Dalam sebuah obrolan selepas sesi wawancara, Peter Frans Gontha berbicara tentang kepariwisataan Indonesia yang masih stagnan. Semua orang tahu, indikator paling signifikan dari industri pariwisata adalah jumlah wisatawan. Berapa banyak kunjungan turis, baik asing maupun domestik, yang datang ke satu destinasi wisata.
Peter F. Gontha yang saat ini menjadi Duta Besar Indonesia untuk Polandia itu merasa malu, karena jumlah wisatawan yang datang ke Indonesia masih kalah jauh dari Singapura, negara liliput di Semenanjung Malaya itu. “Mereka cuma punya Cap Go Meh sekali setahun, kok bisa jumlah wisatawan yang datang ke sana lebih dari 20 juta orang?”
Sebetulnya Peter hanya sedang beretorika, dia tahu persis kenapa dunia kepariwisataan Indonesia seperti sulit menghapus ketertinggalannya. Jika disandingkan dengan Singapura, Indonesia sebagai suatu negara kepulauan besar, dengan keaneka-ragaman budayanya hanya mampu mengumpulkan 12 juta wisatawan asing dalam setahun.
Di samping keliru dalam mempromosikan kepariwisataan nasional oleh para stakeholder yang terlibat, menurut Peter, aspek kebersihan, kesadaran para pelaku wisata, serta fasilitas yang belum menunjang, seperti memukul mundur segala kelebihan yang dimiliki. Singapura, tidak memiliki Sumber Daya Alam yang melimpah, jumlah tenaga kerjanya terbatas, destinasi yang tidak sebanyak Indonesia. Namun, keadaan itu justru yang membuat mereka serius menggenjot devisa dari sektor pariwisata.
Pertengahan tahun lalu, Singapura meluncurkan slogan baru untuk pariwisata, ‘Passion Made Possible’, ‘Semangat Membuat Anda Bisa’. Singapura mengajak wisatawan untuk lebih dalam lagi mengeksplorasi Negeri Singa. Eksplorasi lebih dalam? Apa yang mesti diekplorasi lagi dari negara yang luas wilayahnya hanya 719,1 kilometer persegi? Itu tidak lebih luas dari Kabupaten Bogor yang memiliki cakupan wilayah 2.664 kilometer persegi.
Tentu saja banyak, tapi yang harus dipelajari adalah optimisme mereka dalam menggiatkan sektor pariwisata. Coba saja simak halaman pertama di website visitsingapore.com. Di situ tertera sebuah kalimat: “Jangan berhenti mencari apa yang bisa Anda lakukan saat berkunjung ke Singapura. Biarkan Passion Ambassadors kami memperlihatkan apa yang Anda bisa dapatkan saat di sini. Karena kami bukan hanya sekadar destinasi. Kami mewujudkan apa yang menjadi impian Anda.”
Menggugah rasa penasaran kita bukan? Lalu sila kunjungi website resmi pariwisata milik pemerintah Indonesia, ‘Pesona Indonesia Travel’, di sana yang ditampilkan hanya tujuan wisata, dan bermacam baju adat. Secara kasat kita bisa menemukan pembeda. Singapura, punya rasa percaya diri, keseriusan, dan kehangatan yang tampak dipoles sedemikian rupa agar mampu memantik minat wisatawan ke negeri yang baru berdiri di tahun 1960an itu.
Merdeka tanggal 9 Agustus 1965, Lee Kuan Yew, Perdana Menteri Singapura saat itu meretas jalan kemakmuran dengan langkah getir. Dibuang dari Federasi Malaya, dan kerusuhan antar etnis mewarnai titimangsa awal kemerdekaan negerinya. Tidak kurang dari 65% warga Singapura waktu itu hidup dalam kemiskinan. Banyak sarana infrastruktur hancur karena tentara Jepang membombardir kota pelabuhan jajahan Inggris itu pada Perang Dunia Kedua.
“Saat kami merdeka, Singapura merupakan kota yang cukup bobrok. Banyak kerusakan sehabis perang, namun kami akhirnya mulai membangun kembali,” cerita Lee Kuan Yew.
Lain dulu, lain sekarang. Tahun 2011 Citibank mempublikasikan prediksi, dalam lima tahun ke depan, (berarti tahun 2016) pendapatan per kapita per tahun penduduk Singapura akan mencapai US$137.100, negara paling makmur di planet bumi. Bandingkan dengan Indonesia yang pendapatan per kapita penduduknya yang hanya US$3.570,29 pada tahun 2017.
Walau dipimpin oleh seorang yang bertangan besi, pada kenyataannya sejarah mencatat, Singapura menjadi negara terkaya, baik di tingkat regional, maupun dunia. Dengan segala pencapaian yang didapat mereka mampu meyakinkan calon wisatawan untuk mengunjungi negaranya. Tidak akan ada orang yang mau datang ke Singapura jika landskap-nya masih berlatar tahun 1960an, kumuh, kotor, tidak beradab, dan sering terjadi konflik horizontal antar kelompok, seperti Indonesia saat ini.
Seperti yang tertera dalam diksi di laman website-nya, Singapura, negeri ini senantiasa berubah, menemukan, dan membayangkan. Warganya begitu bersemangat menciptakan kemungkinan-kemungkinan baru. Pecinta makanan, penjelajah, kolektor, pencari ketegangan, pembentuk budaya, pegiat sosial, hingga penjudi, semua bertemu di sini dan menciptakan pengalaman yang baru setiap hari.
Lalu bagaimana meninjau sektor pariwisata Singapura dari tinjauan angka? Sepanjang tahun 2017 jumlah wisatawan Indonesia yang berkunjung ke Singapura sebanyak 3 juta orang, tumbuh 6% di banding tahun 2016. Sebagai mitra terdekat, China masih menjadi target promosi kepariwisataan Singapura, disusul Indonesia dan Malaysia.
Namun, seperti yang dikatakan Director of South East Asia, Singapore Tourism Board, Edward Koh, Indonesia dan Singapura memiliki hubungan yang sangat dekat. Asia Tenggara adalah daerah paling penting dan Indonesia adalah target yang utama. Total wisatawan internasional ke Singapura tumbuh sebesar 7,7% menjadi 16,4 juta pada tahun 2016.
Penerimaan devisa dari sektor pariwisata meningkat sebesar 13,9% menjadi US$18,8 miliar pada tahun 2017. Nilai pendapatan dari sektor pariwisata ini diklaim tertinggi sepanjang sejarah kepariwisataan Singapura. Para wisatawan asing banyak membelanjakan uangnya untuk wisata kuliner, belanja pakaian, dan transportasi. Singapura telah mereguk manisnya uang dari bisnis pariwisata.
Semua berkat reformasi yang digalakkan di semua aspek kehidupan masyarakat yang dikontrol sepenuhnya oleh negara. Terkesan totaliter memang, tapi kalau ujung-ujungnya untuk kebaikan hidup masyarakatnya, kenapa tidak? Dimulai dengan buang sampah pada tempatnya, dan menghilangkan sikap vandalistik di ruang publik, terutama di tempat-tempat wisata, niscaya kepariwisataan Indonesia juga akan menampakan pesonanya.