Pemerintah kian serius menciptakan praktik bisnis yang bersih, adil, dan transparan. Hal tersebut dilakukan untuk mendorong iklim investasi dan daya saing Indonesia guna meningkatkan perekonomian Indonesia di masa mendatang.
Salah satu upaya yang kali ini dikedepankan pemerintah untuk menyukseskan hal tersebut adalah melalui penertiban impor berisiko tinggi. Untuk itu, Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) bersinergi dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kantor Staf Kepresidenan Indonesia (KSP), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kejaksaan Agung, serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menggelar rapat koordinasi program penertiban impor berisiko tinggi.
Rapat koordinasi yang dilangsungkan di Kantor Pusat DJBC itu dilatar-belakangi oleh keinginan untuk meningkatkan praktik perdagangan yang baik sehingga terwujud persaingan usaha yang sehat, bersih, dan adil. Impor berisiko tinggi memiliki peluang penyelewengan yang lebih besar, hal ini dapat mengakibatkan beredarnya barang ilegal. Peredaran barang ilegal mengakibatkan persaingan usaha yang tidak sehat dan penerimaan negara yang tidak optimal.
Menteri Keuangan, Sri Mulayani Indrawati menjabarkan bahwa Rapat Koordinasi ini akan membahas strategi penanganan impor berisiko tinggi bersama kementerian-lembaga terkait yang turut diundang dalam acara ini. Sri Mulyani mengharapkan dengan ditertibkannya impor berisiko tinggi, volume peredaran barang ilegal dapat turun sehingga dapat terjadi supply gap yang dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri sehingga penerimaan negara bisa optimal dan akurat serta mendorong perekonomian dalam negeri.
Program penertiban impor berisiko tinggi merupakan salah satu dari serangkaian program penguatan reformasi yang telah dijalankan DJBC sejak Desember 2016. Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Heru Pambudi, menegaskan bahwa upaya penertiban impor berisiko tinggi merupakan langkah nyata DJBC dalam menjawab tantangan dari masyarakat yang ingin perdagangan ilegal diberantas.
Ia menambahkan bahwa penertiban ini merupakan salah satu upaya menjawab ekspektasi masyarakat guna menjadikan DJBC sebagai institusi yang kredibel di mata masyarakat sehingga dapat meningkatkan kepercayaan publik.
Lebih lanjut Heru menjabarkan strategi yang dilakukan DJBC dalam menjalankan program tersebut. Dalam jangka pendek, DJBC akan menjalankan kegiatan taktis operasional melalui pengawasan kinerja internal, kerja sama dengan aparat penegak hukum dan kementerian-lembaga, serta sinergi asosiasi. Untuk jangka panjang, DJBC akan membangun sistem kepatuhan pengguna jasa melalui revitalisasi manajemen risiko operasional.
Sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Heru Pambudi, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengharapkan agar DJBC dapat meningkatkan kerja sama dan koordinasi internal, dengan kementerian-lembaga terkait dan aparat penegak hukum.
Hal ini penting guna menyasar perbaikan terkait kepatuhan pengguna jasa, percepatan dan penyederhanaan perizinan impor, serta pemberantasan penyelundupan, pelangggaran kepabeanan dan praktik perdagangan ilegal lainnya.
Kementerian Keuangan telah merancang Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Impor Berisiko Tinggi sebagai salah satu bentuk pelaksanaan kegiatan taktis operasional. Satgas yang diketuai oleh Menteri Keuangan melibatkan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kepolisian, Kejaksaan Agung, Panglima TNI, Kementerian Perdagangan, Kepala KSP, dan Kepala PPATK.
Oleh karena itu, sinergi antar instansi anggota Satgas menjadi vital dalam keberhasilan program penertiban. Sri Mulyani menyadari bahwa beban berat untuk melakukan penertiban akan terasa lebih ringan dengan dukungan dari berbagai pihak.
Kehadiran tujuh lembaga tinggi negara beserta asosiasi pengguna jasa merupakan perwujudan komitmen dari semua pihak dalam mendukung program penertiban impor berisiko tinggi. Sri Mulyani mengapresiasi upaya yang telah dilakukan DJBC dalam melakukan sinergi dengan kementerian-lembaga dan asosiasi pengguna jasa.
Tak hanya itu, Sri Mulyani juga memberikan apresiasi terhadap dukungan positif yang diberikan oleh kementerian-lembaga terkait serta respons positif yang diberikan oleh asosiasi. Ia berharap agar dukungan tidak berhenti dan terus berlanjut mengingat progam ini merupakan program berkelanjutan.
Mengenai dibentuknya Satgas Penertiban Impor Berisiko Tinggi tersebut, Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo mengatakan bahwa ini adalah langkah yang sangat strategis dalam meningkatkan penerimaan negara, baik dari pajak maupun cukai.
“Seperti yang disampaikan Ibu Menteri tadi very high risk importer ini hanya merugikan anggaran penerimaan sebesar 10%. Tapi yang kecil ini kalau tidak benar-benar kita manage akan menghancurkan perekonomian Indonesia. Industri kita akan hancur. Ini sangat penting, maka kalau kita bertindak bersama-sama, saya yakin kita akan menyelesaikan masalah yang dampaknya sangat besar terhadap keuangan negara,” kata Jenderal Gatot.
Hal senada dikemukakan oleh Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian yang menyatakan dukungannya atas semua kajian masalah, baik dari sistem maupun dari oknum. Untuk masalah oknum, kata Kapolri, nanti akan melibatkan beberapa stakeholder.

Dari sistem, baik dari ekspor maupun impor apa kekurangannya dapat diperbaiki sehingga tidak menimbulkan persaingan tidak sehat di kalangan importir. “Untuk jajaran Polri sendiri kita libatkan Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) dari internal kita. Tentu akan memberikan pengawasan yang ketat, dan ada reward and punishment untuk petugas di lapangan. Tidak ada lagi yang main mata, jika ada akan saya copot. Insya Allah kalau di lapangan berjalan dengan baik mohon dibantu, bisa diperhatikan kesejahteraan anggota Polri dan juga TNI. Sehingga kami pun bisa melakukan bersih-bersih di jajaran kepolisian”, ia menambahkan.
Kepala Staf Kepresidenan, Teten Masduki mengemukakan, pemerintah sudah melakukan rencana yang besar dalam pembangunan infrastruktur. Termasuk juga perbaikan pelayanan birokrasi dan lain sebagainya. Harus diakui bahwa memang praktik penyelundupan masih ada. Selain sistem yang masih buruk, juga karena adanya oknum yang bermain.
“Ini yang harus segera dihentikan, kita harus perbaiki pendapatan negara dari pendapatan bea cukai selain pajak kita harus maksimalkan. Reformasi perpajakan dan bea cukai ini kita lihat sebagai pembenahan tata kelola pemerintahan yang lebih baik. Jadi sekarang kita sedang giat-giatnya membangun Indonesia menjadi tujuan investasi yang menarik,” kata Teten.
Jadi, lanjutnya, “Soal kepastian hukum, soal politik, pelayanan yang lebih simple, sederhana, itu menjadi tujuan kita. Staf Kepresidenan diminta oleh Presiden untuk memastikan upaya reformasi ini berjalan dengan baik”.
Sri Mulyani menambahkan, yang menjadi kesulitan, pertama dari sisi arus barang yang keluar-masuk Indonesia, seperti yang tadi disampaikan Menko Perekonomian, banyak sekali kementerian-lembaga ikut di dalam menetapkan kebijakan, seperti lartas (larangan terbatas). Oleh karena itu, Menko Perekonomian bertekad untuk mengurangi jumlah lartas. Yang saat ini 49% akan diturunkan sesuai dengan negara lain yakni menjadi sekitar 17% dari seluruh klasifikasi barang yang masuk ke Indonesia, itu dari jenis kebijakan.
Dari sisi koordinasi, very high risk importer (VHRI) itu sebenarnya hanya 4,7%, namun dari indeks prestasi dan risiko termasuk merusak tatanan ekonomi. Seperti yang disampaikan, akan menciptakan ketidakadilan usaha dengan mereka yang formal. Jumlahnya kecil, namun penetrasinya cukup dalam dan rumit.
“Selama ini juga mencari excuse dari beberapa oknum Bea Cukai, berkolusi bersama-sama dengan VHRI itu, tapi kalau saya minta Ditjen Bea Cukai menghentikan, alasannya ini tidak bisa tertib karena oknum-oknum itu harus menghidupi lembaga yang lain. Dan dalam hal ini excuse dipakai bahwa kami tidak bisa menghentikan sendiri kalau tidak didukung oleh kementerian-lembaga yang lain seperti TNI, Polri dan Kejaksaan,” papar Menkeu.
Untuk itu, lanjut Menteri Keuangan, sebagai pucuk pimpinan harus konsisten, dari jajaran saya bersih dan tidak lagi memiliki excuse atau alasan, karena lembaga-lembaga yang berkompeten perlu bekerja sama dengan pimpinan dari lembaga masing-masing.
Jadi tidak perlu membentuk lembaga baru, tapi sinyal untuk para aparat Bea Cukai, selama ini Menkeu sudah menyampaikan perlunya kerja sama, karena dari dua instansi ini saja banyak sekali lubang-lubang yang tidak ditutup.
“Pak Kapolri secara spesifik menyatakan penentuan jalur merah, kuning dan hijau dijadikan alasan untuk menciptakan biaya ekonomi tinggi. Bahkan di dalam menentukan siapa masuk ke pelabuhan mana dengan rate berapa, disebutkan oleh Panglima dan Kapolri, kalau masuk Semarang, Surabaya dan Jakarta beda-beda untuk barang yang sama. Ini juga sudah menciptakan lubang untuk dimanfaatkan. Kalau kita menertibkan di dalam tentu kita akan bisa lakukan”, ia melanjutkan.
Indonesia sebagai negara yang sangat besar, selama ini diakui Menkeu, pemerintah tidak fokus memperhatikan pelabuhan-pelabuhan yang merupakan denyut ekonomi Indonesia. Pelabuhan Tanjung Priok, Tanjung Emas, Tanjung Perak, Belawan, juga perairan timur dari Sumatera merupakan titik-titik yang sangat penting karena volume masuk dan keluar barang terkonsentrasi di lokasi tersebut.
Konkretnya, tegas Menkeu, pimpinan lembaga-lembaga yang berkompeten dengan pelabuhan sudah bekerja, tapi dengan terbentuknya Satgas VHRI, ini adalah sinyal untuk instansi masing-masing bahwa tidak bisa mencari alasan untuk tidak bekerja dengan baik.
“Polri membekingi penyelundup, ada oknum TNI yang bermain, atau kalaupun sudah ditangkap nanti dilepas oleh Jaksa. Jadi semua itu dijadikan alasan oleh anak buah kita untuk menjadi excuse. Total penerimaan dana kita sebelumnya Rp33 triliun, total penerimaan negara kita Rp1.750 triliun, total penerimaan perpajakan Rp1.480 triliun. Jadi dilihat dari magnitude-nya bahkan dari sisi penerimaan itu kecil tapi menimbulkan persepsi bahwa sistem di Indonesia itu semuanya compromise. Dan ini menciptakan usaha dari para pelaku ekonomi kita selalu mencari oknum.”
Menteri Keuangan menambahkan, “Ini yang menyebabkan pentingnya sosialisasi pembentukan Satgas VHRI kepada seluruh jajaran bahwa kita betul-betul serius.”
“Secara khusus saya menyampaikan terima kasih kepada Panglima TNI, Kapolri, dan Jaksa Agung. Ketiga instansi ini yang selama ini dijadikan excuse oleh anak buah saya. Karena itulah kehadiran beliau bertiga di sini sangat berarti bagi kami. Dengan adanya deklarasi ini, konkretnya mulai detik ini saya akan mengatakan kalau ada Dirjen yang ditanya gak bisa jawab, saya akan copot kalau perlu nanti saya akan taruh di lapangan kemudian disorakin rame-rame,” ancam Menkeu.
Artinya, kalau para aparat di lapangan mengeluh bahwa sistem belum memungkinkan, sebagai pimpinan harus bertanggung jawab untuk memperbaiki sistem. Kalau mereka mengatakan policy-nya tidak baik, ya pimpinannya harus perbaiki, sehingga tidak ada lagi alasan bagi mereka untuk tidak melakukan pekerjaan dan tugasnya. Menkeu memahami oknum yang jelek itu barangkali sangat sedikit, tapi dia merusak seluruh institusi, dan yang paling penting, dia merusak negara kita, merusak image seluruh bangsa kita.