“… Tampak ombak kejar-mengejar menuju karang
… menampar tubuh pencari ikan
… semilir angin berhembus bawa dendang unggas laut
… seperti restui jala nelayan”
Musikus Iwan Fals bercerita tentang hubungan saling melengkapi antara lingkungan laut yang indah dengan para nelayan yang tabah melalui lagu ‘Tak Biru Lagi Lautku’. Pergilah ke sebuah pantai, lalu nyanyikan sebaris lagu yang dimulai dengan ritme syahdu itu, sepintas imaji tentang panorama indah akan hadir.
Boleh jadi itu terlalu subjektif. Namun, sepertinya kita harus segera bersepakat pada sebuah kesimpulan: pantai-pantai di Indonesia kadung indah untuk dinikmati.
Indonesia memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada, sepanjang 54.716 km rentangnya. Membentang dari Sabang di ufuk barat sampai Merauke di cakrawala timur. Indonesia menyimpan pantai-pantai yang indah di setiap lekuk hamparan pulau-pulau yang tersebar seantero negeri.
Soal anugerah atau pemberian Tuhan, bolehlah kita sedikit berbangga. Namun soal laku masyarakat dalam merawat anugerah itu, kita mesti berpikir ulang. Di negeri ini, keindahan pantai sering kali disia-siakan. Bahkan pantai-pantai di Pulau Dewata, Bali yang sudah menarik triliunan rupiah devisa dari sektor pariwisata saja, tidak jarang dibiarkan kotor penuh sampah. Apalagi pantai-pantai di daerah lain?
Jika ingin dapat menyaksikan matahari beranjak terbit, menampakkan wajah jingganya yang paling ramah, datanglah ke pantai Teluk Penyu di Cilacap, Jawa Tengah, sekira pukul 05.30 pagi. Siapkan kamera, arahkan ke ufuk timur. Lalu, nantikan matahari terbit dengan bayangan indah di pasir pantai yang basah.
Bukan itu saja, siluet para pemancing yang berdiri berjajar di atas beton pemecah ombak yang menjulur ke laut, adalah komposisi sempurna khas pantai.
Ketika mentari beranjak naik, dan hari mulai terang, maka suasana hati akan berubah menjadi pilu. Bagaimana tidak? Di balik keremangan yang indah ternyata pantai itu menyembunyikan berbagai jenis sampah. Sangat kotor. Potret alam yang begitu indah berubah menjadi kemalangan lingkungan akibat buruk laku manusia.
Pikiran waras siapa pun akan bertanya-tanya, bagaimana mungkin pantai seindah Teluk Penyu dibiarkan menjadi tempat sampah yang sangat panjang? Tapi, sekali lagi, di Indonesia problem sampah bukan hanya ada di Teluk Penyu.
Kalau mau sarkastis, Indonesia adalah salah satu negara besar di mana sampah tidak memiliki alur yang pasti. Bisa berakhir di tempat pembakaran, dibuang di sembarang tempat, di sungai, atau di laut. Hanya sedikit sampah organik yang diolah menjadi pupuk dan sampah inorganik yang didaur ulang.
Jadi, problem sampah di tempat-tempat wisata yang dikelola oleh masyarakat dan pemerintah daerah di Indonesia sudah menjadi persoalan yang banal, dianggap biasa. Kesadaran para pengelola untuk menaikkan nilai jual satu tempat wisata, sama buruknya dengan upaya mengelola sampah di tempat itu.
Sampah plastik di Pantai Teluk Penyu menjelaskan bahwa Indonesia adalah negara penyumbang terbesar kedua di dunia setelah China, sampah plastik ke laut. Tragedi lingkungan hidup di Teluk Penyu berlanjut.
Tidak hanya tercemar oleh sampah yang melimpah, pantai yang menghadap ke Samudera Hindia ini juga tidak jarang dikotori oleh tumpahan minyak yang bocor dari pipa atau tumpah dari kapal. Di lepas pantai Teluk Penyu selalu terlihat puluhan tanker minyak yang antre masuk ke Pertamina Refinery Unit IV Cilacap.
Selain kerusakan lingkungan, denyut nadi perekonomian warga juga ikut melemah, karena tumpahan minyak akan menghentikan aktivitas nelayan, dan mengganggu area pertanian, tambak ikan dan udang yang berada di radius hingga empat kilometer dari bibir pantai.
Kalaupun nelayan-nelayan tetap pergi melaut, jika ingin mendapat tangkapan ikan harus berlayar jauh ke dekat perbatasan dengan Australia. Hal ini pasti menambah pengeluaran menjadi lebih besar, karena kebutuhan bahan bakar dan logistik jadi lebih banyak. Padahal, pantai Teluk Penyu di Kabupaten Cilacap adalah salah satu objek wisata andalan Jawa Tengah.
Kendati masih sebagai tujuan wisata berkelas domestik, Teluk Penyu menyimpan potensi ekonomi yang menjanjikan. Cilacap yang berada di sudut barat daya Jawa Tengah, bisa dijangkau dari empat kota besar (Jakarta, Bandung, Semarang, dan Yogyakarta) melalui jalan raya, kereta api, dan pesawat udara.
Selain tempat wisata pantai Teluk Penyu, di Cilacap juga terdapat Benteng Pendem peninggalan Belanda. Waktu yang tepat untuk mengunjungi Teluk Penyu, Cilacap, adalah pada periode bulan Mei hingga Agustus, di mana suhu udara di kota ini cukup sejuk, berkisar antara 24 sampai 26 derajat Celcius. Unik memang bagi satu kota pantai.
Fenomena agrometeorologis itu terjadi karena tiupan angin dingin dari Kutub Selatan yang melintasi Samudra Hindia. Teluk Penyu juga diapit oleh dua Pelabuhan Perikanan Samudera, di barat ada Pelabuhan Tanjung Intan yang berseberangan dengan Pulau Nusakambangan. Di timur, Pelabuhan Pagaden yang berbatasan dengan Kabupaten Kebumen.
Gelombang laut yang cukup besar, kapal-kapal tanker yang hilir-mudik keluar-masuk, gagahnya kilang-kilang Pertamina Refinery Unit IV, Pulau Nusakambangan, dan barisan perahu nelayan tradisional menambah daya tarik pantai ini.
Tidak percaya? Sewa saja sebuah perahu untuk menyusuri pesisir pantai, menikmati sensasi deburan ombak selama sekitar satu jam. Selain itu, secara lebih lekat bisa menikmati eksotisme Pulau Nusakambangan, kawasan hutan mangrove, Pantai Pasir Putih, Karang Pandan, Benteng Pendem juga Karang Bolong.
Perlu komitmen dan upaya yang kuat untuk mengenyahkan sampah dari Teluk Penyu, dan merawatnya agar tetap bersih. Jangan sampai, bayangan akan pantai yang indah seperti digambarkan dalam lagu Iwan Fals itu terusik dan berakhir sebagai dongeng pengantar tidur. Seperti kisah tentang kehidupan pantai yang asri menjadi kandas dan berakhir muram, terjauh dari Ridho Illahi.
Tak biru lagi lautku …
Tal riuh lagi camarku …
Tak rapat lagi jalamu …
Tak kokoh lagi karangku …
Tak buas lagi ombakmu …
Tak elok lagi daun kelapaku …
Tak senyum lagi nelayanku …
Tak senyum lagi nelayanku …