Jakarta, Portonews.com – Keputusan Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRRR) sebesar 50 basis points (bps) menjadi 5,25 persen di luar prediksi para ekonom, yang hanya kenaikan hanya 25 bps saja.
Keputusan bank sentral itu membawa kekhawatiran, pasalnya kenaikan bunga bisa berdampak pada pertumbuhan ekonomi semester II-2018. Tekanan ke ekonomi masih besar walau BI memberikan relaksasi Loan to Value Ratio (LTV) properti. Dengan relaksasi LTV, BI yakin bisa menjaga momentum pemulihan ekonomi nasional dan stabilitas sistem keuangan.
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gajah Mada (UGM) Tony Prasetiantono menilai, pelonggaran LTV di sektor properti yang ditawarkan oleh BI, belum cukup mampu mengompensasi kenaikan bunga sebesar 0,5 persen tersebut.
Meski besaran kenaikan bunga seimbang dengan pelemahan nilai tukar rupiah hingga ke level Rp 14.400 per dollar AS, namun kenaikan suku bunga akan membuat konsumsi masyarakat makin rendah. “Masalahnya gairah belanja sedang rendah. Sebenarnya daya beli ada, tapi mereka sengaja mengerem konsumsi untuk berjaga-jaga kalau-kalau perekonomian memburuk,” katanya, seperti dikutip kontan.co.id, Senin (2/7/2018).
Chief Economist PT Bank CIMB Niaga Adrian Panggabean juga melihat, dari sisi konsumsi rumah tangga, kenaikan suku bunga akan membuat pertumbuhan lebih lambat dari perkiraan semula 4,97 persen. Apalagi harga barang impor melejit kena imbas merosotnya nilai tukar rupiah. Karena itu dia memperkirakan pertumbuhan ekonomi semester II-2018 hanya 5,1 persen.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemkeu) Suahasil Nazara mengatakan, pemerintah mendukung kenaikan bunga acuan sebagai upaya BI melakukan stabilisasi, khususnya nilai tukar rupiah.
Pemerintah akan terus memperhatian dampak kebijakan moneter itu ke sektor riil. “Seberapa cepat transmisi ke kenaikan suku bunga domestik dan imbas ke pertumbuhan investasi juga menjadi fokus perhatian,” katanya.