Oleh : Dr. Jannus TH Siahaan
Keberhasilan Inalum menerbitkan dan menjual laris global bond bukanlah keberhasilan Inalum sendiri. Pertama, jika bukan untuk pembiayaan divestasi 51 persen saham Freeport, mana mungkin Global Bond tersebut bisa laris. Investor melihat prospek bisnis Freeport, yang sama sekali tak ikut dibangun oleh Inalum. Jadi lebih besar peran “prospek bisnis Freeport dan nama besar Freeport ketimbang Inalum, yang berpengaruh terhadap penerbitan dan penjualan Global Bond tersebut
Kedua, divestasi saham Freeport menggunakan dana Global Bond, yang notabene nama dan bentuk lain dari utang, juga bukan hal yang prestatif. Itu hal yang biasa saja. Bahkan Inalum dalam hal ini, hanya menjadi “pengutang” yang kemudian dananya dipakai untuk membeli saham Freeport. Yield dan dana tersebut tentu harus dibayar. Bahkan sebagai sebuah BUMN, setelah ada aturan Holding BUMN, berhutang bagi BUMN bukan lagi menjadi sebuah proses bisnis yang harus mendapat persetujuan DPR, sebagai wakil rakyat. Jadi terkesan Inalum memang sedang memainkan peran “bebas” nya setelah ada Holding BUMN tambang.
Ketiga, penjelasan Inalum kepada publik kurang detail. Selama ini publik hanya mengetahui bahwa pemerintah via Inalum berhasil mendivestasi 51 persen saham Freeport, tanpa ada penjelasan detail yang masif seperti apa prosesnya. Bahkan mungkin akan banyak muncul sinisme di ruang publik jika mengetahui bahwa divestasi berhasil dilakukan karena Inalum berhasil berhutang untuk membiayainya.
Keempat, divestasi yang diawali dengan right issue 40 persen saham Freeport, kemudian inbreng Hak Partisipasi Rio Tinto ke dalam saham, adalah proses yang gagap dijelaskan kepada publik, sehingga tak banyak muncul kritisisme dalam proses ini. Saya bahkan merasa kemahalan harganya karena Inalum justru menunggu Freeport untuk right issue dulu. Hak Partisipasi Rio Tinto diinbreng jadi saham dulu, kemudian baru ditransaksikan. Sehingga konversinya menjadi lebih mahal.
Semestinya Inalum membeli Hak Partisipasi Rio Tinto dulu sebelum Freeport Right Issue, maka harga yang harus dibayar akan jauh lebib murah. Nah baru setelah Hak Partisipasi dikantongi, Freeprot menerbitkan saham baru, dan kemudian Hak Partisipasi yang sudah jadi milik Inalum diinbreng jadi saham. Dengan proses itu, Inalum bisa lebih efisien dalam mengeluarkan dana, boleh jadi bisa jauh dibawah 53 T yang harus dibayarkan ke Rio Tinto.
Cuma proses semacam ini tak banyak dibuka ke publik, sehingga tak banyak pula yang melihatnya secara detail. Apalagi, divestasi tersebut hanya satu point dari empat point besar perjanjian Indonesia dan Freeport. Inalum sama sekali belum boleh berbesar hati, sebagai BUMN, berhutang ke lembaga pembiayaan adalah aksi bermakna ganda, yakni berhutang dana dan berhutang moral kepada publik. Oleh karena itu, justru Inalum harus lebih hati-hati, bukan malah berbesar kepala.(*)
Penulis adalah pengamat pertambangan