serikat (AS) masih membayangi Indonesia. Menurutnya, Indonesia memang menjadi salah satu negara emerging market yang paling rentan oleh risiko tersebut.
Salah satunya ditinjau dari pergerakan rupiah, di mana pelemahan rupiah akhir-akhir ini cukup dalam, bahkan menembus Rp 14.600/US$. Menurut riset Morgan Stanley, faktor fundamental juga memiliki andil terhadap risiko tersebut, yakni defisit neraca transaksi berjalan kuartal II-2018 yang mencapai 3% dari produk domestik bruto (PDB).
“Indonesia, India dan Filipina lebih terekspose oleh risiko pendanaan di Asia mengingat posisi defisit neraca transaksi berjalan mereka,” tutur Ekonom Morgan Stanley Dei Tan dan Zac Su dalam laporan riset yang dirilis pada Senin (20/8/2018).
Data Bank Indonesia (BI) menyebutkan defisit per Juni ini merupakan yang tertinggi sejak kuartal II-2014. Kondisi ini, tulis Morgan Stanley, turut andil dalam pelemahan kurs rupiah.
Menurut Morgan Stanley, misalokasi sumber daya juga menjadi faktor penekan defisit tersebut. Demikian juga dengan kebijakan longgar, meningkatnya utang, hingga tingkat inflasi yang juga menjadi aspek variabel dari sisi fundamental yang menekan rupiah.
Kenaikan suku bunga acuan oleh BI membawa efek positif dalam jangka pendek, tetapi belum tentu meredam gejolak utamadari pasar eksternal. Krisis mata uang di Turki yang menjalar ke negara-negara berkembang, termasuk rupiah, tak cukup dihadang dengan kenaikan bunga acuan.
Morgan Stanley menegaskan perlunya Indonesia meningkatkan ekspor khususnya non-komoditas dalam jangka panjang. Selain mendukung penguatan rupiah, strategi ini juga bakal menciptakan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berkelanjutan.