Rencana Pemerintah Amerika Serikat yang akan mengevaluasi tarif bea masuk produk-produk ekspor Indonesia ke pasar Amerika Serikat, dan ancaman Presiden Trump akan mencabut fasilitas generalized system of preferences (GSP) atas produk-produk tersebut, menambah tekanan terhadap nilai tukar Rupiah yang sudah berlangsung sejak awal tahun 2018.
Selain itu, memanasnya perang dagang antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia, China dan Amerika Serikat, dampaknya akan lebih terasakan oleh negara-negara emerging market, termasuk Indonesia. Sehingga fenomena itu merusak iklim investasi yang sudah kondusif.
Perang dagang China – Amerika Serikat bereskalasi, maka efeknya pertumbuhan ekonomi dunia akan lebih parah ketimbang dampak kenaikan suku bunga oleh The Fed. Karena perang dagang akan mengerucutkan jumlah barang dan jasa yang diperdagangkan di seluruh dunia. Namun pengaruhnya terhadap ekonomi Indonesia relatif kecil, karena total nilai ekspor Indonesia juga kecil. “Makanya pemerintah jangan terlalu ambisius,” kata Faisal.
Mengapa jangan terlalu ambisius? Faisal Basri menjelaskan, saat ini postur anggaran pembangunan tidak seimbang, karena sumber dana investasi lebih banyak mengambil dari tabungan. Kalau pemerintah terus memaksakan pertumbuhan, maka defisit anggarannya makin besar. Akibatnya, defisit pada current account atau neraca transaksi berjalan akan ‘merusak’ nilai tukar Rupiah.
Sekarang, sumber utama persoalannya pemerintah terlalu ambisius dan melampaui kemampuan keuangannya sendiri. Misalnya membangun infrastruktur dengan platform utang. Guna menutup defisit tersebut seharusnya pembiayaan pembangunan infrastruktur dan sebagainya, sebagian diambil oleh swasta. Pemerintah harus lebih giat menarik investor masuk ke Indonesia, bisa dalam bentuk investasi langsung (FDI) atau portofolio.
Persoalan lain yang mengemuka adalah bagaimana membuat Rupiah memiliki pondasi yang kuat, sementara pemerintahnya tetap agresif mengejar pertumbuhan? “Kalau ingin nilai tukar Rupiah stabil sementara rezim devisanya bebas, maka satu-satunya cara adalah dengan menaikan suku bunga,” lanjut Faisal.
Di sisi lain, risiko utang Indonesia atau Credit Default Swap (CDS) terus meningkat sejak awal 2018 sejalan dengan pelemahan nilai tukar Rupiah. Nilai tukar Rupiah saat ini banyak dipengaruhi perkembangan eksternal ketimbang kondisi perekonomian domestik yang relatif stabil. Tercatat awal semester II 2018, CDS Indonesia untuk tenor 5 tahun berada di 138,44 basis poin. Sementara untuk tenor 10 tahun berada di 214,28 basis poin.
Mengamini pernyataan Faisal, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudistira mengibaratkan Indonesia seperti kancil yang kebingungan di tengah perang dagang ini, menurutnya Indonesia musti fokus ke hilirisasi industri sebab Indonesia unggul dalam hal resources, serta berhenti mengemis fasilitas GSP. Menilik catatannya di tiga tahun terakhir komoditas ekspor Indonesia berhasil disalip oleh Vietnam.
“Perang dagang ini hanya persoalan waktu, siapapun yang menjadi Presiden di Amerika, sebab proteksionisme bukan barang baru,” kata Bhima.
Untuk itu selain rehat dari proyek-proyek infrastruktur yang berkontribusi ke pembengkakan impor dan pelemahan rupiah, Bhima menyarankan Pemerintah mendorong fungsi atase perdagangan/duta besar untuk menjadi misi dagang yang efektif.