Jakarta, PORTONEWS – Anggapan bahwa penerapan skema gross split dalam production sharing contract (PSC) untuk kontrak pengelolaan hulu migas baru mengurangi minat investor melakukan kegiatan eksplorasi, terbantahkan dengan meningkatnya nilai investasi di hulu migas pada kwartal pertama 2018 yang lebih tinggi dibanding periode yang sama tahun 2017.
Data dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menunjukkan bahwa nilai investasi hulu migas pada Q1 2018 mencapai US$2,4 miliar, lebih tinggi dibanding Q1 2017 yang US$1,9 miliar.
Data tersebut relevan dengan apa yang dikatakan oleh Managing Director Chevron IndoAsia Business Unit, Chuck Taylor, bahwa penerapan skema gross split akan meningkatkan daya saing industri hulu migas Indonesia.
“Lalu mana yang lebih baik, skema cost recovery atau gross split? Bagi kami sebagai investor, belanja barang dan jasa dalam kegiatan eksplorasi dan produksi tergantung modul, apa kebutuhannya. Cost recovery atau gross split itu persoalan lain. Tapi saya katakan bahwa dengan gross split tentu perusahaan akan berusaha agar lebih efisien. Itu berarti sektor hulu migas Indonesia menjadi lebih kompetitif,” kata Taylor kepada PORTONEWS pada event Indonesia Petroleum Association (IPA) ke 42 di Jakarta.
Sementara Kepala SKK Migas, Amien Sunaryadi mengatakan, kecuali Lapangan Minyak Ajibarang, Indramayu, Jawa Barat, pada tahun 1967, semua penemuan cadangan minyak dalam jumlah besar, dilakukan oleh perusahaan minyak asing.
“Karena itu, perusahaan-perusahaan minyak Indonesia harus lebih berani melakukan kegiatan eksplorasi, baik di darat maupun di laut, agar bisa menemukan sumber minyak baru dengan jumlah cadangan yang besar,” kata Amien.
Amien menambahkan, untuk mendukung kegiatan eksplorasi oleh perusahaan nasional, harus ada dukungan dari sektor keuangan. Sedangkan dukungan dari pemerintah berupa kemudahan perizinan, memudahkan pembebasan lahan, meminimalkan pungutan, dan memfasilitasi penyelesaian aspek sosial, jika terjadi. (Yus, Nol)