Jakarta, Portonews — Tanggal 1 Mei adalah ‘Hari Raya Kaum Buruh’ sedunia. Di berbagai negara, hari buruh diisi dengan ritual yang sama, melakukan demo di pusat-pusat kota besar. Di mata kaum buruh, Dewi Keadilan tidak pernah mampir ke ruang-ruang pabrik. Karenanya, berbagai tuntutan dikumandangkan oleh para buruh di seluruh dunia. Kepada siapa lagi tuntutan-tuntutan itu disampaikan kalau bukan kepada para pengusaha dan pemerintah.
Persoalan mendefinisikan keadilan di antara buruh, pengusaha, dan pemerintah adalah masalah klasik yang tak kunjung terpecahkan sejak sistem perburuhan itu sendiri ada berabad-abad lalu.
Ironisnya, di sisi lain kemajuan satu bangsa atau negara, pada dasarnya merupakan hasil ‘kerja sama’ antara buruh dan pengusaha yang diatur dan difasilitasi oleh pemerintah. Di negara manapun kontributor terbesar dari pertumbuhan ekonomi adalah sektor industri, yang merupakan kolaborasi antara buruh dengan pemodal.
Lalu, siapa musuh sebenarnya kaum buruh? Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, para pengusaha dihadapkan pada layanan birokrasi yang ‘mahal’, jaminan keamanan berusaha yang rumit bahkan konyol, dan peraturan yang banyak.
Untukmenutupi hi cost economy tersebut, para pengusaha menekan pos pengeluaran lain. Salah satu pos pengeluaran dalam struktur permodalan yang bisa ditekan adalah labour cost atau upah buruh. Jadi yang sebenarnya musuh kaum buruh, kaum pemodal, dan rakyat secara keseluruhan adalah sikap korup oknum-oknum penyelenggara negara.
Di Jakarta dan kota-kota besar lain di Indonesia, perayaan Hari Buruh berlangsung tertib dan aman. Berbagai organisasi buruh melakukan rally di jalan-jalan protokol dengan membawa banner bertuliskan berbagai tuntutan.
Hanyasaja sejak tahun 2013, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan tanggal 1 Mei sebagai hari libur nasional, akibatnya demo-demo yang dilakukan pada Hari Buruh menjadi kehilangan artikulasi.
Seperti dikemukakan oleh Wawan, seorang koordinator aksi dari sebuah pabrik di kawasan Balaraja, Tangerang, ia bersama rombongannya hendak melakukan orasi terbuka di depan Kantor Kementerian Ketenagakerjaan, di Jl. Jend. Gatot Subroto, Jakarta. Tapi kemudian di batalkan, karena di kantor itu tidak ada siapa-siapa kecuali satpam yang berjaga.
“Di satu sisi Hari Buruh dijadikan hari ibur nasional itu apresiasi dari pemerintah. Tapi di sisi lain, kegiatan aksi penyaluran aspirasi yang dilakukan oleh buruh pada hari itu, menjadi hampa. Bagus kalau didengar wartawan dan diberitakan, kalau tidak? Ya cuma seneng-seneng saja konvoi keliling kota,” ujarnya.
Secara umum, pada Hari Buruh 1 Mei 2018, kaum buruh menyuarakan tiga tuntutan, pertama, meminta pemerintah menurunkan harga dan tarif kebutuhan pokok. Kedua, menolak upah murah, meminta pemerintah mencabut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78/2015 tentang Pengupahan. Ketiga, menolak tenaga kerja asing (TKA) ‘tingkat lapangan’ masuk Indonesia.
Selain ketiga tuntutan itu, outsourcing yang terdapat dalam Undang-Undang Pengupahan No.13 Tahun 2003, juga masih banyak dikemukakan sebagai persoalan yang dinilai merugikan para buruh.
Dengan sistem outsourcing, setiap buruh mempunyai dua majikan: pertama yang memberinya upah, kedua yang memotongnya. Sayangnya, pada perayaan Hari Buruh 1 Mei 2018 di Jakarta ada sebagian buruh yang ditunggangi oleh kelompok politik tertentu, dengan mendukung seseorang untuk maju dalam Pilpres 2019 mendatang. (Yus/Nol)