Rabu, 11 April 2018 lalu Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memerintah KPK untuk menetapkan status tersangka pada Boediono, Muliaman D. Hadad, Raden Pardede, dan beberapa orang lainnya, untuk pengusutan lebih lanjut kasus Bank Century. Nama yang paling populer dalam kasus itu adalah Budi. Dan kasus itu benar-benar menjadi ‘Kuburan Para Budi’.
Sebenarnya perbankan bukan core competence saya. Tapi sebagai wartawan yang biasa meliput isu-isu ekonomi, termasuk perbankan, rasanya saya melihat ada hal yang aneh dalam kasus Bank Century, mulai dari proses terbentuknya masalah hingga penanganannya (pengungkapan dan pengusutan aspek hukum).
Dilihat dari aktor-aktris yang manggung, kasus Bank Century bisa dikatakan sebagai ‘Kuburan Para Budi’. Ingat, sejak mencuat, sudah dua ‘Budi’ yang merupakan tokoh kunci dalam kasus ini, meninggal dunia.
Mereka adalah Mantan Deputi Gubernur BI, Budi Rochadi, dan Budi Sampoerna, salah satu keluarga Sampoerna yang menjadi deposan kakap di Bank Century dengan total deposit Rp 1,7 triliun. Menyusul satu ‘Bu De’ mengalami stroke dan kemudian meninggal pada Juni 2015, yaitu Bu De Siti Ch. Fadjriah, Deputi Gubernir BI Bidang Pengawasan Perbankan.
Sementara satu Budi divonis 10 tahun penjara, yaitu Budi Mulya, mantan Deputi Gubernur BI Bidang Pengelolaan Moneter dan Devisa. Kasihan.
Pada fragmen akhir dari cerita Century ini, beberapa Budi yang berperan di bagian tengah, harus tampil di pengadilan. Sementara Budi-Budi yang bermain di awal pertunjukan, nyaris tidak terjamah tangan hukum. Sehingga proses hukum kasus Century tak ubahnya seperti ‘pidato pertanggungjawaban hukum’ kepada publik.
Dari data-data (terbatas) yang terkumpul terkait kasus itu, berikut ini adalah hipotesis yang sifatnya makro. Sekali lagi, hipotesis dari seorang wartawan. Dalam hipotesis ini, mungkin posisi saya bisa diasumsikan sebagai orang yang ingin tahu dan memahami kasus ini.
Begini. Pertama, dicari tahu, kapan munculnya krisis keuangan di Amerika Serikat. Bagi kalangan tertentu, yang memiliki kepentingan besar dan kebutuhan akan uang dalam jumlah besar, hal ini bisa diasumsikan sebagai starting point yang bisa memunculkan ide untuk menghasilkan uang dalam jumlah besar.
Tentunya harus dibarengi keberanian melakukan kecurangan, comprehensive strategy panjang yang harus diterapkan, escape scenario, serta manajemen risiko jika semua itu tidak berjalan sesuai rencana. Selain itu, diperlukan wahana berupa sebuah bank yang sedang ‘demam atau dibuat demam’. Oh ya, siapkan juga beberapa calon kambing hitam buat tumbal.
Setelah ‘matang’, dikondisikan melalui media bahwa ancaman krisis yang berawal dari Amerika Serikat itu sudah berada di ‘halaman rumah’.
Setelah pasti, cocokkan antara periode waktu krisis itu terjadi, dengan tanggal masuknya transfer atau setoran dalam jumlah besar yang masuk ke Bank Century. Data ini bisa diambil dari PPATK. Sampai di sini saja keanehan sudah terasa. Kok dalam situasi di ambang krisis, ada orang-orang tertentu yang punya uang dalam jumlah besar, justru memindahkan atau memarkir uangnya ke bank kecil yang ‘kurang sehat’, Bank Century.
Dimana pengawasan Bank Indonesia? Terlebih dengan catatan bahwa, jumlah maksimal simpanan yang dijamin LPS hanya Rp2 miliar. Apalagi diketahui, bahwa masuknya uang-uang dalam jumlah besar itu, dalam rentang waktu yang berdekatan. Harusnya ini makin meningkatkan kecurigaan orang-orang di Divisi Pengawasan Perbankan BI. Tapi lagi-lagi mereka ‘diam’. Kenapa?
Kalau ditelusuri lebih lanjut, ke rekening atas nama siapa saja aliran kredit dalam jumlah besar itu masuk? Apalagi jika rekening-rekening itu baru dibuka. Jika benar baru dibuka, apakah nama pemilik rekening itu dikenal sebagai orang-orang kaya yang punya uang banyak? Seharusnya, orang-orang di Divisi Pengawasan Perbankan BI itu tahu, sebenarnya siapa pemilik uang dalam jumlah besar itu? Mengapa harus masuk ke Century dengan nama orang lain?
Jika kronologinya terbalik, skenario sudah ada sebelum krisis datang, itu ibarat peribahasa ‘duit dicinta krisis tiba’. Berarti juga, niat untuk ‘merampok’ jauh lebih kuat. Sampai di sini saja, ‘gambar abu-abu’ skenario itu sudah bisa ‘terlihat’.
Langkah berikutnya, bagaimana mungkin orang-orang BI bisa ‘ketiduran’, ketika bank kecil itu begitu ekspansif menebar kredit? Tentu di layar monitor BI akan terlihat pertumbuhan loan to deposit ratio (LDR) Bank Century yang demikian bongsor dalam tempo yang pendek. BI juga seharusnya mempunyai ‘catatan’ tentang nama-nama penerima kredit deras dari Century. Sekali lagi, ini seharusnya sudah membunyikan alarm BI.
Hampir merupakan keniscayaan, timbunan DPK yang dikonversi menjadi kredit dalam jangka pendek, kepada unknown debtors, dalam waktu yang tidak lama akan menguras CAR, kemudian melambungkan non-performing loan (NPL). Seyogyanya, mengacu pada prinsip-prinsip prudential banking, entah itu Basel Accord I atau II, bila hal itu terjadi, sudah bisa dipastikan bahwa di bank itu telah terjadi tindak kriminal.
Tapi gilanya, justru yang terjadi adalah berubahnya peraturan yang mengikuti kondisi Century waktu itu. Itu menunjukkan bahwa alur cerita Century ditentukan oleh tangan-tangan otoritas yang lebih kuat daripada otoritas Gubernur BI.
Sampai duit kredit itu keluar dengan magnitude yang ‘diinginkan’, sejatinya ‘operasi’ sudah selesai. Perkara bagaimana mengatasi kondisi yang diakibatkan ‘operasi’ tersebut, itu persoalan lain. Kan tiap orang memiliki peran masing-masing. Setelah dipilih full bail out dengan skema blanket guarantee, beserta implikasi dan konsekuensinya.
Beberapa aktor dan aktris ‘mulai naik panggung mulai adegan ini’. Tinggal bagaimana mengatur skenario kegaduhan di media dan di pengadilan nanti. Sementara opini publik ‘Bank Century dirampok oleh pemiliknya’ diupayakan supaya ditanggapi dengan ‘hangat-hangat Tahi Kebo’. Si Robert Tantular dijadikan ‘comberan virtual’. Dia sendiri mungkin sudah entah dimana dan EGP dengan semua itu.
Seharusnya, dalam satu pembobolan bank, deretan pertama kursi pesakitan itu diisi oleh para pejabat bank itu dan para debiturnya. Ingat pembobolan Bapindo Rp1,4 triliun tahun 1993 oleh Eddy Tanzil? Towil Heryoto sebagai Dirut Bapindo waktu itu dan Eddy Tansil sebagai debitur langsung masuk front page. Begitu juga Golden Key, perusahaannya Eddy Tansil langsung populer.
Sementara dalam kasus Century, nyaris tak satu pun nama dari sekian banyak debitur penikmat Rp6,72 triliun itu jadi populer di halaman koran atau di telinga masyarakat. Berapa persen ‘recovery rate’, atau kredit yang terselamatkan dari total kredit yang digelontorkan secara brutal itu? Biasanya berupa proyek atau pabrik. Juga tidak jelas. Gelap, gelap! Kalau sampai yang terselamatkan 0%, itu jelas kejahatan sangat terencana dan terlindungi.
Jadi, proses hukum yang berlangsung saat ini, yang menyoal ada tidaknya kesalahan dalam penetapan full bail out dalam penyelamatan Century, seperti hanya mengupas setengah (bagian hilir saja) dari rangkaian kasus tersebut.
Bisa juga diinterpretasikan, betapa penyelamatan Century itu harus dilakukan dengan cara apapun, dengan alasan apapun, yang pada tatanan operasionalnya penyelamatan Century adalah mengganti uang deposan yang diparkir di Century. Padahal, keputusan para deposan besar memarkir duitnya di Century, adalah tindakan yang aneh. Betapa kuatnya posisi tawar para deposan itu.
Bukan hanya para petinggi negara, Menkeu, DGBI, BPK, dan lembaga-lembaga penegak hukum pontang-panting dalam ‘memastikan keselamatan uang para deposan itu’, bahkan Robert Tantular yang disebut salah satu pemegang saham Bank Century yang merampok Bank Century, begitu hormat dan takutnya kepada para deposan ini. Jadi, para deposan ini disegani oleh para petinggi ekonomi negeri ini, juga oleh ‘para perampok’. Kereeenn…!!
Coba kalau dirunut dengan seksama mulai bank itu menerima limpahan dana besar dengan tiba-tiba dan cepat, lalu dengan cepat pula dana pihak ketiga itu berubah menjadi gumpalan kredit yang disalurkan entah ke siapa, penggunaan kredit-kredit itu seperti apa, bank itu jatuh sakit parah, hingga bail out Rp6,72 triliun, pasti melibatkan orang dalam jumlah banyak.
Kalaupun orang-orang itu dijadikan tersangka oleh KPK, maka ruang tahanan KPK seluas lapangan bola pun tak akan mampu menampungnya. Kalau hanya mendakwa dan memvonis Budi Mulya, semua tahu. Kalaupun dia bersalah, dia gak dapat ‘apa-apa’ dari Rp6,72 triliun itu.
Seharusnya, kasus ini tidak hanya menjerat Budi-Budi kecil sebagai pelaksana di lapangan, tapi juga Budi-Budi lain yang bermain di hulu. Akankah Budi-ono menyusul Budi Mulya? Dan bagaimana pula dengan boss besarnya Budi-Budi itu?