Untuk menarik investor, beberapa lembaga pemerintah yang terlibat dengan bidang migas, menanda-tangani nota kesepahaman untuk memudahkan proses impor dan pemberian fasilitas pembebasan fiskal.
Direktorat Jenderal Bea Cukai – Kementerian Keuangan, Direktorat Jenderal Migas – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu (SKK ) Migas, dan Pengelola Portal Indonesia Single Window (PPINSW) menandatangani MoU dengan tujuan integrasi sistem informasi pemberian fasilitas fiskal atas impor barang operasi kegiatan hulu migas.
Hal itu dimaksudkan agar mempermudah perusahaan-perusahaan KKKS dalam mengajukan permohonan fasilitas pembebasan fiskal atas impor barang operasi dengan cara sekali submit dalam mengajukan permohonan dengan menggunakan single submission.
Biasanya pengajuan dilakukan melalui portal INSW mulai dari pengajuan kebutuhan barang impor, rencana impor barang, sampai surat keputusan surat keputusan pembebasan bea masuk dan pajak dalam rangka impor.
“Sinergi ini adalah upaya pemerintah dalam mendukung industri dalam negeri dengan cara menyederhanakan fasilitas untuk kegiatan hulu migas,” kata Dirjen Migas, Ego Syahrial.
Kondisi saat ini dianggap masih belum efisien untuk dapat meningkatkan pertumbuhan kegiatan usaha hulu migas di Indonesia. Hal itu menjadi salah satu alasan keengganan perusahaan-perusahaan migas berinvestasi di Indonesia. Padahal, pemerintah telah menawarkan sejumlah wilayah kerja migas.
Sementara Kepala SKK Migas, Amien Sunaryadi mengatakan, nota kesepahaman itu ditandatangani untuk mendukung pertumbuhan industri hulu migas Indonesia. Tahun 2017 ini hulu migas berkontribusi pada penerimaan APBN lebih dari US$12 miliar.
Dirjen Bea Cukai, Heru Pambudi mengatakan, dalam mengedepankan fungsi sebagai trade facilitator dan industrial assistance, Bea Cukai telah banyak memberikan berbagai kemudahan berupa fasilitas fiskal untuk mendorong pertumbuhan industri dalam negeri.
“Salah satu sektor industri yang berperan penting sebagai pendorong kegiatan ekonomi di Indonesia adalah sektor usaha hulu migas. Guna semakin meningkatkan gairah investasi di sektor tersebut, Bea Cukai bersinergi dengan beberapa lembaga pemerintah di sektor hulu migas untuk melakukan kerjasama pengembangan integrasi sistem informasi dalam rangka pemberian fasilitas fiskal atas impor barang operasi keperluan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) untuk kegiatan usaha hulu migas,” kata Heru.
Heru menerangkan, sejauh ini sistem informasi antar kementerian dan lembaga yang masih berjalan sendiri-sendiri dan belum terintegrasi serta penginputan data yang berulang membuat proses permohonan pemberian fasilitas fiskal menjadi panjang.
KKKS harus mengajukan permohonan kepada tiga lembaga, dengan total transaksi mencapai enam kali, untuk mendapatkan Surat Keputusan Masterlist dengan total waktu pelayanan mencapai 42 hari kerja.
Hal ini tentu mengakibatkan rantai perizinan menjadi panjang dan data yang dihasilkan tidak dapat langsung dimanfaatkan oleh kementerian dan lembaga yang berkepentingan.
Harapannya kondisi seperti ini dapat diubah dengan adanya integrasi sistem informasi antar kementerian dan lembaga, sehingga KKKS hanya perlu melakukan sekali submit dalam mengajukan permohonan dengan menggunakan system single submission (SSM) melalui Portal INSW mulai dari pengajuan Rencana Kebutuhan Barang Impor (RKBI), Rencana Impor Barang (RIB), sampai dengan Surat Keputusan Fasilitas Pembebasan Bea Masuk (BM) dan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI).
Pengembangan integrasi sistem informasi ini dilakukan untuk menciptakan tata kelola impor barang operasi untuk kegiatan usaha hulu migas yang akuntabel, handal, selaras, dan transparan.
Sinergi ini diharapkan dapat mempermudah KKKS dalam mengajukan permohonan fasilitas pembebasan fiskal atas impor barang operasi untuk kegiatan usaha hulu migas, sehingga diharapkan KKKS tertarik untuk berinvestasi melakukan eksplorasi dan eksploitasi migas di Indonesia.
Sebelumnya Bea Cukai dan KKKS telah menerapkan sistem otomasi yang terhubung melalui sistem aplikasi SOFAST namun belum dengan Ditjen Migas, SKK Migas, dan PP INSW.
Menurut Heru, setelah dilakukan integrasi sistem antara keempat instansi ini, maka pelayanan terhadap pemberian fasilitas fiskal atas impor barang operasi keperluan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) untuk kegiatan usaha hulu migas diklaim akan lebih cepat.
“Jika sebelumnya transaksi dilakukan enam kali, maka setelah sistem terintegrasi akan hanya menjadi dua kali atau lebih cepat 66%. Sementara untuk total waktu yang dibutuhkan dalam pengurusan fasilitas ini hanya akan menjadi 24 hari kerja atau kurang lebih 42.8% lebih cepat. Selain itu manfaat yang dapat diambil dari integrasi sistem ini adalah tersedianya data tunggal bagi pemerintah dan pelaku usaha,” jelas Heru.
Heru menambahkan bahwa berdasarkan data Bea Cukai, pemberian fasilitas migas yang telah dikeluarkan oleh Bea Cukai di tahun 2015 sebanyak 1.392 surat keputusan dan di tahun 2016 sebanyak 1.221 surat keputusan dengan nilai impor yang meningkat dari US$ 2,3 miliar, menjadi US$3,9 miliar.
Selain integrasi sistem informasi yang dilakukan bersama Ditjen Migas, SKK Migas, dan PP INSW, Bea Cukai telah mengambil langkah-langkah untuk mendukung industri hulu migas dalam rangka menarik investor KKKS melakukan eksplorasi dan eksploitasi di Indonesia, yaitu, pertama, menyelaraskan Peraturan Menteri Keuangan dengan peraturan yang dikeluarkan SKK Migas dan Ditjen Migas.
Kedua, menyederhanakan perizinan permohonan fasilitas pembebasan bea masuk dengan melimpahkan wewenang pelayanan permohonan fasilitas tersebut ke Kantor Wilayah Bea Cukai. Ketiga, memanfaatkan Pusat Logistik Berikat untuk ekspor barang eks sewa milik KKKS yang sudah selesai digunakan oleh KKKS tersebut namun masih akan digunakan kemudian.
Ia menambahkan bahwa sinergi antar instansi ini merupakan upaya nyata pemerintah dalam mendukung pertumbuhan industri dalam negeri dengan cara menyederhanakan perizinan fasilitas untuk kegiatan usaha hulu migas.
“Integrasi sistem informasi antar kementerian dan lembaga ini merupakan langkah awal yang akan dilanjutkan dengan integrasi sistem informasi dengan Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, dan Direktorat Jenderal Anggaran untuk kegiatan usaha hulu migas, sehingga pemanfaatan data untuk kepentingan cost recovery, penilaian aset Barang Milik Negara (BMN), serta penghitungan PPh Migas dan PNBP migas dapat lebih akurat,” kata Heru.