Di sektor konsumsi, Pilkada Serentak 2018, dan Asian Games bisa menambah angka pertumbuhan ekonomi hingga sebesar 0,13%.
Ekonomi Indonesia diperkirakan akan tumbuh di atas 5,1% pada kuartal (Q)2 hingga Q4 2018. Hal itu dikemukakan oleh ekonom dari Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi. Menurutnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Q1 2018 sebesar 5,06% adalah sesuai dengan perhitungan yang paling konservatif dengan mempertimbangkan berbagai faktor, khususnya eksternal yang memasuki tahun 2018 justru makin tidak menentu dengan perkembangan Perang Dagang antara Amerika Serikat versus China.
Meski demikian, angka pertumbuhan tersebut lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekonomi 2017 yang sebsar 5,01%, tapi bisa lebih tinggi lagi jika tidak terjadi kontraksi di sisi produksi dan konsumsi. Pada Q2, Q3, dan Q4 2018, bahkan hingga 2019, ekonomi Indonesia akan tumbuh lebih baik dibanding Q1, karena adanya sejumlah stimulus tambahan, yaitu Pilkada Serentak 2018, Asian Games, dan Pemilu 2019.
Ketua Unit Diseminasi Riset Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini mengatakan, mulai Q2 2018 ada dorongan yang cukup signifikan di sektor konsumsi melalui Pilkada Serentak 2018, dan Asian Games, yang bisa menambah angka pertumbuhan sebesar 0,13%.
“Meski demikian kita harus waspada terhadap faktor eksternal. Pelajarannya, kenapa ekonomi kita cukup bertahan adalah faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi domestik itu masih sangat signifikan dalam mempengaruhi sektor ekonomi. Pemerintah juga harus memberi sinyal yang baik, dan harus men-treat supaya pola espektasi demand dari masyarakat kita juga membaik ke depannya,” kata Fithra.
Sebelumnya, tanggal 20 Maret 2018, Fithra memprediksi angka pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Q1 2018 akan tumbuh sebesar 5,06023%. Perhitungannya itu persis sama dengan angka pertumbuhan ekonomi Indonesia Q1 2018 yang diumumkan oleh Badan Pusat Statistik pada awal Mei 2018 yang sebesar 5,06%. Untuk Q2 2018 Fithra memprediksi, ekonomi akan tumbuh sebesar 5,11935%, Q3 sebesar 5,14766%, dan Q4 5,1568%.
Sementara menurut Direktur Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo, pertumbuhan ekonomi pada Q1 2018 yang sebesar 5,06% sudah masuk dalam range asumsi pertumbuhan ekonomi, dan bagi negara sebesar Indonesia dengan segala persoalannya, angka di atas 5% sudah sangat bagus. Yustinus yakin pada kuartal-kuartal berikutnya, pertumbuhan ekonomi akan lebih dari 5,1%.
“Pada periode Januari – Maret itu realisasi belanja pemerintah belum signifikan. Jadi stimulus bagi pertumbuhan relatif masih kecil. Begitu juga dengan sektor rumah tangga. Itu juga terjadi di Amerika Serikat dan negara-negara lain. Tapi pada Q2 hingga Q4, ekonomi akan tumbuh dengan stimulus yang lebih besar,” kata Yustinus.
Ia optimistis dengan perhitungan tersebut, mengingat di sisi penerimaan negara, pada Q1 2018 tumbuh hingga dua digit dibanding periode yang sama tahun 2017. Jelas itu tanda yang bagus, asalkan rencana-rencana investasi, khususnya PMA (Penanaman Modal Asing) bisa terealisasi dengan baik.
Dalam keterangannya pada awal Mei 2018, Kepala BPS, Suharyanto mengemukakan, sektor industri memberikan kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia Q1 2018, yang sebesar 5,06%. Sektor industri menyumbang 0,97%, disusul dua sektor lain, yaitu konstruksi 0,72% dan sektor perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan motor 0,66%. Sementara sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan menyumbang 0,40%. Tapi jika dibandingkan dengan Q4 2017, kontribusi sektor ini tumbuh signifikan, yaitu 16,36%, dan 3,14% terhadap Q1 2017.
Kepala Badan Pusat Statistik, Suharyanto mengatakan, berdasarkan besaran Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku Q1 2018 mencapai Rp3.505,3 triliun atas dasar harga konstan tahun 2010 yang sebesar Rp2.498,4 triliun. Dari sisi produksi, pertumbuhan tertinggi dicapai oleh bidang usaha informasi dan komunikasi (8,69%). Sedangkan dari sisi konsumsi dihasilkan oleh konsumsi rumah tangga (8,09%). Namun demikian Suharyanto mengingatkan, dibandingkan dengan Q4 2017, ekonomi Indonesia pada Q1 2018 turun sebesar 0,42%.
“Dari sisi produksi, penurunan terjadi disebabkan oleh kontraksi di beberapa bidang usaha. Kontraksi juga terjadi di sisi konsumsi, yaitu realisasi anggaran belanja pemerintah, pembentukan modal tetap bruto, dan ekspor,” kata Suharyanto.
Sementara berdasarkan wilayah pertumbuhan, Pulau Jawa menyumbang 3,40%, Sumatera 0,94%, Kalimantan 0,28%, Bali dan Nusa Tenggara 0,11%, Sulawesi 0,40%, serta Maluku dan Papua 0,44%. (Nol/Yus)