Untuk mengembangkan Batam di masa datang, Ketua Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (BP) Batam Lukita Tuwo mengemukakan, BP Batam harus menyesuaikan arah perkembangan industri yang cocok, berorientasi ekspor, dan bernilai ekonomi tinggi.
Dengan mempertimbangkan potensi yang ada, maka Batam harus melihat sumber pertumbuhan yang baru. Jenis-jenis industri unggulan untuk dikembangkan di Batam adalah logistik, pariwisata, digital economy, dan ekonomi kreatif.
“Saya kira ini akan menjadi perhatian kita dengan tetap memberikan perhatian terhadap industri unggulan yang dulu menjadi penggerak ekonomi Batam yang utama, yaitu shipyard, elektronika, dan migas.”
Batam yang diproyeksikan sebagai pusat perdagangan dan industri nasional, tidak bisa lagi mengandalkan ekonomi yang berbasis pada industri dan ekspor komoditas. Batam harus menghasilkan produk-produk ekspor berdaya saing tinggi, bernilai tambah tinggi, dan padat teknologi.
Sementara dalam skala nasional, nilai ekspor yang dibukukan pada tahun 2017 yang sekitar US$177,8 miliar, 65% dihasilkan dari komoditas, dan hanya 35% yang merupakan produk manufaktur. Lebih spesifik lagi, hanya 9,5% ekspor Indonesia yang berupa produk permesinan yang bernilai tambah tinggi dan padat teknologi. Sementara beberapa negara di Asia Tenggara, porsi ekspor produk permesinannya rata-rata sudah di atas 40%.
Mengenai peralihan status Batam dari FTZ menjadi KEK, Walikota Batam Muhammad Rudi mengatakan, sesuai konsep KEK, Pemko Batam akan menyerahkan semua kewenangannya dalam perizinan terkait investasi di Batam. Hal itu sudah merupakan komitmen Pemko Batam agar target pertumbuhan ekonomi Batam dalam dua tahun mendatang (2018 dan 2019) bisa mencapai 7% seperti pada tahun 2013.
“Meskipun nanti status Batam sudah menjadi KEK, fasilitas-fasilitas yang diberikan pemerintah dalam status FTZ tetap bisa dinikmati oleh para investor dan pelaku dunia usaha,” kata Rudi.
Mengenai pencapaian Batam yang jauh dari target yang ditetapkan pada awal dekade 1970an, Ketua Umum Kadin Batam yang mewakili dunia usaha, Jadi Rajagukguk mempunyai analogi. Batam itu ibarat seorang anak yang dimanja dengan makanan yang bergizi, pakaian, dan fasilitas mewah. Akan tetapi setelah sekian lama, anak itu tumbuhnya jauh lebih lambat.
“Pertanyaannya adalah makanan yang bergizi tadi kenapa tidak mendorong pertumbuhannya jadi maksimal? Apakah salah makanannya, orang-tuanya, atau salah anaknya? Begitu juga Batam, dengan segala fasilitas yang diberikan oleh Pemerintah Pusat, kok pertumbuhannya tidak seperti yang diharapkan? Kalau saya mengartikan, ini salah orangtuanya, Pemerintah Pusat. Semua kebijakan dan fasilitas yang diberikan kepada Batam hanya sedikit-sedikit. Itu tidak membuat Batam tumbuh pesat,” kata Jadi.
Menurut Jadi, semua kebijakan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat, baik itu Kawasan Berikat, Free Trade Zone, lalu nanti Kawasan Ekonomi Khusus, tidak akan membawa hasil yang optimal bagi Batam, jika dilakukan setengah-setengah. Untuk perdagangan bebas misalnya, di Batam tidak ada pelabuhan yang memadai, yang bisa disinggahi kapal-kapal besar seperti di Singapura atau Tanjung Priok. Proyek Pelabuhan Tanjung Sauh sudah tiga kali ditenderkan dalam sepuluh tahun, sampai sekarang belum dibangun.
“Padahal, kalau bicara tentang Batam, tidak ada kota, yang se-strategis Batam. Kota ini memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif. Mohon maaf, sebenarnya tanpa fasilitas macam-macam pun Batam bisa tumbuh lebih baik,” tegas Jadi.
Dalam empat tahun terakhir sejak 2014, pertumbuhan ekonomi Kepulauan Riau, termasuk Batam, terus menurun, dari 7,21% pada tahun 2013, menjadi 6,60% pada 2014, 6,01% di tahun 2015, dan 5,03% di tahun 2016, dan hanya 2,01% pada tahun 2017.
Kepala Wilayah Bank Indonesia Batam, Gusti Raizal Eka Putra menjelaskan, penurunan pertumbuhan ekonomi itu disebabkan beberapa faktor. Pertama, menurunnya kinerja beberapa sektor bisnis, yaitu perdagangan, konstruksi, pertambangan, dan industri.
Kedua, rendahnya realisasi belanja pemerintah melalui APBD Kepri. Ketiga, penurunan pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Keempat, penurunan pertumbuhan ekspor yang signifikan pada periode 2013 – 2014 dan periode 2015 – 2017. Bahkan pada tahun 2017 pertumbuhan ekspor Kepri, yang 60% dihasilkan dari Batam, turun hingga -8,75%.
“Tapi di tengah fenomena penurunan beberapa indikator ekonomi tersebut, pada periode 2015 – 2017 terjadi kenaikan pertumbuhan investasi di Kepulauan Riau, khususnya di Batam,” kata Gusti.
Investasi di Kepri tumbuh 3,25% atau sekitar Rp8,62 triliun pada tahun 2015, kemudian naik 2,44% setara Rp7,6 triliun pada 2016, dan 3,13% atau Rp15,17 triliun pada tahun 2017.
Dari total investasi baru di Kepri sebesar Rp35,54 triliun selama periode 2014 – 2017, nilai Penanaman Modal Asing (PMA) mencapai Rp33 triliun atau sekitar 92,9%, dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) sebesar Rp2,5 triliun.
Investasi asing masuk ke sektor-sektor industri logam dasar, barang logam, mesin dan elektronika, pertambangan, serta hotel dan restoran. Sedangkan investasi domestik seluruhnya masuk ke sektor properti, alat angkut, transportasi, dan jasa.
Selain yang dikemukakan oleh Gusti, Francis E. Hutchinson dari lembaga riset Siwage Dharma Negara & Francis E. Hutchinson mengatakan, penurunan pertumbuhan ekonomi di Kepri terjadi karena adanya trend perbaikan layanan dan fasilitas investasi di Sumatera dan Jawa. Bahkan, sejak tahun 2012 ada pengalihan investasi dari Kepri, khususnya Batam, ke Banten, Jawa Barat, dan Jawa Timur.
Di Batam sendiri, pada tahun 2010 perusahaan-perusahaan melakukan pengurangan jumlah tenaga kerja dalam jumlah yang signifikan. Tenaga kerja itu beralih pekerjaan dari sektor manufaktur ke jasa. Selain itu, daya saing industri galangan dan perbaikan kapal di Batam juga mengalami penurunan.
“Faktor-faktor yang menentukan kinerja ekonomi di Kepri adalah tingkat upah, partisipasi pelaku bisnis asing, impor, serta banyaknya perusahaan yang masa perizinan dan hak guna lahan-nya akan berakhir. Akan tetapi, industri elektronika dan produk-produk kelistrikan masih memiliki keunggulan komparatif,” ujar Francis.
Senada dengan Francis, Ketua Tim Pelaksana Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi, Ilham Habibie mengemukakan, tahun 2015 total investasi Singapura di Batam sudah mengalahkan Hong Kong dan Jepang, dengan total nilai hampir US$125 miliar.
“Bahkan per tahun 2016, investasi Singapura di Batam sudah lebih dari setengah total investasi asing. Dari 588 perusahaan asing yang sekarang beroperasi di Batam, 410 perusahaan di antaranya berasal dari Singapura,” kata Ilham.
Di masa datang, jenis-jenis industri yang potensial untuk dikembangkan di Batam akan mengarah pada industri berbasis brainware, yaitu industri digital dan industri kreatif. Saat ini, produk-produk industri kreatif sudah menyumbang 14,6% dari total ekspor nasional, dengan porsi tenaga kerja 14% dari total tenaga kerja di Indonesia.
Sedangkan di sektor industri digital, Indonesia menunjukkan perkembangan yang sangat meyakinkan. Per Desember 2017, tingkat penetrasi internet sudah mencapai 4,68% terhadap penduduk dewasa (143,6 juta jiwa). Jumlah start up di Indonesia, per Februari 2018, sebanyak 1.716 perusahaan, nomor 4 di dunia.
Angka tersebut jauh di atas Singapura yang hanya 511 perusahaan dan Malaysia 146 perusahaan. Selain itu, total nilai investasi perusahaan-perusahaan start up sudah lebih dari US$3 miliar atau lebih dari Rp40 triliun pada akhir 2017.
Ketua Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (BP) Batam Lukita Dinarsyah Tuwo menyatakan, sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat, BP Batam akan mengeluarkan kebijakan untuk mempermudah pengurusan izin-izin investasi demi kenyamanan berusaha di Batam.
Untuk itu, dilakukan perubahan paradigma, yang sebelumnya ‘memberikan izin’ menjadi ‘melayani’ yang dituangkan dalam Perpres No.91 Tahun 2017 tentang Percepatan Pelaksanaan Berusaha. Implementasinya, semua dilakukan secara digital yang meliputi, Pengawalan Penyelesaian Perizinan (end to end), menerapkan sistem checklist untuk kegiatan berusaha di Kawasan Ekonomi Khusus, Free Trade Zone.
Ditambah Kawasan Industri, dan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional tanpa menunggu kelengkapan perizinan, data sharing yaitu menghilangkan pengulangan rekomendasi atau perizinan, Reformasi Perizinan Peraturan Berusaha (lebih cepat, sederhana, murah, dan pasti, serta menerapkan sistem terintegrasi atau online single submission.
“Dengan penerapan paradigma baru dalam melayani investor, Batam akan memiliki daya saing investasi yang lebih tinggi, sehingga mampu menghasilkan produk-produk yang berdaya saing tinggi di pasar dan nilai tambah yang lebih tinggi. Sehingga, target pertumbuhan ekonomi sebesar 7% di Kepri, khususnya Batam, lebih mudah dicapai,” pungkas Lukita.