Batam yang pada awalnya disiapkan untuk menyamai Singapura, sampai sekarang masih terseok-seok. Kini Pemerintah menyiapkan sejumlah kebijakan agar Batam bisa berlari lebih cepat.
Pada awal dekade 1970an, karena lokasinya yang sangat strategis, Batam dijadikan sebagai basis logistik dan operasional untuk industri minyak dan gas bumi oleh Pertamina. Selain sebagai basis logistik Pertamina, Pulau Batam juga sebagai wilayah eksplorasi minyak lepas pantai. Waktu itu Pulau Batam hanya dihuni oleh sekitar enam ribu penduduk.
Kemudian, ketika Indonesia mengawali era industri, Pulau Batam diproyeksikan sebagai pusat industri nasional, dengan terbitnya Keputusan Presiden Nomor 65 Tahun 1970 pada tanggal 19 Oktober 1970 tentang Proyek Pengembangan Pulau Batam yang diketuai oleh Ibnu Sutowo, Direktur Utama Pertamina waktu itu.
Untuk mengembangkan Pulau Batam sebagai ujung tombak industri dan perdagangan Indonesia, diterbitkan Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1971 tentang Penunjukan Dan Pemanfaatan Beberapa Wilayah Usaha Bonded Warehouse di Pulau Batam
Keppres Nomor 41 Tahun 1973 tentang penetapan status Pulau Batam sebagai Kawasan Gudang Berikat, serta pembentukan Otorita Pengembang Daerah Industri Pulau Batam atau Otorita Batam. Hasilnya, Batam berkembang dengan sangat pesat karena memiliki daya saing investasi yang cukup kuat.
Dengan segala sumber daya yang tersedia, Batam menjadi tujuan investasi alternatif selain Singapura yang juga belum lama dikembangkan oleh Lee Kuan Yew. Mimpi besar menjadikan Batam sebagai pusat industri dan perdagangan di Asia Tenggara, jalannya sudah terbuka. Batam menjadi daerah yang memiliki mesin pertumbuhan ekonomi sendiri, ‘self-propelling growth’.
Pada tahun 1983, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1983 tentang Pembentukan Kotamadya Batam di Wilayah Provinsi Riau. Kebijakan itu disusul dengan Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 1984 tentang Hubungan Kerja Antara Kotamadya Batam Dengan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam. Mulai saat itu perkembangan Batam mulai melambat. Alasannya, wilayah Batam dikendalikan oleh dua lembaga, Pemerintah Kota Batam dan Otorita Batam.
Meski demikian, upaya pengembangan Batam terus dilakukan. Hingga kini sudah diterbitkan tidak kurang dari 23 peraturan yang dimaksudkan untuk mendongkrak perkembangan Batam. Bukan tanpa hasil, selama beberapa dekade pertumbuhan ekonomi Batam selalu di atas pertumbuhan ekonomi nasional.
Bagi banyak orang, Batam pun menjadi ‘Tanah Harapan’ untuk memperbaiki nasib. Penduduk Batam yang pada awal dekade 1970an hanya berjumlah enam ribu orang, per tahun 2017 sudah mencapai 1,2 juta jiwa.
Ketua Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (BP) Batam Lukita Dinarsyah Tuwo mengatakan, kalau dibandingkan dengan kota-kota tingkat dua yang baru, pertumbuhan ekonomi Batam masih lebih bagus. Cuma, dulu target pengembangan Batam diharapkan mendekati Singapura, dan itu meleset.
Menurut Lukita, selama ini ada dua hal yang menghambat perkembangan Batam sebagai pusat industri dan perdagangan, pertama adalah adanya dua otoritas dalam satu wilayah, makanya sering disebutkan dualisme otoritas, dualisme kebijakan.
Dualisme itu, menurut Lukita, terjadi setelah keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, sekaligus pembentukan BP Batam, menggantikan Otorita Batam.
“Itulah yang menghambat perkembangan selama ini, jadi ‘satu kapal dua nakhoda’. Sekarang, kami mencoba mengubah menjadi ‘satu kapal dua mesin’. Jadi akan ada percepatan, dengan kita membangun sinergi antara BP Batam dan Pemko Batam,” kata Lukita.
Sinergi antara BP Batam dan Pemko Batam mutlak diperlukan, mengingat pemerintah pusat akan mengubah status Batam yang kini sebagai Free Trade Zone (FTZ) menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Dalam konsep KEK, semua kewenangan dalam pemberian izin investasi dipegang oleh BP Batam. Sebelumnya, beberapa izin harus diurus di Pemkot Batam.
Kedua, masalah lahan. Lukita menerangkan, lahan yang seharusnya pada saat dialokasikan segera dibangun, tidak dibangun oleh pemiliknya. Mereka berharap mendapatkan gain dari kenaikan harga tanah. Sementara di pihak pemerintah, baik BP Batam maupun Pemko Batam tidak memaksa para pelaku yang mendapat alokasi lahan tersebut untuk segera membangun. Akibatnya, banyak lahan yang didiamkan hingga belasan tahun.
“Padahal kalau mereka dipaksa membangun, mau tidak mau kan ada investasi. Atau, kalau mereka tidak bisa, alokasi lahan itu bisa diberikan ke orang lain,” ujarnya.
Fakta saat ini, banyak lahan ‘tidur’ di Batam. Ke depan, BP Batam akan melakukan evaluasi dengan memanggil pemilik lahan-lahan itu agar mereka membangunnya. Kalau tidak mau, sesuai perjanjian akan ditarik lagi. Di Batam, status kepemilikan lahan dan bangunan adalah Hak Guna Bangunan (HGB) selama 30 tahun dan bisa diperpanjang.
Uniknya, selain harus membayar Pajak Bumi dan Bangunan, pemilik lahan dan bangunan juga harus membayar Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO). Pungutan UWTO ini diberlakukan sejak dibentuknya Otorita Batam dan diteruskan dengan Badan Pengusahaan Batam (BP Batam).
Dengan ‘memaksa’ pemilik lahan untuk memanfaatkan lahannya untuk kegiatan usaha atau membangunnya, lahan tersebut menjadi produktif. Dimanfaatkan lahan-lahan tidur untuk kegiatan usaha atau dibangun, maka akan mendorong pergerakan ekonomi, yang pada akhirnya ikut mengangkat pendapatan masyarakat menjadi lebih baik.