Jakarta, Portonews.com – Badan Pusat Statistik (BPS) kini mendapat sorotan publik setelah mengeluarkan data tentang kemiskinan di Indonesia. Data mengukur kemiskinan yang digunakan BPS menjadikan posisi Indonesia bukan lagi termasuk negara anggota G20. Apakah Indonesia masuk kelompok negara miskin atau kelompok negara berkembang? Dunia tengah mempertanyakan hal tersebut.
Pertanyaan itu memang sangat wajar terkait data kemiskinan yang dikeluarkan dan indikator pengukuran yang digunakan BPS. Mengapa? Karena Badan Pusat Statistik (BPS) negara ini menggunakan indikator extreme poverty dalam mengukur tingkat kemiskinan di Indonesia, yakni 1,9 dolar purchasing power parity (PPP). Indikator yang digunakan oleh BPS itu merupakan indikator mengukur kemiskinan untuk kelompok negara paling miskin.
Kondisi itu jelas menohok pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Sebab, faktanya Indonesia adalah negara anggota G20. Indonesia adalah satu di antara 20 negara dengan PDB terbesar di dunia. Indonesia dalam organisasi ini duduk setara dengan negara-negara kaya seperti Amerika Serikat dan negara kaya di Eropa.
Pertanyaannya, mengapa BPS menggunakan indikator negara paling miskin dalam mengukur tingkat kemiskinan? Padahal negara anggota G20 yang lain menggunakan indokator yang lebih tinggi. India dan Brazil menggunakan indikator kemiskinan 3,20 dolar PPP. Bahkan Afrika Selatan menggunakan Indikator 5.50 dolar PPP. Bahkan Malaysia yang bukan anggota H20 menggunakan indikator 5.50 dolar PPP. Sementara Amerika Serikat menggukan indikator 21.7 dolar PPP.
Bank Dunia sendiri merekomendasikan standar kemiskinan yang baru. Untuk negara berkembang Bank Dunia merekomendasikan standar kemiskinan 3,20 dolar PPP. Untuk negara berpendapatan menengah 5.50 dolar PPP dan untuk negara berpendapatan tinggi 21.7 dolar PPP.
Kebijakan BPS yang menggunakan indikator extreme poverty atau indikator negara paling miskin dalam mengukur tingkat kemiskinan menjadi perdebatan sengit. Ada pro dan kontra dalam penggunaan indikator, termasuk informasi bahwa ada pihak-pihak tertentu yang sengaja mengorder ke BPS karena mereka butuh memainkan data itu untuk kepentingan Pilpres 2019. (berbagai sumber/chk)