Penimbunan sampah dalam jangka waktu lama mempercepat perusakan lapisan Ozon (O3)
Dibuangnya makanan sebagai sampah, bukan hanya persoalan rendahnya empati antar umat manusia, tapi juga memperparah persoalan lingkungan hidup global. Harap dicatat, makanan yang dibuang dan membusuk akan menghasilkan gas metana (CH4) dan karbon dioksida (CO2). Gas metana yang dihasilkan dari fermentasi makanan yang membusuk, jumlahnya mencapai 10% dari gas metana yang ada di udara.
Jumlah tambahan chlorofluor carbon (CFC) tersebut kurang lebih sama dengan volume emisi gas buang kendaraan bermotor. Bahkan, emisi gas metana dan karbon dioksida dari pembusukan makanan yang dibuang sudah mencapai 6,7%, lebih besar dari total emisi gas buang yang dihasilkan India yang hanya 6,4%. Peningkatan emisi gas buang tentu saja membawa dampak negatif bagi kehidupan mahluk hidup, khususnya manusia.
Tambahan gas metana dan karbon dioksida itu termasuk gas rumah kaca atau (CFC) akan mempercepat peningkatan suhu udara (global warming). Peningkatan suhu udara, akan menstimulus tumbuhnya berbagai jenis bakteri dan virus, sehingga meningkatkan ancaman berbagai jenis penyakit terhadap kesehatan mahluk hidup.
Selain itu, dalam jangka waktu lama mempercepat perusakan lapisan Ozon (O3). Jadi, tindakan tidak terpuji membuang makanan oleh sebagian masyarakat di negara-negara maju, akibat ekologisnya dialami oleh seluruh umat manusia.
Di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, sampah belum ditangani sebagaimana mestinya. Di Indonesia misalnya, persoalan sampah sangat kompleks. Mulai dari sikap dan perlakuan masyarakat terhadap sampah yang masih jauh dari budaya maju, hingga tidak adanya sistem pengelolaan dan pengolahan sampah yang memadai.
Lebih buruk lagi, perlakuan yang lumrah dilakukan oleh masyarakat adalah membakarnya dan membuangnya ke sungai. Hanya sebagian kecil saja sampah yang dikubur atau dibuang ke tempat sampah, untuk kemudian diangkut ke tempat pembuangan akhir (TPA). Padahal, pengelolaan dan pemanfaatan sampah dengan benar adalah salah satu pintu gerbang perbaikan kesejahteraan masyarakat, karena dampak positifnya sangat banyak.
Jakarta, setiap hari menghasilkan rata-rata 7000 ton sampah organik dan inorganik dalam keadaan tercampur. Ini menunjukkan belum adanya kesadaran masyarakat untuk memilah dan memisahkan sampah organik dan inorganik.
Kalaupun di Jakarta sudah ada instalasi pengolahan sampah dengan kapasitas yang memadai, akan sulit dan tidak ekonomis untuk dikelola, jika sampah sudah tercampur. Apalagi jika sampah organik sudah membusuk di tempat-tempat pembuangan sampah sebelum diangkut truk ke TPA.
Semestinya, sampah organik bisa diolah menjadi kompos dan menghasilkan biogas sedangkan sampah inorganik bisa didaur ulang. Karena sampah sudah bercampur, dan tidak ada instalasi untuk mengolahnya, maka sebagian besar sampah dibuang ke TPA.
Di Indonesia, TPA di kota manapun adalah gunung sampah yang kian tinggi dan besar. Beberapa eksavator yang dioperasikan hanya untuk menggeser-geser timbunan sampah, agar gas metana yang dihasilkan dari pembusukan sampah organik tidak terakumulasi dan meledak seperti yang terjadi di TPA Leuwi Gajah, Bandung 21 Februari 2005 hingga menimbulkan korban jiwa.
Artinya, penambahan emisi gas buang berupa gas metana dan karbon dioksida juga terjadi di negara-negara berkembang seperti Indonesia, meskipun bukan dari makanan yang dibuang dan membusuk, tapi dari sampah organik yang tidak dikelola dengan baik.