Jakarta, Portonews.com – Semakin perkasanya nilai tukar dollar Amerika Serikat (AS) membuat rupiah semakin lemah. Kondisi seperti ini diperkirakan bakal terus terjadi hingga semester kedua ini telah membebani pengusaha.
Lemahnya nilai tukar rupiah sangat dirasakan oleh pengusaha. Terutama pengusaha yang mengandalkan bahan bakunya dari impor. Dengan biaya bahan baku yang semakin mahal, otomatis para pengusaha juga bakal kesulitan meningkatkan harga jual karena daya beli masyarakat yang ikut melemah.
Salah satu industri yang terkena imbas pelemahan rupiah adalah makanan dan minuman. Pelaku industri ini banyak menggantungkan diri dari bahan baku impor, seperti gandum untuk bahan baku industri roti dan mie ini semakin menjerit karena rupiah terus terhimpit.
Bahkan, industri tahu dan tempe juga banyak mengandalkan impor kedelai dari Amerika Serikat (AS). Tidak hanya itu saja, sejumlah bahan kebutuhan pangan lain juga banyak yang didapatkan dari impor. Seperti, daging sapi dan bawang putih.
Menurut Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman, mayoritas bahan pangan Indonesia berasal dari impor. “Gandum jelas impor, karena kita tidak bisa produksi. Produk susu 80 persen impor, garam 70 persen impor, gula 80% impor dan bahan perasa dan pewarna 60 persen-70 persen impor,” katanya seperti dikutip kontan.co.id, Senin (9/7/2018).
Tak ayal, pengusaha makanan dan minuman khawatir efek pelemahan rupiah dibandingkan ancaman perang dagang. Menurut Adhi, acuan rupiah yang pengusaha gunakan adalah pada Rp 13.600 per dollar AS. Nilai itu sebenarnya sudah di atas asumsi rupiah pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2018 yang hanya Rp 13.400 per dollar AS.
Walau acuan rupiah yang digunakan pengusaha sudah diturunkan, namun kenyataannya nilai tukar rupiah lebih lemah lagi. Posisi rupiah hingga saat ini terus berada dikisaran Rp 14.400 per dollar AS. Dengan demikian, rupiah sudah terdepresiasi hampir 8 persen dari tutup tahun 2017.
“Bagi industri, bahan baku impor ini cukup berat, kalau harga pokok produksi (HPP) kita perkiraan 40 persen rata-rata, berarti kalau ada depresiasi rupiah 8 persen, maka ada kenaikan 3 persen HPP,” terang Adhi. Ditambah kenaikan harga minyak dunia, HPP semakin besar. Dengan kondisi itu, HPP industri makanan dan minuman bisa naik 3 persen – 6 persen.
Untuk mengimbangi kenaikan HPP, pengusaha bisa meningkatkan harga jual ke konsumen, agar keuntungan tidak tergerus. Namun hal itu susah dilaksanakan saat ini. Pasalnya, kondisi perekonomian tengah sulit. Daya beli konsumen belum pulih. Kenaikan harga jual akan menekan daya beli konsumen, sehingga ujung-ujungnya penjualan akan semakin tertekan.