Naiknya harga batubara otomatis meningkatkan biaya produksi PLN.
Indonesia adalah negeri yang dicintai Tuhan. DiciptakanNya alam yang indah, tanah yang subur, kaya akan minyak, gas, emas, perak, dan berbagai jenis mineral yang bernilai ekonomi tinggi, termasuk batubara.
Batubara yang juga sering disebut emas hitam, di Indonesia menjadi komoditas perdagangan yang kontribusinya cukup signifikan, sekitar 4% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Karena bernilai ekonomi tinggi, hampir semua taipan Indonesia memiliki tambang batubara.
Booming batubara di Indonesia terjadi sejak akhir tahun 1980an. Batubara menjadi komoditas primadona, baik di pasar domestik maupun pasar internasional. Hanya saja, sejak tahun 2012 hiruk pikuk pasar batubara internasional terhenti, seiring dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi negara konsumen batubara terbesar di dunia, China.
Sejak itu, grafik harga batubara menjadi seperti seluncuran roller coaster. Tahun 2013, harga batubara sempat menyentuh angka terendah, antara US$25 – US$30 per ton.
Industri di negeri Tirai Bambu itu sangat rakus akan batubara. Konsumsi batubara di China tidak kurang dari 3 miliar ton per tahun. Padahal, China juga dikenal sebagai negara penghasil batubara terbesar di dunia. Tidak heran kalau China menjadi penentu harga batubara di pasar internasional. Maka, ketika pertumbuhan ekonomi China menurun hingga di bawah 8%, tepatnya 7,8%.
Terlebih ketika para analis memprediksi pertumbuhan ekonomi China di tahun-tahun berikutnya akan terus menurun, harga batubara pun mendahului, turun bahkan anjlok.
Meskipun penambangan batubara relatif lebih mudah dibanding minyak dan gas, namun dengan harga yang sangat rendah, sulit bagi perusahaan batubara untuk mendapatkan marjin. Kalaupun masih ada, sangat tipis.
Untuk bisa bertahan, perusahaan-perusahaan tambang batubara di Kalimantan dan Sumatera Selatan meningkatkan tingkat produksinya. Dalam kondisi seperti itu, perusahaan-perusahaan batubara berpaling ke pasar domestik. Hanya pasar domestik yang masih bisa diandalkan terutama PLN, pabrik baja, dan pabrik semen.
Kebijakan Xi Jinping
Rendahnya harga batubara bukan hanya memukul industri batubara di luar China. Di China pun hampir 80% perusahaan batubara tutup. Mereka merugi dan mem-PHK jutaan tenaga kerjanya. Bahkan banyak di antaranya yang kesulitan membayar pesangon.
Jadi, turunnya harga batubara di pasar dunia telah menimbulkan ancaman serius bagi industri batubara China, bahkan ancaman sosial karena tingkat pengangguran meningkat drastis.
Menyikapi hal itu, Presiden Xi Jinping melakukan perubahan kebijakan di akhir kwartal ketiga 2016 dengan menurunkan produksi batubara China antara 10%-15%, dengan cara mengurangi jam kerja di perusahaan-perusahaan penghasil batubara.
Pengurangan itu terbukti efektif mengerek harga batubara di pasar dunia. Dengan asumsi produksi batubara China sebesar tiga miliar ton, ada pengurangan 300-450 juta ton. Sementara demand di akhir tahun biasanya tinggi.
Efeknya harga jadi melonjak. Jika di awal tahun 2016 harga sempat di bawah US$50 per ton, maka di akhir tahun sudah mencapai US$110 per ton.
“Jadi harga bergerak pada tahun 2016 dari titik terendah ke titik tertinggi. Itu dilakukan karena China sangat berkepentingan menyelamatkan sektor batubaranya,” kata Hendra Sinadia, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia.
Akan tetapi, China juga tidak bisa membiarkan harga batubara terlalu tinggi, karena akan memberatkan sektor industrinya sebagai konsumen. Maka secara bertahap China mengatur tingkat produksinya.
Selain itu, tambah Hendra, naiknya harga batubara juga dipicu oleh faktor eksternal yang lain, salah satunya karena curah hujan yang tinggi, terutama Januari sampai Mei di Australia dan Indonesia. Jadi, ketika demand sedang tinggi produksi berkurang.
“Juga, pada April lalu di Australia ada badai besar, badai Debbie. Itu mengganggu pasokan batubara dari Australia ke negara-negara lain. Jadi dorongan naiknya harga batubara makin kuat. Ancaman terjadinya Perang Korea juga secara tidak langsung berpengaruh terhadap harga batubara. Faktor-faktor itu yang membuat harga batubara masih bertengger tinggi.”
Baca juga: PLN Menjerit